Visi Indonesia untuk Infrastruktur- Seberapa Pro Si Miskin?
Banyak pihak yang 'deg degan' ketika membaca secara tekstual Visi Indonesia Presiden Jokowi terkait "melanjutkan pembangunan infrastruktur". Sayapun sempat merasakan demikian juga.
Tak sedikit yang membuat komentar tanpa mengurai dengan memadai visi itu. Ini wajar karena uraian dan diskusi terkait visi ini belum banyak dilakukan secara substansial.Â
Coba kita cermati lagi. Kita bisa melihat ruang luas untuk memaknainya. Kelengkapan kalimat dari visi itu adalah "Melanjutkan pembangunan infrastruktur yang berkesambungan dan tersambung ke industri kecil, dan artinya menyambungkan infrastruktur besar seperti jalan tol, kereta api, pelabuhan, dan bandara dengan kawasan-kawasan produksi rakyat".
Mungkinkah ini yang sudah ditunggu tunggu perempuan dan laki laki petani rumput laut di wilayah pesisir Sulawesi Selatan seperti di Bone, Takalar, Jeneponto, dan Bantaeng yang selama ini hidupnya pas pasan?
Mereka menjual hasil rumput laut kepada pengepul. Seringkali mereka tak tahu siapa pedagang besar yang mengolah rumput lautnya? Merekapun mungkin tak tahu bahwa pabrik rumput laut adalah dimonopoli unit usaha milik pemerintah daerahnya. Juga, informasi terkait ke mana rumput lautnya diproses dan dijual ke luar negeri juga tak mereka miliki.Â
Juga, mungkinkah ini yang diharapkan oleh petani kopi di wilayah Toraja dan Enrekang yang selama ini memproduksi kopinya dan menjualnya ke pengepul yang kemudian menjualnya ke Hajjah Cuping di pasar Sudu di Enrekang. Mereka mungkin tak pernah paham bahwa Hajjah Cuping mampu memasok sekitar 110.000 ton kopi per tahun kepada PT Semangat dan PT Megah Putra di Makassar atau ke pedagang besar dan eksportir di Medan. Mungkin mereka tak tahu bahwa kopi Toraja yang dipasok ke Medan kemudian diberi identitas 'Sumatra Arabica'. Mereka juga mungkin  tak tahu bahwa kopi mereka masuk ke kafe Starbucks dan dibandrol sekitar Rp 30 sampai Rp 40 ribu per cangkirnya, padahal petani menjual hanya dengan  Rp 40.000,- sekilo.Â
Juga, mungkinkah ini yang diharapkan oleh petani gula kelapa di wilayah gambut di teluk Sampit di Kalimantan Tengah?. Petani gula kelapa yang hanya ada di beberapa desa ini masih sangat tergantung hidupnya pada kerja lembaga dan organisasi non pemerintah yang menjemput gula kelapanya dengan perahu ketingting. Bila tidak dijemput, maka gula kelapa hanya menumpuk di rumahnya saja.
Juga, mungkin ini yang diharapkan oleh petani buah Naga di Banyuwangi yang sempat membuang buah Naganya karena hasil produksi meningkat namun menyebabkan harga buah Naga menjadi anjlog pada awal tahun ini?
Infrastruktur dan Isu Konektivitas
Memang Indeks Kompetisi "World Economic Forum's Competitiveness Index' menunjukkan bahwa infrastruktur kemaritiman Indonesia berada pada ranking 12 dari 14 negara di Asia yang masuk dalam perhitungan indeks. Biaya logistik di Indonesia dicatat tinggi.Â
Dalam konteks ekonomi internasional, ini tentu sebagai biaya tinggi. Tuntutan pada kerja yang lebih efisien pada pelabuhan dan fasilitas perdagangan lain memerlukan kerja keras
Untuk itu, pembangunan infrastruktur perlu kita maknai sebagai pembangunan infrastruktur keras dan lunak. Infrastruktur keras bisa mencakup sistem transportasi seperti jalan, bandara, fasilitas pelabuhan, fasilitas perkeretaapian.Â
Infrastruktur keras juga mencakup layanan publik, misalnya untuk keperluan enerji, pasolan air, dan irigasi; serta jaringan komunikasi seperti jaringan telekomunikasi dan 'broadband'. Juga terdapat infrastruktur sosial seperti sekolah dan rumah sakit.
