Aku merajut namamu dalam benang benang terindah, dari semua yang dapat kukenang. Sarungmu  berurai puluhan, ratus-ribuan, bahkan tak terhitung dalam ejaan angka, yang berkali sulit direntang.
"Pahikung harus selesai ketika Ia  menjemputmu", begitu ayah mengingatkanku.
Bulan resah terhuyung dan kadang bersegera ketika aku terusik akan wajahmu yang tak pernah kukenal, Â yang datang dan hilang bagai lolokamba bersimpul ikat tanpa tepi, yang hanya kutandai dengan surut dan pasang.
Matahari jadi saksi dengar alunan alat tenun yang berderak oleh tanganku, yang kadang cepat, kadang lambat, dan kadang terhenti oleh benang yang retas. Semua berburu dalam tuntutan dan waktu.Â
Aku bergerak dalam harap cemas, mengeja hari yang singgah sebentar - lalu lama pergi melayang.
Berapa kali purnama datang, dan Pahikungmu harus siap ketika kau datang menjemputku.Â
Hari ini kerabatmu datang tak kunjung henti. Â Ada semua laki laki di sini, disambut kakek, ayah, kakak, dan lokaku. "Akan berapat", kata ayah.Â
Namun, tak kulihat kamu.Â
Laki laki masih terus pergi dan datang, berulang hitung dan tawar, sebutkankan kata setuju, lalu pulang. Â Â
Katanya, semua adalah atas namamu dan namaku.
"Pannu Walli. Sudah ada kata sepakat. Segerakan Pahikung. Waramba akan menjemputmu jadi istri akhir bulan ini. Â Pastikan indah tanpa cela. Ia akan kenakan dengan Tiara atau Tamelingu", kata ayah berkata tak putus dan panjang.