Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Poligami? Enak Aja!

7 Juli 2019   08:25 Diperbarui: 10 Juli 2019   21:00 3206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

No Way to Polygamy!
Tulisan ini menanggapi artikel rekan Kompasianer Hamdani "Say Yes to Poligami?" di sini. Terima kasih telah berbagi. Kita punya pandangan berbeda ya, Pak Hamdani. Tidak mengapa. 

Memang usulan Poligami masuk dalam Qanun dikhususkan untuk wilayah Aceh, namun saya tetap katakan "No Way to Poligami!".

Kompasianer Hamdani menyebut bahwa soal poligami marak dalam perdebatan 5 tahun terakhir. Tidak. Poligami selalu menjadi diskusi lama.

Ingat Vincentia Tiffani yang "melamar dipoligami" kepada Sandiaga Uno, cawapres 02 pada masa kampanye yang lalu? Meski diklarifikasi sebagai isu 'titipan' pertanyaan dari panitia dan Vincentia menyatakan menyesal dan meminta maaf kepada publik, saya sangat menyayangkan hal tersebut. Apalagi Vincentia mewakili milenial. Peristiwa tersebut jadi contoh buruk tentang perempuan menjadi objek politik.

Pada masa kampanye Pilpres 2019, saya memang mengkhawatirkan kembalinya pandangan yang konservatif, khususnya dari kalangan pengusung salah satu Paslon.

Dan, rupanya tekanan pada kebutuhan untuk berpoligami meningkat dengan adanya situasi di beberapa negara seperti Brunei Darussalam yang menerapkan poligami sebagai barang halal. 

Pandangan saya tentu pandangan perempuan. Itu pasti! Dan, sebagai seorang perempuan dan ibu dari anak perempuan, dan sebagai perempuan saudara dari  kaum perempuan, saya punya kepentingan pribadi, sekaligus kepentingan politik untuk menyampaikan tanggapan ini.

Adalah menyedihkan melihat masyarakat yang menempatkan seakan poligami adalah hal biasa bagi perempuan. Jadilah perempuan dan mungkin perlu rasakan apa itu poligami, sebelum katakan 'Ya'.

Poligami itu kompleks. Suatu artikel di Indonesiaexpat.biz menuliskan bahwa banyak pelaku poligami memilih langkah menikah siri, atau merahasiakan pernikahannya. Pada umumnya pelaku poligami tidak meminta izin istri pertama.

Sedihnya, pendukung poligami sudah lebih cepat. Mereka membuat aplikasi AyoPoligami, suatu aplikasi yang membantu peminat poligami untuk mendapatkan pasangannya. Yang begini ini pasti laku seperti pisang goreng. Pranayama, penggagas aplikasi itu sendiri terkaget karena dalam lima bulan, aplikasi bisa merangkul 56.000 pengguna. Untung saja telah diblokir karena aplikasi itu mendorong relasi di luar pernikahan.

Salah seorang perempuan pelaku poligami, Wulandari, mengatakan bahwa tidak mudah menjadi perempuan dalam situasi berpoligami. Ia mengatakan menyadari implikasi keputusannya. Ia tak mampu menjelaskan keputusannya kepada publik.

Sewaktu diwawancara, ia tak mau fotonya diketahui publik. “Saya paling paling hanya bisa berusaha menjelaskan bagaimana cara saya menjalaninya, juga bagaimana bekerjasama dengan istri pertama untuk mengurus anak-anaknya." 

Komnas Perempuan menyampaikan bahwa terdapat 7.476 kasus poligami yang berakhir dengan perceraian yang dilaporkan pada 2015. Angka ini meningkat pada periode pelaporan 2019.

Alasan Bodoh Berpoligami Gunakan Isu Jumlah Penduduk 

Penduduk Indonesia 2019 (Sumber : Kata Data)
Penduduk Indonesia 2019 (Sumber : Kata Data)

Parahnya, masyarakat kita masih juga menggunakan alasan jumlah penduduk. Poligami dianggap sah karena jumlah penduduk perempuan dianggap lebih tinggi dari jumlah penduduk laki laki. Hallooooo...lihat dong data Sensus Penduduk 2010 yang menunjukkan bahwa penduduk perempuan nyaris sama dengan jumlah penduduk laki laki, bahkan lebih sedikit dari penduduk laki-laki. Angka ini konsisten pada Survei Antar Sensus (SUPAS) 2015.

Berdasar data SUPAS, jumlah penduduk Indonesia pada 2019 diproyeksikan berjumlah 266,91 juta jiwa, di mana 134 juta di antaranya adalah laki-laki dan 132,91 juta penduduk adalah perempuan. Saya kira ini jelas. Jadi, alasan jumlah penduduk jangan lagi dipakai sebagai alasan.

Undang-udang Perkawinan di Indonesia sudah cukup kompleks dan membuka ruang-ruang tidak keadilan bagi perempuan. Meski demikian, ada pasal soal perluna persetujuan istri bagi suami yang hendak berpoligami. Bila kemudian wilayah seperti Aceh akan melahirkan qanun soal Poligami, berikut aturan perkawinan, waris dan lain lain, tentu akan banyak implikasi hukum yang perlu diubah dan disesuaikan. Qanun ini tidak mensyaratkan ijin istri. Kompleks.

