Dewi Lestari menuliskan tentang Kopi Tubruk.
"Bagaimana dengan kopi tubruk? Seorang bertanya iseng. Lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam. Ben menjawan cepat. Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar, membuatnya pun sangat cepat. Seolah-olah tidak membutuhkan skill khusus. Tapi, tunggu sampai anda mencium aromanya, bak pemain sirkus Ben menghidangkan secangkir kopi tubruk, silakan komplimen untuk anda. Dengan wajah terpukau, orang itu menerima cangkir yang disorongkan Ben, siap menyeruput. Tunggu dulu! tahan Ben. Kedahsyatan kopi tubruk terletak pada temperature, tekanan, dan urutan langkah pembuatan yang tepat. Semua itu akan sia-sia kalau Anda kehilangan tujuan sebenarnya: Aroma... (Lestari, 2006: p. 5).
Dewi mengangkat status Kopi Tubruk yang sederhana dan apa adanya, tidak kalah dengan resep dan menu kopi ala barat.
Dewi Lestari juga hendak menunjukkan bahwa di kalangan budaya Jawa, proses penyajian kopi sangat dekat dengan aspek sosial dan budaya di sekitarnya. Kopi Tubruk itulah yang kita kenal di kalangan kita semua.
Ia ada di warung kopi di sebelah rumah. Dan, biasanya, ada merek kopi tertentu yang disuka. Di warung kopi, saya akan memilih kopi Kapal Api. Bagaimana dengan anda?
Dewi menceritakan bahwa semua kopi memiliki filosofinya sendiri sendiri.Â
Warung Kopi adalah tempat istirahat kita. Rasa kopi Tubruk ini juga 'ngangenin', kan?! . Di wilayah perdesaan di Jawa Tengah, Kopi Tubruk kadang disajikan dalam bentuk kopi yang ditumbuk bercampur jagung, atau sering dikenal sebagai Kopi Jagung.
Di masa lalu, Kopi Jagung mewakili kopi marjinal, karena alasan ekonomis, harganya lebih murah dari kopi biasa. Tapi untuk saat ini, rasa Kopi Jagung bisa jadi istimewa karena ada memori di sana.Â
Warung atau Kedai kopi juga merupakan wilayah komunikasi di Jawa atau bahkan di Aceh dan wilayah lain di Indonesia. Siapapun yang berada di warung kopi bisa merdeka angkat bicara. Dan bicara soal apa saja. Soal isu sosial, ekonomi, budaya ataupun masalah politik.
Adalah biasa, kelompok masyarakat akhirnya memiliki gerakan perlawanan setelah mendiskusikannya di warung Kopi. Warung Kopi menjadi wilayah politik dan sekaligus lambang resistensi kelompok masyarakat tertentu.
Warung dan kedai kopi juga menjadi bagian dari sarana komunikasi. Kita bisa bertemu kawan, untuk sekedar ngobrol omong kosong, berbicara soal bisnis atau membicarakan politik.Â