Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Indonesia Kesulitan Hapus Kemiskinan dan Capai SDGs?

17 Juli 2019   14:14 Diperbarui: 19 Juli 2019   06:47 1118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mama mama penjual sayur di Papua (Dokumentasi Pribadi)

Perdebatan Menyoal Data Kemiskinan
Minggu ini, di kala saya sedang banjir PR laporan pekerjaan, banjir pula berita hangat (dan penting) di media masa. Soal pertemuan romantis Jokowi dan Prabowo di MRT, yang dilanjut pesta rakyat dengan Visi Indonesia yang dikumandangkan di Sentul International Convention Center.

Selanjutnya, soal data kemiskinan dari BPS yang menunjukkan sulit turunnya kasus kemiskinan. Pidato Menkeu Sri Mulyani atas pertanggungjawaban Pengeluaran APBN, dan beredarnya notulensi (hoaks ?) susunan Kabinet yang akan datang.

Ini membuat saya gemas. Ingin banyak menulis. Apa daya, target selesaikan laporan tidak bisa ditunda. Ini berkait dengan jadwal donor pembangunan yang juga bersegera hendak membangun relevansi agenda kerja sama dengan prioritas RPJMN 2020 -- 2024.

Diskusi saya soal data kemiskinan muncul ketika saya dibagi kliping koran Republika terbitan 15 Juli 2019 tentang Data Kemiskinan oleh seorang sahabat. Ini dipicu oleh kegalauan beberapa kawan karena ada artikel yang menyebut bahwa data kemiskinan BPS tidak benar, dan kita hadapi kesulitan menurunkan kemiskinan. Lalu, ada yang menyebut bahwa artikel itu tidak pas. 

Ketika saya mengomentari artikel itu dari kaca mata ekonomi, sahabat saya segera katakan dengan bergurau "Kamu tidak dukung Jokowi lagi". Nah ini. Saya katakan bahwa saya melihat persoalan dari kacamata seorang ekonom. Saya juga katakan bahwa saya pernah berkutat di urusan structural adjustment.

Oops, saya lupa bahwa di mata kawan saya dan mungkin di jejak kerja saya dianggap jauh dari kerja seorang ekonom. Baru saya sadari, saya mungkin ekonom murtad, ekonom keblinger, atau malah ekonom picisan. Padahal selama bertahun tahun, pekerjaan saya sebagai ekonom. Hiks. 

Saya sampaikan kepada sahabat saya bahwa isu dan data kemiskinan kita memuat banyak PR. Soal data memang perlu didiskusikan. Sementara, Indonesia sendiri punya persoalan kompleks. Pemecahan persoalan kemiskinan sendiri tidak bisa dijawab dengan business as usual.

Terobosan yang dilakukan dengan berbasis pengetahuan pembangunan perlu ada. Saya selalu pikir 'harus gila' kalau hendak berhasil. Untuk itu, kita harus (tetap) dukung pemerintah, dengan apa yang bisa kita bantu. Ini termasuk menyampaikan pemikiran, berikut saran yang membangun, bila dibutuhkan. Nyinyir tidak ada artinya. 

Akhirnya, saya tulis artikel ini, dalam bahasa ekonom picisan. Mohon maaf bila anda tertidur di tengah paragraf.

Data Kemiskinan, Situasi dan Stuktur Ekonomi Indonesia
Kita harus akui, berkat pertumbuhan ekonomi yang berada di atas 5% dan atas kebijakan pemerintah yang kondusif, maka tingkat kemiskinan Indonesia bisa diturunkan. Data BPS tunjukkan penurunan dari angka kemiskinan di atas 25% di tahun 1998 ke angka 9,41% di 2019. Signifikan!

Angka kemiskinan ini kita hitung dari jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, yaitu mereka yang masih memiliki pendapatan di bawah 1 dollar Amerika per hari.  Pada bulan Maret 2019, BPS melaporkan bahwa Garis Kemiskinan itu tercatat pada Rp425.250 pendapatan perkapita per bulan. Ini valid karena indikator ini dipakai di seluruh dunia. Sebagai indikator kemiskinan yang dipakai untuk keperluan politik, saya kira wajar saja angka itu muncul. 

Di masa pemerintahan Suharto, bermunculan indikator kemiskinan lain, misalnya menggunakan indikator asupan kalori yang kemudian dikembangkan sebagai Garis Kemiskinan Makanan (GKM) minimum sebesar 2.100 kalori per hari. Lalu ada Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Ini melengkapi penghitungan kemiskinan dengan indikator "Garis Kemiskinan".

Sejak pemerintah Jokowi, Indeks Rasio Gini dipakai untuk mengukur kesenjangan pendapatan. Memang, saya pribadi agak canggung bila Indeks Rasio Gini dihitung dalam periode jangka pendek. Alat ukur ini lebih pas untuk ukur kesenjangan jangka panjang. Namun demikian, dari data time series, telah dibuktikan bahwa ketimpangan dipersempit. 

Melalui implementasi program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), pendapatan masyarakat terbukti naik. Ini karena belanja keluarga meningkat. Bisa dipahami bila ukuran pertumbuhan pendapatan perkapita meningkat. Karena sifatnya sebagai conditional cash transfer dan PKH disertai kegiatan pendukung serta mekanisme kerja yang baik, antara lain ketersediaan fasilitator, adanya alat dan piranti peningkatan kapasitas warga miskin, kerja sama antara PKH dengan bidan, Puskesmas, guru dan sekolah. peningkatan layanan publik menjadi dimungkinkan. Tantangan mungkin muncul di wilayah terpencil. 

Memang kesenjangan infrastruktur masih jauh, namun alokasi pengeluaran pemerintah untuk BPJS dan PKH setidaknya memperkuat inklusivitas pembangunan pada kelompok yang selama ini terpinggirkan. Mereka adalah yang termiskin, perempuan, anak anak sekolah, dan lansia. Secara keseluruhan, kualitas hidup masyarakat ditingkatkan.

Jadi, sah saja kita katakan bahwa kemiskinan menurun selama masa kerja Jokowi. 

Baiklah, kita bicara soal status perekonomian secara umum. 

Dalam hal ekonomi makro, khususnya di bidang ekonomi moneter, Bank Indonesia mengelola arus modal keluar melalui peningkatan suku bunga. Kepercayaan atas meningkatnya pendapatan (dan konsumsi) terus dijaga, melalui pengendalian inflasi. Ini untuk menurunkan defisit neraca pembayaran agar di bawah 3% dari Pendapatan Domestik Brutto (PDB).

Dalam bidang ekonomi fiskal. Pengeluaran negara untuk perbaikan infrastruktur, termasuk infrastruktur ekonomi juga dilakukan untuk mendongkrak kinerja sektor riil, di tengah lambatnya sektor perdagangan dan industri.

Sayapun jadi ingat peristiwa obrolan dengan seorang ibu yang cantik dan berdandan super rapi, meski usianya jauh di atas saya. Kami kebetulan sama sama duduk di kursi Kereta Api. Ia pengusaha besar dan ia katakan bahwa ia tergoda naik Kereta Api setelah melihat kemajuan di sektor perhubungan kita. Ia juga bercerita bahwa ia rela rugi bisnisnya dan bahkan sampai menjual asetnya, dan ia tetap mendukung pemerintah (Jokowi). 

Saya cukup tercengang. Saya tanya, mengapa begitu? "Kita harus sabar. Ini untuk jangka panjang. Saya percaya bisnis akan kembali baik". Rupanya, kepercayaan pebisnis yang bekerja keras dan anti rent seeking pada upaya transformasi ekonomi yang dilakukan pemerintah Jokowi. Kemudian saya tanya soal pajak. Ia menjawab, "Kita kan memang harus bayar pajak. Pajak terbesar kita dari perorangan. Ini memalukan".

Kami akhirnya berbicara soal konektivitas infrastruktur yang harus mendukung ekonomi. Ini soal infrastruktur hard dan soft. Ini termasuk perlu fokusnya Indonesia untuk memenangkan kesempatan atas quantum leap dari e-commerce yang telah ada di antara aktor ekonomi, khususnya UKM yang dimiliki milenial. 