Sementara itu, infrastruktur lunak mencakup apa yang menjadikan ekonomi menjadi efisien, seperti kelembagaan ekonomi serta regulasi. Ini yang sebetulnya secara kongkrit akan mendorong pembangunan ekonomi.Â
Secara empirik memang hubungan antara pembangunan infrastruktur yang keras dengan pembangunan ekoomi masih belum bisa disimpulkan (Xubei Luo and Xuejiao Xu, 2018).
Secara teori memang infrastruktur keras dapat berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi melalui penurunan biaya produksi karena tersedianya layanan layanan dalam hal telekomunikasi, listrik, jalan, air dan sanitasi. Kemudian, infrastruktur dapat mengurangi biaya transaksi melalui pengurangan biaya pengumpulan data, biaya menilai opsi opsi, negosiasi dan contrak melalu komunikasi yang lebih baik dan juga efiensi kerja lembaga lembaga ekonomi terkait, disamping penurunan biaya transportasi dari dari pasar yang satu ke pasar yang lain. Tentu saja, infrastruktur dapat meningkatkan efisiensi melalui teknologi. Infrastuktur dapat menurunkan biaya produksi karena adanya zona industri.
Argumentasi bahwa masyarakat termiskin dapat mendapatkan keuntungan dari perbaikan infrastruktur melalui partisipasinya dalam rantai nilai global memang perlu dipahami. Ini memang terbukti ketika petani kopi di Takengon, Aceh, misalnya mampu mengekspor sendiri kopinya. Nah, ini tentu berarti bahwa petani kopi di Takengon memiliki penguasaan informasi dan pengetahuan akan rantai nilai dan pasarnya.
Untuk itu, petani kopi Gayo di Takengon bekerja bersama di antara petani lain melalui pembentukan koperasi sehingga mereka dapat menjadi lembaga ekonomi yang lebih besar dan dapat menembus pasar. Keberadaan koperasi juga menjadi kekuatan lebih baik karena produk kopi mereka adalah bersertifikat organic.Â
Koperasi juga bisa menjadi nilai tambah ketika para petani mengupayakan sertifikasi organic fairtrade. Memang perjuangan pada pembentukan koperasi yang demokratis dan secara murni bertujuan memperjuangkan kemaslahatan anggota bukan barang mudah. Perjuangan itu masih terus.Â
Lalu, bagaimana dengan kasus petani rumput laut di Sulawesi Selatan, petani kopi Toraja di Takengon dan petani buah Naga di Banyuwangi? Bagaimana pula dengan masyarakat Indonesia di wilayah timur dan Kalimantan yang masih baru memulai pembangunan infrastrukturnya?
Inilah PR besarnya.Â
Infrastruktur dan Ketersambungan Rantai Nilai untuk Si Miskin
Secara teori, terdapat konsep 'unbundling' atau tingkat pemisahan, yang diperkenalkan oleh Baldwin (2016). Ini untuk menelaah ketersambungan rantai nilai di Indonesia. Realitas bahwa Indonesia adalah negara dengan wilayah geografi yang luas tentu menuntut analisis yang perlu disesuaikan dengan konteks di tingkat lokal yang beragam dan dinamis. Â
Dalam kaitannya dengan konesp 'unbundling', terdapat tiga pemisahan besar di Indonesia. Pertama, adalah spesialisasi pekerjaan internasional di perkebunan, pertanian, pertambangan, serta industri-industri padat karya. Kedua, adanya lokasi atau zona indutri yang mendominasi, misalnya di industri permesinan. Ketiga, pada bentuk penurunan biaya perdagangan karena adanya pertemuan langsung (face-to-face) yang hadir sebagai konsekuensi perekonomian digital (Journal, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Volume 54, 2018 - Issue 2).
Teori di atas mengatakan bahwa makin tinggi proses pemisahan dan makin efektif penggunaan teknologi maka akan semakin merata proses dan hasil pembangunan. Memang tidak akan sederhana langkah yang dibuat untuk menerjemahkan konsep itu.Â
Infrastuktur bisa mengurangi isu jarak. Dan selanjutnya, upaya peningkatan konektivitas dapat dilakukan dengan pembangunan sektor jasa serta perbaikan kebijakan.
Studi di atas mencatat tiga sumber tidak efisiennya konektivitas di Indonesia, yaitu  1) infrastruktur fisik yang buruk, 2) tidak memadainya layanan, dan 3) tidak optimalnya lingkungan dan kebijakan. Hal yang terakhir ini punya arti luas dan memang sangat penting.Â
Optimalisasi "Kebijakan" :Â Siapkah Aktor Ekonomi Rakyat Masuk dalam Rantai Nilai Formal?Â
Bila kita selalu membayangkan rantai nilai perdagangan global yang sudah besar dan mapan serta kompleks seperti rantai nilai produk manufaktur 'garment' dan persepatuan, mungkin UKM dan pelaku ekonomi rakyat juga tidak paham dan tak berani. Lagipula, itu tidak strategis. Alih alih memenangkan rantai nilai, mungkin mereka malah tergencet di antara ruwetnya rantai nilai itu.
Saya sudah menyebut pembentukan koperasi kopi Gayo Fairtrade di Takengon. Saat ini terdapat 28 koperasi Fairtrade, 8 diantaranya beranggotakan dan dipimpin perempuan. Mereka berhasil mengekspor ke banyak wilayah, termasuk Eropa dan Anerika Utara.Â
Beberapa implementasi di tingkat lapang menunjukkan bahwa kemajuan teknologi digital juga dapat membantu UKM dan petani petani kecil untuk bisa memasuki rantai nilai yang lebih kreatif. Ini bisa terjadi di 'niche market', pasar yang khusus. Pasar ini bisa saja kecil tetapi memiliki ruang untuk menerima nilai tambah yang dihasilkan UKM atau petani kecil.Â
Pengalaman begitu banyak UKM yang dikelola milenial yang memanfaatkan teknologi digital dan mengirim produknya dengan JNE atau pos mungkin dapat menjadi pertimbangan.Â
Berpartisipasi dalam rantai nilai global tidak harus melibatkan ekspor partai besar 'bulk' yang dikirim dengan kontainer. Â Untuk produk pakaian dan sepatu, kita memiliki banyak contoh UKM cerdas yang menerobos rantai nilai.
Di perdesaan tentu dibutuhkan pembangunan infrastruktur keras dan lunak tingkat desa.Â
Di luar gosip tak sedap yang diduga hoaks atas dukungan Bukalapak pada ACT yang bekerja di Suriah, untuk produk pertanian, saya ingat diskusi saya dengan mas Nanda dari Bukalapak. Saya rasa ini cerdas. Mas Nanda berbicara soal pentingnya pemahaman rantai nilai pertanian di antara 'start up' pertanian yang ada. Ia mengkritisi para pencetus 'start up' pertanian yang tak paham rantai nilai pertanian. Ini bisa dipahami karena pada umumnya penggagas start up adalah dari kalangan muda yang berbasis di area urban. Alhasil, suplai sayur akhirnya diakses oleh start up itu dari Pasar Kramat Jati. Ini karena tidak ada perubahan struktur dalam rantai nilai.
Untuk produk keperluan seharihari, mas Nanda selanjutnya menceritakan program yang ia jalankan dengan pemilik warung kelontong atau kalau di Filipina disebut 'Sari Sari'. Warung warung itu hanya perlu menunjukkan kopi KTP pemilik warung, foto warung dan geotag warung.Â
Dengan kepesertaan pada program Bukalapak, pemilik warung bisa mengakses produk produk yang disuplai oleh mitra mitra Bukalapak seperti Unilever, Indofood, dan juga produse camilan yang ada di berbagai kota. Adanya kerjasama antara pemilik warung dengan perusahana mitra berarti memotong rantai nilai secara luar biasa. Pedagang hanya berhubungan dengan mitra Bukalapak. Pendek sekali.Â
Nah, untuk produk pertanian, saya berharap akan ada dukungan 'start up' atau 'marketplace' yang paham rantai nilai produk pertanian.Â
Ini PR besar. Juga hal terhutang. Â Namun, PR besar bukan berarti tidak bisa dilakukan, bukan?!.Â
Infrastruktur bukanlah hanya soal jalan dan jembatan saja. Rantai nilai yang pro rakyat kecil adalah juga bagian dari aspek infrastruktur dan  konektivitas yang perlu dibangun, dan bahkan direkonstruksi, bila perlu.Â
Konektivitas rantai nilai perlu dikaitkan dengan infrastruktur yang telah dibangun agar pemanfaatannya optimal untuk kepentingan masyarakat dan kelompok ekonomi kecil.Â
Kita tunggu menteri pertanian, menteri perdagangan, menteri pembangunan desa dan menteri Koperasi dan UKM di masa depan yang mampu dan berdedikasi untuk ekonomi kerakyatan.Â
Ayo, pak Jokowi, pilih kabinet yang mumpuni dan pro rakyat kecil.Â
Sulit? Ya memang tidak mudah, tapi ini harus dipikirkan.Â
Pustaka : Satu; Dua; Tiga; Empat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H