Saat ini saja terdapat beberapa Qanun yang berseberangan dan tidak konsisten dengan konvensi internasional. Soal pencambukan pada kasus-kasus terkait hubungan pempuan dan laki laki masih jadi isu besar. Bagaimana dengan Qanun yang melarang perempuan bekerja di kedai kopi hingga malam, dan bahkan rencana melarang perempuan masuk kedai kopi.  Ini pekerjaan rumah yang besar.

Poligami dari Berbagai Perspektif
Banyak studi yang mengemukakan apa penyebab poligami. Tentu saja, bagi yang pro pada poligami akan mengatakan soal panjang umur, kebahagiaan, keturunan, mencegah zina, menolong yatim, menolong si miskin, alasan budaya, dan alasan agama. Tapi, ingin juga sih dengar pandangan laki-laki. Sebetulnya, apa sih yang dicari? Jujur ya!

Dalam hal perspektif atau cara pandang pada ajaran agama, sejarah menunjukkan terdapat pendangan bahwa penganut beberapa agama tertentu, misalnya Mormon, Islam, Hindu, dan beberapa agama lain memiliki diskursus tentang poligami.

Saya memang tidak akan mendiskusikan terlalu panjang soal poligami dari perspektif agama Islam, karena ini akan mengundang diskusi tak berujung. Satu hal yang saya pahami, alasan keadilan dari perspektif agama Islampun sulit bisa dicapai.

Saya bisa menyarankan agar masyarakat muslim Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan untuk sesekali membaca ulasan Doktor Kyai Husein dari Cirebon. Beliau adalah Kyai yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa bidang Tafsir Gender dari Universitas Islam Negeri Walisongo pada Maret 2019 yang lalu.

Studi global menunjukkan bahwa dalam banyak konteks, poligami tidak mampu membuat status manusia lebih baik. Ini dilihat dari perspektif kesetaraan antarmanusia, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, kesetaraan antar perempuan juga.

Artikel 16 dari Deklarasi Hak Asasi Manusia mencantumkan soal hak untuk menikah. Pertama, perempuan dan laki laki dewasa, tanpa membedakan ras, warga negara atau agama, memiliki hak untuk menikah dan menemukan keluarga. Mereka berhak untuk memiliki hak yang sama untuk menikah, dalam masa pernikahan, dan ketika terpaksa harus berpisah. Kedua, pernikahan harus terjadi hanya ketika mereka dan para pihak sadar secara penuh untuk melakukannya.

Bisa dicek pada perempuan, sebetulnya, apakah hati kecil mereka menerima untuk memiliki "saingan" dalam pernikahan. Sementara begitu banyak studi menunjukkan bahwa perempuan sakit hati dan merasa diperlakukan tidak adil ketika perempuan kedua, ketiga, atau keempat hadir dalam perkawinan mereka. Dari kacamata laki-laki sih legitimasi apapun bisa dibuat ketika laki-laki menghendaki berpoligami.

Tulisan Urpan Murniasari "Monogami Yes, Poligami No" yang ada pada Mubadalahnews.com yang dikelola oleh kelompok muslim, perempuan dan laki-laki, yang sensitif pada persoalan gender mengatakan bahwa banyak di antara kita yang memainkan ayat-ayat untuk mengesahkan poligami. Kadang-kadang pemilihan ayatnyapun tidak sesuai konteks.

Konteks Islam pada saat Nabi Muhammad hidup tentu berbeda dengan konteks saat ini. Jangankan soal poligami, soal kendaraan saja adalah berbeda. Dulu masyarakat di Arab menunggang kuda atau unta dan masih berperang. Sementara kita hidup di masa yang memungkinkan ada MRT, walaupun itu ada di Jakarta.

Tulisan tersebut mengatakan pula bahwa poligami yang saat ini marak terjadi tak lebih hanyalah akal-akalan suami yang tidak mensyukuri istrinya dan mengutamakan nafsunya saja. Poligami bisa menjadi bibit perselisihan, penganiayaan, kedzaliman, dan ketidakadilan.

Terdapat pandangan "Lebih baik poligami daripada selingkuh". Nah ini bagaimana? Tampaknya poligami dianggap fasilitas syaruat Islam, yang disediakan untuk orang yang mampu adil. Sementara, selingkuh dilarang dan adalah barang haram. 

Lalu apa beda poligami dan selingkuh? Bedanya, yang pertama dinikmati dan dirayakan dengan akad nikah, sementara selingkuh dilakukan tanpa akad. Ada yang mengomentari poligami sebagai selingkuh syar'i. 

Sekiranya pembaca ingin menelusur lebih dalam, silakan untuk mengunjungi pustaka yang telah saya terakan. Atau, saya bisa memperkenalkan anda pada sahabat saya, Dr Kyai Haji Husein di Cirebon. Saya mempunyai nomor HP dan WA beliau serta emailnya dan saya bersedia membagi secara pribadi.

Muhammadiyah sebagai organisasi Islampun menolak poligami. Saya mempelajari betapa Muhammadiyah begitu progresif soal satu ini, dan ini dilakukan berdasar kajian yang memadai.

Semoga kita semua mengambil pelajaran dari hidup kita sebagai manusia dan hidup sesama. Bersikap 'civilized', adil, dan tepa selira mungkin akan membantu hidup kita sebagai manusia yang berada pada tingkat tertinggi dari segala makhluk Allah.

Pustaka : 1) Pro Poligami; 2) Solusi Perselingkuhan?,  3) Rancangan Qanun  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun