Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Poligami? Enak Aja!

7 Juli 2019   08:25 Diperbarui: 10 Juli 2019   21:00 3206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bisa menyarankan agar masyarakat muslim Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan untuk sesekali membaca ulasan Doktor Kyai Husein dari Cirebon. Beliau adalah Kyai yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa bidang Tafsir Gender dari Universitas Islam Negeri Walisongo pada Maret 2019 yang lalu.

Studi global menunjukkan bahwa dalam banyak konteks, poligami tidak mampu membuat status manusia lebih baik. Ini dilihat dari perspektif kesetaraan antarmanusia, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, kesetaraan antar perempuan juga.

Artikel 16 dari Deklarasi Hak Asasi Manusia mencantumkan soal hak untuk menikah. Pertama, perempuan dan laki laki dewasa, tanpa membedakan ras, warga negara atau agama, memiliki hak untuk menikah dan menemukan keluarga. Mereka berhak untuk memiliki hak yang sama untuk menikah, dalam masa pernikahan, dan ketika terpaksa harus berpisah. Kedua, pernikahan harus terjadi hanya ketika mereka dan para pihak sadar secara penuh untuk melakukannya.

Bisa dicek pada perempuan, sebetulnya, apakah hati kecil mereka menerima untuk memiliki "saingan" dalam pernikahan. Sementara begitu banyak studi menunjukkan bahwa perempuan sakit hati dan merasa diperlakukan tidak adil ketika perempuan kedua, ketiga, atau keempat hadir dalam perkawinan mereka. Dari kacamata laki-laki sih legitimasi apapun bisa dibuat ketika laki-laki menghendaki berpoligami.

Tulisan Urpan Murniasari "Monogami Yes, Poligami No" yang ada pada Mubadalahnews.com yang dikelola oleh kelompok muslim, perempuan dan laki-laki, yang sensitif pada persoalan gender mengatakan bahwa banyak di antara kita yang memainkan ayat-ayat untuk mengesahkan poligami. Kadang-kadang pemilihan ayatnyapun tidak sesuai konteks.

Konteks Islam pada saat Nabi Muhammad hidup tentu berbeda dengan konteks saat ini. Jangankan soal poligami, soal kendaraan saja adalah berbeda. Dulu masyarakat di Arab menunggang kuda atau unta dan masih berperang. Sementara kita hidup di masa yang memungkinkan ada MRT, walaupun itu ada di Jakarta.

Tulisan tersebut mengatakan pula bahwa poligami yang saat ini marak terjadi tak lebih hanyalah akal-akalan suami yang tidak mensyukuri istrinya dan mengutamakan nafsunya saja. Poligami bisa menjadi bibit perselisihan, penganiayaan, kedzaliman, dan ketidakadilan.

Terdapat pandangan "Lebih baik poligami daripada selingkuh". Nah ini bagaimana? Tampaknya poligami dianggap fasilitas syaruat Islam, yang disediakan untuk orang yang mampu adil. Sementara, selingkuh dilarang dan adalah barang haram. 

Lalu apa beda poligami dan selingkuh? Bedanya, yang pertama dinikmati dan dirayakan dengan akad nikah, sementara selingkuh dilakukan tanpa akad. Ada yang mengomentari poligami sebagai selingkuh syar'i. 

Sekiranya pembaca ingin menelusur lebih dalam, silakan untuk mengunjungi pustaka yang telah saya terakan. Atau, saya bisa memperkenalkan anda pada sahabat saya, Dr Kyai Haji Husein di Cirebon. Saya mempunyai nomor HP dan WA beliau serta emailnya dan saya bersedia membagi secara pribadi.

Muhammadiyah sebagai organisasi Islampun menolak poligami. Saya mempelajari betapa Muhammadiyah begitu progresif soal satu ini, dan ini dilakukan berdasar kajian yang memadai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun