Selanjutnya, untuk ruang kelas SMP yang berjumlah 358.000 sekolah, 70 % rusak sementara sekitar 11% di antaranya rusak berat.
Untuk ruang kelas SMA terdapat 160 ribu, terdapat 55% yang rusak, sementara sekitar 4% adalah alami rusak berat.
Di antara sekitar 162.000 gedung SMK, dicatat 53 % rusak, dan sekitar 3% di antaranya adalah rusak berat.
Untuk SLB, di antara 22.000 sekolah, 64% di antranya rusak dan 4% di antaranya rusak berat.
Laporan itu menuliskan bahwa persoalan kerusakan bangunan sekolah sebetulnya telah menjadi bagian dari program rehabilitasi dan renovasi sekolah. Namun demikian, Kemdikbud melaporkan bahwa terdapat implementasi yang tidak sesuai sasaran.Â
Dicatat bahwa untuk 2018 hanya 588 SD berhasil direhabilitasi dan 2 sekolah direnovasi, sementara terdapat 3.815 SMP direhabilitasi 100 SMA direnovasi. Ini sih bukan meleset dari target. Ini tidak ditarget.Â
Saya menjadi makin paham pada situasi ketika saya bekerja sebagai relawan pada pasca bencana Lombok di tahun 2018. Bangunan sekolah di  dusun Batu Jong, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur terkatung katung sampai dengan bulan Januari 2019. Anak anak terpaksa bersekolah di bangunan darurat selama lebih dari 7 bulan.Â
Deretan daftar sekolah rusak tentu meningkat dengan adanya kerusakan 26 bangunan sekolah yang terdiri dari 19 unit SD, 7 unit SMP yang tersebar di 21 desa di 5 kecamatan setelah gempa di Halmahera beberapa hari yang lain.Â
Pemerintah telah menganggarkan Rp 6,5 triliun untuk memperbaiki sekolah, madrasah, dan pasar sepanjang 2019. Diharap dalam 2-3 tahun, tak ada lagi sekolah rusak. Ini tantangan.Â
Bila kita sibuk terus bicara politik tanpa jeda, kapan masyarakat sejahtera? Politik perlu substansi, kan? Â Isu sekolah rusak masal ini bukankah substansi politik yang harus dipikirkan dewan terhormat dan para eksekutif?.Â