Kopi si Raja Kuliner IndonesiaÂ
Sebagai penggemar kopi, saya perlu, setidaknya secangkir kopi dalam sehari. Tidak jarang, secangkir kopi ini menghantarkan saya untuk bertahan sampai siang hari. Iya, kopi bisa jadi sarapan pagi. Dengan menuangkan air panas yang mendidih ke dalam cangkir berisi kopi Gayo, saya dapatkan Kopi Tubruk nikmat.Â
Namun, bila ada sedikit waktu, saya rebus kopi dengan air secangkir. Untuk mendapatkan rasa terbaik, saya matikan kompor segera setelah air mendidih. Ini untuk menhindari adanya rasa gosong dari kopi dan mengurangi penguapan aroma kopi. Orang menyebutnya sebagai proses Kopi Klotok.Â
Akhir akhir ini, kegemaran minum kopi saya dimanjakan oleh begitu banyaknya gerai baru. Sebut saja, Kopi Tuku yang gerai utamanya ada di wilayah Cipete, Jakarta Selatan. Menunya unik. Ada Kopi Tetangga, Premium, Rasa Rasa, dan Selain Kopi.Â
Juga Kopi Kenangan, menyuguhkan menu unik 'Kopi Kenangan Mantan', lalu 'Kopi Mantan Menikah', 'Kopi Kenangan Masa Lalu', dan ada pula 'Minuman Selingkuhan', yaitu menu yang memadupadankan susu dengan produk lain, seperti roti mari ke dalam kopi. Untuk dua merek kopi ini, saya suka kopi yang disedu dengan air kelapa murni atau kopi dengan campuran Gula Jawa. Sedap.Â
Ada pula kopi 'Janji Jiwo'. Beberapa menu khasnya, yakni Es Kopi Susu, Es Kopi Pokat, Ice Latte, dan Soy Coffee Latte. Sedangkan, menu tanpa kopinya antara lain Es Susu Matcha, Soklat, dan Madu Suzu.Â
Aspek 'branding' atau merek jadi hal penting bagi kopi milenial ini. Menu utama yang terkenal dari kopi millenial sebetulnya kopi susu, namun variasi darinya cukup banyak.
Ini menarik, karena menu ini berbeda dengan menu Kopi yang dijajakan di Cafe Shop waralaba dari negara atau budaya barat seperti cappucinno, cafe latte, dan esspresso.
Ragam Warung KopiÂ
Di semua wilayah negeri ini, warung kopi selalu ada. Ia di sebalah rumah kita. Berjejer di sekitar gedung perkantoran. Atau, di area warung makan. Menu kopi tubruk dan kopi susu biasanya tersedia.
Jangan berhenti di situ, bila kita memasuki gerai warung seperti 'Indomaret', 'Alfamaret' atau Circle K', minuman kopi juga tersedia.
Terdapat termos air panas tempat kita menyedu kopi instan, atau mereka secara sengaja membuat bisnis minuman kopi.
Minuman kopi itu ditampilkan mengikuti kopi milenial, dikemas dengan gelas plastik bening yang disegel pada bagian penutupnya. Harga segelas kopi susu adalah sekitar Rp 10.000.
Saya terpana mendengar informasi mas penjual kopi keliling ini. Setiap hari ia mengantongi sekitar Rp 300 ribu sebagai hasil bersih. Iapun bebas berjualan di area Menteng dan MH THamrin. Ini terjadi di kala Ahok masih Gubernur DKI.Â
Pada akhirnya, kopi telah menjadi budaya kita.
Adalah Dewi Lestari, penulis Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa satu decade, yang terbit pada 2006.
Buku ini mengisahkan Ben yang melakukan banyak perjalanan dan pencarian untuk dapat memahami cara pembuatan kopi terbaik. Di bawah ini adalah potongan dari film Filosofi Kopi yang dibuat berdasar buku Dewi Lestari.Â
Menarik ya?!
Dari buku itu, Dewi Lestari menuliskan betapa resep kopi yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat dari budaya barat dicobakenalkan di negeri ini, sebut saja Cappucinno, Caf e Latte, Esspresso, Cage Baileys dan lain lain.
Untuk membuat Cappucinno, misalnya dituntut ketrampilan memadukan kopi dan bisa susu sedemikian rupa. Mesin kopi yang mahal dan harganya bisa dibandrol antara Rp 200 juta sampai miliaran menjadi penera bahwa kopi dengan resep barat ini istimewa.Â
Dewi Lestari menuliskan tentang Kopi Tubruk.
"Bagaimana dengan kopi tubruk? Seorang bertanya iseng. Lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam. Ben menjawan cepat. Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar, membuatnya pun sangat cepat. Seolah-olah tidak membutuhkan skill khusus. Tapi, tunggu sampai anda mencium aromanya, bak pemain sirkus Ben menghidangkan secangkir kopi tubruk, silakan komplimen untuk anda. Dengan wajah terpukau, orang itu menerima cangkir yang disorongkan Ben, siap menyeruput. Tunggu dulu! tahan Ben. Kedahsyatan kopi tubruk terletak pada temperature, tekanan, dan urutan langkah pembuatan yang tepat. Semua itu akan sia-sia kalau Anda kehilangan tujuan sebenarnya: Aroma... (Lestari, 2006: p. 5).
Dewi mengangkat status Kopi Tubruk yang sederhana dan apa adanya, tidak kalah dengan resep dan menu kopi ala barat.
Dewi Lestari juga hendak menunjukkan bahwa di kalangan budaya Jawa, proses penyajian kopi sangat dekat dengan aspek sosial dan budaya di sekitarnya. Kopi Tubruk itulah yang kita kenal di kalangan kita semua.
Ia ada di warung kopi di sebelah rumah. Dan, biasanya, ada merek kopi tertentu yang disuka. Di warung kopi, saya akan memilih kopi Kapal Api. Bagaimana dengan anda?
Dewi menceritakan bahwa semua kopi memiliki filosofinya sendiri sendiri.Â
Warung Kopi adalah tempat istirahat kita. Rasa kopi Tubruk ini juga 'ngangenin', kan?! . Di wilayah perdesaan di Jawa Tengah, Kopi Tubruk kadang disajikan dalam bentuk kopi yang ditumbuk bercampur jagung, atau sering dikenal sebagai Kopi Jagung.
Di masa lalu, Kopi Jagung mewakili kopi marjinal, karena alasan ekonomis, harganya lebih murah dari kopi biasa. Tapi untuk saat ini, rasa Kopi Jagung bisa jadi istimewa karena ada memori di sana.Â
Warung atau Kedai kopi juga merupakan wilayah komunikasi di Jawa atau bahkan di Aceh dan wilayah lain di Indonesia. Siapapun yang berada di warung kopi bisa merdeka angkat bicara. Dan bicara soal apa saja. Soal isu sosial, ekonomi, budaya ataupun masalah politik.
Adalah biasa, kelompok masyarakat akhirnya memiliki gerakan perlawanan setelah mendiskusikannya di warung Kopi. Warung Kopi menjadi wilayah politik dan sekaligus lambang resistensi kelompok masyarakat tertentu.
Warung dan kedai kopi juga menjadi bagian dari sarana komunikasi. Kita bisa bertemu kawan, untuk sekedar ngobrol omong kosong, berbicara soal bisnis atau membicarakan politik.Â
Ini memang benar. Di banyak wilayah kerja yang saya datangi, warung kopi adalah tempat paling mudah untuk mendapatkan pandangan masyarakat di sekitar desa dan warung kopi itu.
Orang tidak perlu merasa diwawancarai ketika duduk bersama sambil menikmati secangkir kopi dan berbicara tentang banyak hal. Mbak atau Mas penjual di warung kopi bisa juga menjadi nara sumber yang telah mengobservasi banyak pelanggannya.Â
Di malam hari, ketika masyarakat jaga malam atau ronda malam, kopi adalah teman setia. Satu termos kopi biasanya menemani pak Hansip dan bapak bapak yang bergantian jaga keamanan kampung.
Selain kopi dipercaya dapat membuat mata terjaga, kopi juga teman ngobrol setia.
Akulturasi Kopi Indonesia
Walau kopi ditanam masyarakat Kenya sejak 3000 tahun yang lalu, Kopi masuk ke Nusantara bersama penjajah Belanda di abad 17. Wilayah Jawa, khususnya Jawa Barat adalah area yang paling banyak ditanam kopi. Tentu saja, warga pribumi adalah buruh perkebunan kopi itu.
Bahkan di wilayah Sumatera Barat dikenal kopi tangkai. Karena biji kopi adalah konsumsi penjajah, para pribumi minum kopi dari bahan tangkai kopi. Ironis?Â
Kerusakan kebun kopi yang diakibatkan oleh hama, menjadikan Belanda mencari varietas baru yang tahan hama. Dalam perkembangannya, perkebunan itu dibubarkan, dan akhirnya masyarakat membuka sendiri kebun kebun kopi di sekitar tempat tinggalnya.
Perkembangan jaman merubah tampilan dan penyajian kopi. Cafe kopi pertama di Jakarta adalah Bakoel Koffie di area Cikini Raya. Yang menarik. Bakoel Koffie sering dipakai sebagai tempat para aktivis bertemu dan membuat janji.
Indonesia menjadi negara pengeksport terbesar nomor empat di dunia, setelah Kolumbia, Venezuela dan Vietnam. Di tahun 2012, nilai ekpor kopi kita, pada umumnya Arabica, mencapai US $ 1,5 milyar.
Namun demikian, produktivitas kopi di Indonesia masih rendah, yaitu hanya sebesar 7 karung per hektar, dibandingkan dengan Vietnam sebanyak 4o karung per hektar, India sebesar 13 karung per hektar dan Ethiopia sebesar 10 karung per hektar.Â
Perkebunan Kopi di Indonesia mencapai luasan sekitar 1,24 juta hektar dan dapat ditemukan di Sumatera, dan wilayah Indonesia lain. Terdapat berbagai kjenis kopi spesialitis, seperti kopi Gayo, Bali, Mandailing, Lampung, Wamena, Bajawa, Toraja, dan juga kopi Luwak. Kopi Luwak dijual relatif lebih mahal dari kopi yang lain.
Kopi di Indonesia diproduksi oleh sekitar 1,97 juta perkebunan kopi rakyat, dan hanya sekitar 15 % diproduksi oleh perusahaan kopi yang relatif besar.
Hegemoni KopiÂ
Bila ditelisik dari sejarah dan tipologi pemain di industri kopi, kita melihat relasi kuasa yang tak seimbang. Diawali dengan kekuasaan dagang penjajah Belanda, menempatkan warga Indonesia sebagai buruh kebun kopi.Â
Dalam hal rantai nilai, kopi di wilayah Sumatera, khususnya Takengon dan Bener Meriah dieksport oleh petani yang telah membentu koperasi ke banyak negara dalam bentuk biji kopi.
Dinamika koperasi pun juga beragam. Terdapat koperasi yang telah menjalankan prinsip koperasi sehingga petani mendapatkan keuntungan yang cukup besar.
Bahkan, terdapat koperasi yang diketuai oleh Perempuan yang mengekspor dalam jumlah besar ke Eropa dan Amerika Utara.
Namun, tidak sedikti koperasi masih beroperasi sebagai perusahaan swasta, sehingga petani lebih merupakan pekerja atau buruh.
Sementara di wilayah Sulawesi, kopi biasanya dibeli oleh beberapa perusahaan besar atau oligopsonis, dan disalurkan ke Starbucks. Perbedaan ini tentu menentukan siapa yang mendapat keuntungan utama.
Pada kasus di Sulawesi, keuntungan terbesar ada di tangan pedagang dan 'roaster'.
Di dalam perkembangan kopi di tingkat konsumsi, pedagang dan pemilik modal asing masuk di antara keramaian warung dan kedai kopi lokal dalam bentuk Cafe Shop dengan menu kopi barat. Cappucinno, cafe lattee, espresso, dan jenis kopi lain ada di deretan menu.
Kopi-kopi ini dibanderol mahal, antara Rp 25.000 sampai dengan Rp 60.000,-. Juga, masuk pula jenis Caf kopi Asia seperti Kopi Tiam, yang pada umumnya dimiliki oleh pengusaha nasional.Â
Perkembangan Cafe Shop dan warung kopi terus meluas di Indonesia. Dan warung Kopi tetap memiliki status yang pentingnya Coba saja perhatikan, ketika kita hendak bertemu orang untuk membicarakan sesuatu atau sekedar melepas rindu, ajakan 'Ngopi yuk', mungkin sering kita dapatkan.Â
Namun, jangan heran bila suatu hari anda (perempuan) ditolak oleh sebuah warung kopi di wilayah Aceh. Akhir akhir ini banyak berita yang mengatakan bahwa perempuan dilarang masuk wilayah kedai kopi yang sangat 'laki laki'. Dan Snda akan kehilangan kesempatan minum 'Sanger' Gayo.
Nah, kalau kemudian ada hegemoni kapitalis dan hegemoni laki laki di antara kopi, lalu bagaimana untuk kami?Â
Pustaka: 1) Kopi Kenangan; 2) Kopi Lokal Terbaik, 3) Akulturasi Kopi; 4) Gender dan Kopi (Dati Fatimah dan Leya Cattleya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H