Pemerintah perlu cermat menghitung utang dari proyek infrastruktur dan pengeluaran besar untuk sektor sosial, seperti BPJS dan JKN. Kita tahu, pendapatan negara kita saat ini masih terbatas, dan harus terus ditingkatkan.

Kita perlu pula paham dan hindari perangkap negara kelas menengah Middle Class Trap, yang berpotensi terjadi bila kita tidak mampu mendongkrak pertumbuhan dengan lebih tinggi lagi. Pertumbuhan 5% tidaklah cukup. Ini bisa disebabkan karena banyak isu struktural yang mengganjal. 

Tak kurang, Menkeu Sri Mulyani sempat menyebutkan potensi perangkap ini pada pidatonya di depan DPR kemarin, 16 Juli 2019. Juga, Dalam konteks global, artinya, kita harus waspada pada perubahan dan dinamika struktur ekonomi Cina dan negara tetangga. Sayangnya, saya lihat di layar televisi ketika berada pada antrian di bank, dan bangku di DPR nyaris kosong.

Upaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi ini menuntut adanya peningkatan produktivitas, yang mendapat kontribusi dari:

  • Inovasi teknologi yang berkelanjutan
  • Upgrading sektor industri serta
  • Diversifikasi fitur ekonomi yang harus berubah dari industri yang bernilai tambah rendah ke industri bernilai tambah tinggi. Insentif untuk membuat akumulasi modal dirasakan secara merata dan adil perlu didorong.

Secara teori, bervariasinya standar hidup penduduk, atau adanya kesenjangan ekonomi merefleksikan bagaimana tidak seimbangnya akumulasi kapital dan pertumbuhan produktivitas ekonomi.

Pengalaman middle income trap di negara Amerika Latin yang tak mampu meningkatkan proses diversifikasi industri dan upgrading karena kalah bersaing perlu menjadi pembelajaran. Kira kira yang begini ini dipahami oleh Dewan yang terhormat, tidak ya?

Indonesia perlu mewaspadai lambatnya produktivitas tenaga kerja di sektor manufaktur dan juga produktivitas di sektor pertanian.

Soal produktivitas sektor manufaktur akan berkaitan dengan perbaikan tingkat ketrampilan SDM dan penggunaan teknologi inovatif, disamping perbaikan iklim yang kondusif pada hak pekerja, perempuan dan laki laki. 

Produktivitas sektor pertanian perlu dilihat dari perlunya perbaikan pengolahan sumber daya pertanian dengan menggunakan pendekatan berkelanjutan serta membangun pemahaman, rekognisi, dan penguasaan petani, perempuan dan laki laki, pada rantai nilai perdagangan. Ini tentu harus didukung perbaikan pengetahuan dan infrastruktur (hard dan soft) atas konektivitas pertanian dan perdagangan. 

Sebagai contoh, dan contoh ini saya sering angkat dalam diskusi, adalah soal petani rumput laut di pesisir Sulawesi Selatan, termasuk Jeneponto. Selama ini petani hanya menjual kepada tengkulak. Tengkulak menjual kepada pedagang. Sejauh ini, pabrik yang mengolah rumput laut adalah dimonopoli perusahaan milik daerah. Juga terdapat perusahaan asing (Jepang) yang mengekspor rumput laut ke beberapa negara. Lalu, di mana keuntungan petani rumput laut itu? 

Ini membutuhkan bantuan pemerintah. Pemerintah harus merekonstruksi struktur rantai nilai rumput agar pro petani rumput laut. Informasi dan pengetahuan tentang rantai nilai ini seharusnya dipahami petani. Petani perlu didukung untuk berdaya menguasai dan untung dari rantai nilai. Bagaimana dengan Koperasi petani rumput laut? Mengapa tidak. Tentu PR nya harus digarap. 

 Saya senang Jokowi sudah menyebut ini dalam Visi Indonesia. Saya berharap ini akan diterjemahkan oleh kabinetnya dengan benar di tataran kebijakan dan implementasi.

Upaya peningkatan daya saing ini perlu dilakukan juga dengan pehamanan dan rekognisi atas isu sosial dan gender yang menyertainya. Ini realitas di lapang bahwa warga negara itu berbagai. Bukan hanya warga laki laki saja. Dan bukan hanya di Jawa. Laporan Mc Kinsey "The Power of Parity" (2016) melihat bahwa bila Indonesia menciptakan lingkungan kerja yang kondusif bagi perempuan, maka kita bisa meningkatkan pertumbuhan sebesar 10% lebih tinggi dari business as usual pada tahun 2025.

Artinya, produktivitas meningkat ketika kita merangkul semua warga bangsa, perempuan dan laki laki. Tempat kerja yang ramah perempuan, memfasilitasi dengan ruang layanan menyusui, dan bebas dari pelecahan seksual, adalah sedikit dari contohnya. Kalau kita masih terus berpikir sempit bahwa keadilan gender itu kembali ke perspektif agama, rasanya kita tidak perlu lagi bicara soal kemiskinan dan pembangunan ya. Tutup buku saja. Ini akan jadi tantangan bermunculannya kembali pemikiran yang mundur.

Kemiskinan Struktural dan Potensi Sullitnya Pencapaian SDGs? 
Jadi, mengapa kita masih perlu diskusikan data orang miskin? Pada dasarnya, kemiskinan bukan hanya soal miskin ekonomi. Kita kenal apa yang disebut indikator kemiskinan multi dimensi. Kita mempertimbangkan pula berbagai indikator kesehatan, asupan gizi, pendidikan dasar serta indikator lain, termasuk akses masyarakat pada sumber daya dan lain lainnya. 

Berbicara soal penghapusan kemiskinan yang telah dilakukan oleh Jokowi, artinya kita bicara instrumen Jokowi dalam hal Conditional Cash Transfer. Ini soal Program Keluarga Harapan (PKH) bagi lebih dari 10 juta penduduk termiskin yang terdata pada Basis Data Terpadu (BDT) . Program ini berhasil meningkatkan pendapatan dan tingkat sosial keluarga termiskin, namun ini belum mampu untuk mendongkrak persoalan kemiskinan struktural. Mengapa demikian? 

Masyarakat miskin seperti petani yang tidak bertanah dan pelaut yang tidak bermodal alat kerja dan modal, dan pertanyaan tentang bagaimana mereka bisa memenangkan ekonomi di tengah konteks penguasaan SDA oleh korporsai di tengah persaingan ekonomi global adalah sedikit dari contoh isu kemiskinan struktural yang perlu serius dipikirkan. Ini tentu bukan dosa satu periode pemerintahan saja, karena merupakan akumulasi dan peninggalan orde dan dinasti beberapa pemerintah.

Indonesia yang kaya akan sumber daya alam (SD) ini perlu meningkatkan akses masyarakat miskin dan termiskinnya untuk dapat dan mampu menguasai dan mengontrol SDA nya sendiri. Ini membawa arti perlunya perubahan politik ekonomi Indonesia. Saya kok jadi ingat Faisal Basri ya. Hiks.

Program penyerahan sertifikat dari program perhutanan sosial adalah salah satu cara untuk menerobos isu kemiskinan struktural. Ini sudah dimulai Jokowi dan perlu terus ditingkatkan. Tidak cukup masyarakat diberi sertifikat. Dukungan pemberdayaan berkelanjutan sangat perlu.

Apakah artinya, agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs) sulit dicapai dan gagal? Iya, dan mungkin saja. Terdapat pertanyaan dan PR besar atas landasan kerja kita (dan landasar kerja pembangunan dunia).

  1. Tuntutan adanya 'Big Data' kemiskinan yang belum bisa dicapai. Kita sibuk bicara soal 'big data'. 'Big Data' dalam SDGs tentu berkait banyak hal, termasuk data kemiskinan di semua lini tujuan SDGs. Satu hal saja, apa yang kita lakukan dengan pendataan orang miskin kita yang gunakan Basis Data Terpadu (BDT)? Kita masih belum mampu memasukkan semua orang miskin ke dalam BDT.

    Bagaimana mungkin kita bisa memasukkan data semua orang miskin bila banyak kalangan orang miskin tidak punya kartu identitas. Ini PR besar atas hak sipil masyarakat. Masih banyak warga negara yang tidak punya KTP, akte kelahiran, akte perkawinan, dan akte perceraian yang memungkinkan mereka bisa mengakses begitu banyak layanan negara. Terdapat empat alasan yang membatasi warga untuk bisa punya surat identitas diri, antara lain biaya, jarak, informasi, dan komplekitas proses dan koordinasi dari lembaga penerbit surat (AIPD, 2014).

  2. Sektor keuangan yang rigid. Pencapaian SDGs menyaratkan kerja dan aksi multilateral dalam konteks global yang penuh tantangan. Seberapa landasan kerja, misalnya tata aturan perdagangan internasional, tatanan kerja lembaga keuangan dunia, yang menuntut perubahan struktural di tingkat global.

    Pemikiran atas SDGs memberi rekomendasi pada upaya menggeser dari utang yang abadi ke norma perpajakan, dan ke sistem perdagangan internasional. Adanya tekanan beban hutang luar negeri mendorong negara negara berpikir tentang upaya dan instrumen baru, termasuk di dalamnya, instrumen non-tradisional yang mampu mendanai pembangunan melalui gerakan sosial. Ini tentu melibatkan perubahan sistem perpajakan karena gerak e-commerce luar biasa cepat.

  3. Keberlanjutan sebagai norma bisnis dan investasi. Artinya, sektor perbankan dan keuangan juga memperkenalkannya dalam mekanisme pemberian kredit. Adanya keuangan dan oblijasi hijau, juga green sukuk meski baru dimulai, perlu makin ditingkatkan. Persyaratan lingkungan dan sosial, termasuk kesetaraan gender, yang selama ini masih menjadi hambatan pebisnis untuk bisa menyusun dokumen feasibility study yang memenuhi persyaratan keberlanjutan dan sosial, atau yang bankable tentu perlu dipahami dan diterobos.

    Ini juga mempertimbangkan keberlanjutan UKM dari ekonomi dari masyarakat berkebutuhan khusus, kelompok muda, kelompok perempuan dan kelompok adat serta mereka yang ada di wilayah terpencil. Memang ini hal yang serius. Kalau ini tidak dipahami, ini signal bahwa kita masih ada di masa yang lalu.

  4. Inovasi dan teknologi harus jadi menu utama. Namun, 'technology desruption' ini membawa kesempatan dan tantangan. Perusahaan tradisional menyalahkan kemajuan e-commerce dan teknologi. Ini yang perlu dipahami, tapi kita tak boleh tertinggal.

  5. Pelibatan sektor swasta dan masyarakat sipil yang harus ada, karena implementasi SDGs tidak hanya urusan pemerintah saja. Karena masyarakat sipil terlibat, artinya agenda demokrasi harus ada di SDGs. Ini terbatas sekali.

Hal hal di atas bisa saja masih memberikan kesenjangan pemahaman di kalangan pemerintah, pelaku ekonomi, kalangan swasta, anggota legislatif, masyarakat sipil, dan apalagi masyarakat kebanyakan. Literasi ekonomi dan keuangan yang menggunakan bahasa yang ramah masyarakat, perlu dipertimbangkan. Isu ekonomi bukan hanya isu kementrian keuangan. Ini isu bersama. 

Jangan pula lupa, terdapat sejuta isu konkret lain. Buta huruf masih ada di antara kita, khususnya di antara kelompok perempuan di wilayah perkotaan maupun di wilayah terpencil. Itu 'stunting', angka putus sekolah yang muncul kembali, angka kematian ibu melahirkan, perkawinan anak, kekerasan perempuan dan seksual. Ini semua punya biaya ekonomi tinggi. 

Lalu, kembali maraknya TBC, obesitas dan diabetus melitus di antara masyarakat, rokok yang menggerogoti keuangan dan kesehatan keluarga.

Indikator indikator pembangunan manusia itu masih jadi tanggung jawab kita dan berkait dengan tujuan tujuan SDGs. 

Ingat pula isu korupsi dan nepotisme yang menggerogoti keseluruhan perekonomian kita. Adalah tidak masuk akal membicarakan Visi Indonesia, tanpa membicarakan penghapusan korupsi dan penegakan hukum dan HAM. Ini menjadi catatan ICW juga.

PR Jokowi - Ma'ruf banyak sekali ya. Dan itu PR kita semua. Kalau kita hanya terus ribut nyinyir, jangan heran kalau hidup kita sebagai bangsa yang tidak akan berubah. 

What Next? PR Jokowi Ma'ruf dan Susunan Kabinet. 

Tadi saya menyebut kata struktural dan rekonstruksi berkali kali. Memang, perubahan ini menuntut rekonstruksi struktur ekonomi dan sosial kita. 

  1. Indonesia harus mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan (yang berkemajuan dan berdaya), dengan meningkatkan dan mempertahankan inovasi teknologi, 'upgrading' industri, diversikasi ekonomi, untuk terus mendorong inklusivitas semua warganya.

  2. Ini tentu menuntut kredibilitas anggota kabinet dan adanya koordinasi tiap lini kementrian di kabinet Jokowi. Nah, ini harus jadi pertimbangan Jokowi dalam memilih menteri menteri kabinetnya. Jokowi harus lebih memperhatikan susunan menteri yang memegang sektor riil. Sektor ini adalah PR besar yang nyaris kurang terjamah. Juga, perlu cek kredibilitas masing masing portfolio calon menteri dari sisi inovasinya dan akuntabilitasnya.

    Kalau mereka adalah orang yang tidak terbukti membuat perubahan melalui keberbagaian pendekatan dan tidak anti korupsi, itu signal tak baik. Selanjutnya, Jokowi harus cari orang 'gila' yang mau membangun negeri yang kompleks ini. Maafkan saya katakan ini, pak Jokowi.

  3. Peran negara adalah fasilitator yang efektif. Ini super urgen. Perusahaan perusahaan dan UKM tidak bisa otomatis kompetitif. Artinya, mereka perlu difasilitasi kebijakan kebijakan pemerintah yang ramah pada sektor sektor ekonomi, khususnya aktor ekonomi kecil dan kerakyatan. Selain kebijakan, pemerintah perlu memberikan dukungan pendanaan agar industri dan UKM dapat beroperasi secara berkelanjutan. Artinya, korupsi dan 'rent seeking' serta kuasa politik tidak boleh lagi menguasai pasar. Bisakah? Ini memang PR serius. 

Saya tak perlu lagi membuat simpulan tambahan. Yang teringat adalah lirik lagu Kebyar Kebyar karya Gombloh. Kita ini bangsa Indonesia. Mari kita bangun Indonesia. Tapi kok saya basah mata? Dasar ekonom picisan! Dasar cengeng! 

Indonesia ...
Merah Darahku, Putih Tulangku
Bersatu Dalam Semangatmu

Indonesia ...
Debar Jantungku, Getar Nadiku
Berbaur Dalam Angan-anganmu
Kebyar-kebyar, Pelangi Jingga

Biarpun Bumi Bergoncang
Kau Tetap Indonesiaku
Andaikan Matahari Terbit Dari Barat
Kaupun Tetap Indonesiaku
Tak Sebilah Pedang Yang Tajam
Dapat Palingkan Daku Darimu
Kusingsingkan Lengan
Rawe-rawe Rantas
Malang-malang Tuntas

Denganmu ...

Indonesia ...

Merah Darahku, Putih Tulangku
Bersatu Dalam Semangatmu

Indonesia ...
Debar Jantungku, Getar Nadiku
Berbaur Dalam Angan-anganmu
Kebyar-kebyar, Pelangi Jingga

Indonesia ...
Merah Darahku, Putih Tulangku
Bersatu Dalam Semangatmu

Indonesia ...
Nada Laguku, Symphoni Perteguh
Selaras Dengan Symphonimu
Kebyar-kebyar, Pelangi Jingga

Pustaka: Satu; Dua, Tiga, Empat 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun