Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

"Bau Ikan Asin" dan Andai RUU PKS Telah Disahkan

4 Juli 2019   17:20 Diperbarui: 5 Juli 2019   02:02 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggapan untuk Sahabat Kompasianer Felix Tani
Rasanya lega, bahwa Profesor Felix Tani bersuara dan menyampaikan pandangannya melalui artikel ini dengan menggunakan perspektif feminis dalam menganalisis, mengemukakan argumentasi, dan usulan-usulannya.

Apalagi Profesor Felix Tani berbicara sebagai laki-laki dan menjadi sangat efektif menyampaikan argumentasi kesetaraan gender.

Saya sangat mendukung pandangan Profesor Felix terkait bagaimana perempuan dan laki-laki sebagai makhluk sosial budaya, dan bukan hanya sekadar seonggok daging yang kebetulan dinilai (secara subyektif) memiliki aroma ikan asin, dan bisa dicerai kapan saja bila si laki laki merasa sudah 'tidak mau' lagi. 

Terdapat hal yang saya rasa kita perlu memaknai sebagai persoalan serius, khususnya terkait substansi dari kalimat yang dimunculkan dalam Youtube seorang laki-laki, dan juga bagaimana aspek media sosial dan teknologi membawa dinamika yang berbeda.

Relasi Gender dalam Lembaga Perkawinan dan di Luar Lembaga Perkawinan
Dari konteks apa yang terjadi pada artis yang kemudian memiliki masalah dengan pernyataan "bau ikan asin", nampak bahwa relasi keduanya pada saat perkawinan masih utuh sudah tidak dalam relasi yang setara.

Pada dasarnya, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki akan mendukung hubungan yang lebih stabil dan lebih sehat. Ini terdapat pada hasil studi global yang dilakukan pada 2017 yang menunjukkan bahwa suami yang berperspektif gender, atau berperspektif feminis, memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendorong perkawinan yang lebih sehat dibandingkan dengan suami yang tidak memahami pentingnya kesetaraan. Dalam hal ini, perkawinan itu digambarkan dengan relasi yang saling menghargai.

Studi tersebut juga mencatat bahwa kesetaraan di antara pasangan suami-istri tidak berarti membuat mereka tidak pernah bertengkar. Pertengkaran atau perdebatan adalah biasa. Yang menjadikan perkawinan berkesetaraan dapat membantu perkawinan yang sehat adalah adaya kesadaran di antara suami-istri bahwa hubungan mereka dinamis dan tidak statis. Keterbukaan membuka ruang berdiskusi dan berdebat. 

Undang undang Perkawinan No 1/1974 masih bias gender. Posisi laki-laki dalam perkawinan di Indonesia menurut undang-undang tersebut adalah sebagai Kepala Keluarga. Sementara, perempuan sebagai istri dan ibu rumah tangga. Posisi "headship" atau status kepala keluarga ini sebetulnya diperkenalkan pada masa penjajahan Belanda. Ini banyak mengubah tatanan keluarga yang sebelumnya berbasis budaya lokal masing-masing.

Pada akhirnya, ini memengaruhi bagaimana relasi suami istri dalam rumah tangga. Sering kita temui situasi bahwa posisi laki laki jadi lebih tinggi dari perempuan, sementara perempuan ada di posisi yang dimarjinalkan. Cilakanya, apa yang terjadi di dalam rumah tangga kemudian seakan ditempatkan pula di ranah publik dan di masyarakat. Seakan, laki laki harus selalu jadi pemimpin di mana saja, termasuk dalam proses pembangunan. 

Ini seringkali didukung dengan bias yang lebih tidak seimbang ketika perkawinan itu didasari pada perspektif bahwa laki-laki memiliki status lebih tinggi dan kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan perempuan, dan oleh karenanya, laki laki bisa bertindak apa saja. Ditambah lagi, bila  masyarakat menggunakan perspektif atau pandangan yang tidak seimbang pada pemahaman agama yang dianut, meski kita paham bahwa Allah Maha Adil. Penganut dan penyebar agama sering menginterpretasikan ajaran agama dengan bias yang ada di dalam kepalanya.

Dalam prakteknya,  'priveledge' yang diberikan oleh sistem sosial dan budaya kepada laki laki ini juga tidak selamanya amenguntungkan laki laki. Kita lihat banyak laki laki seperti kehilangan pegangan dan  'stress' ketika sistem sosial menuntut ia selalu menjadi pemimpin keluarga dan  wajib menjadi penyedia utama nafkah keluarga. Padahal situasi dan kondisi tidak selamanya bisa demikian. Tidak mudah menjadi laki laki seperti yang diharapkan oleh sistem sosial, yaitu selalu menjadi pemimpin di masa yang kompetitif seperti sekarang. Sementara, menjadi perempuan yang harus  selalu 'bersembunyi' dan mengalah menjadi orang kedua di semua suasana dan segala cuaca juga bukan hanya tidak mudah, tetapi juga tidak adil. Atau memang kita harus selalu bersandiwara? Melelahkan tentunya.  

Substansi Aroma Ikan Asin dari Pernyataan Seorang Laki-laki
Sebelum pasangan menikah, pasangan yang jatuh cinta akan melihat semuanya indah. Meski terdapat relasi tidak setara di antara perempuan dan laki laki, perempuan bisa saja 'permisif' dan mengijinkan relasinya tidak setara. Dengan harapan, mereka akan memperbaiki setelah dan di dalam pernikahan mereka. 

Namun, ketika relasi dalam perkawinan bubar karena satu dan lain hal, termasuk adanya pihak ketiga, biasanya ketidaksetaraan antara perempuan dan laki laki menjadi muncul dalam bentuk pernyataan verbal maupun dalam perilaku, bahkan kadang kadang merupa dalam bentuk kekerasan fisik. 

Apa yang terjadi pada kasus artis yang berpisah dan saling melempar pernyataan yang mempermalukan masing-masing pihak bukanlah suatu kondisi yang baik bagi keduanya. Seperti yang Profesor Felix sampaikan, apa yang dilontarkan oleh si laki-laki terkait bau ikan asin (yang tentu subyektif) melalui Youtube, jelas sekali penghinaan. Profesor Felix mengatakan:

"Laki-laki yang merendahkan perempuan seperti itu seolah kebal hukum. Kecuali dalam kasus-kasus perkosaan atau tindak pelecehan fisik yang vulgar. Tapi kalau melecehkan dengan ujaran semacam 'bau ikan asin', dan banyak ujaran yang setara derajat penghinaaannya dengan itu, setahu saya belum pernah ada perkara yang masuk ke pengadilan".

Nah....ini yang saya hendak bahas. Selama kejadian itu berlaku dalam masa mereka dalam perkawinan, si laki-laki bisa tersandung pasal kekerasan dalam rumah tangga Nomor 23 tahun 2004 pasal 5 terkait kekerasan kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Ini bisa dilihat pula pada Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan dan pasal 52 dari undang undang tersebut. Pasal 53 dari undang undang ini juga mencakup kekerasan seksual.

Namun, ketika pasangan tersebut tidak dalam perkawinan, persoalan kekerasan yang terjadi menjadi lebih kompleks.

Seandainya saja, Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sudah disahkan, perkara ini bisa ditangani dengan lebih baik. Draf RUU PKS mencakup 15 bentuk kekerasan seksual yang selama lebih dari 20 tahun dipantau oleh Komnas Perempuan, yaitu:

  • Perkosaan;
  • Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan;
  • Pelecehan Seksual;
  • Eksploitasi Seksual;
  • Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual;
  • Prostitusi Paksa;
  • Perbudakan Seksual;
  • Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung;
  • Pemaksaan Kehamilan;
  • Pemaksaan Aborsi;
  • Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
  • Penyiksaan Seksual;
  • Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual;
  • Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan;
  • Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Kelima belas bentuk kekerasan seksual ini bukanlah daftar final, karena ada kemungkinan sejumlah bentuk kekerasan seksual yang belum kita kenali akibat keterbatasan informasi mengenainya.

Dalam kasus yang terjadi dan kita bicarakan, terdapat bentuk kekerasan yang relevan,  yaitu 1) intimidasi seksual termasuk ancaman; 2) pelecehan seksual; dan 3) eksploitasi seksual yang menggunakan media sebagai cara menggunakan aspek seksual untuk kepentingan sepihak; dan 4) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual. Penghukuman verbal agar pasangan atau mantan istri/suami tidak melawan bisa masuk kategori ini.

Namun, untuk saat ini Undang undang KUHP Bab 16 pasal 310 melindungi setiap warga dari penghinaan "Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakuknn terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan stau diterimakan kepadanya, diancam karena ..."

Kita belum membincang udang undang terkait media. Mungkin perlu analisis lebih dalam tentang hal ini dari kacamata keadilan gender.

Profesor Felix Tani menuliskan:

"...Artinya, perempuan di situ tidak dilihat sebagai insan sosial-budaya yang setara dengan laki-laki. Melainkan semata sebagai benda, yang jika aromanya tidak sedap (dan ini subjektif), maka layak untuk dibuang atau disingkirkan. Dalam kasus ini "diceraikan". Saya kira sangat jelas bahwa perkara "bau ikan asin" ini termasuk kategori penghinaan berat karena menurunkan harkat perempuan". Saya setuju. 

Relasi di luar perjawinan sudah jelas. Perempaun dan laki laki dilindungi status dan hak yang sama di depan hukum. Tak ada aturan yang mengatakan laki laki atu perempuan boleh saling menghina. 

Perlukah ke Pengadilan? 
Mengapa tidak? Bila terpaksa dan tidak ada penyesalan serius dari pihak laki-laki, membawa kasus ini ke pengadilan adalah solusi. Penggunaan  media, yaitu Youtube untuk menyebarkan penghinaan soal bau ikan asin itu membawa dampak luas. Media, baik media sosial dan media arus utama, berkontribusi dalam meningkatkan skala penghinaan itu pada perempuan.

Memang, seperti kata Prof Felix Tani, sistem peradilan di Indonesia memang masih bias. Membawa ke pengadilan atas kasus ini akan menghukum korban sebanyak dua kali. Namun, membiarkan ini dalam ranah pergunjingan media adalah ketersesatan kita secara bersama-sama. Tidak ada efek jera. Penghinaan akan terjadi lagi. Apalagi lsistem soaial menempatkan aki laki dengan 'previledge' itu. 

Kaus ini telah meninggalkan jejak digital. Bayangkan bila anak korban membaca itu. Mungkin pada saat dewasa mencari kerjapun malu bila kemudian akan ada memori soal ibunya yang dihina oleh mantan suaminya.  Jadi, saran saya,  silakan tuntut ke meja hijau.

Bayangkan bila korban adalah anak perempuan Anda. Apa yang anda lakukan, bila anak perempuan kesayangan anda diperbincangkan jutaan orang soal "bau ikan asin"? Tenang tenang saja? Gila, kalau itu memang yang anda rasakan. 

Juga, apakah Anda tega bila andalah (laki laki) yang menghadapi situasi bahwa "burung" anda (bila anda laki laki) dibicarakan di media sosial? Sebut saja ada pernyataan "burungmu tidak berdiri'. Atau 'penismu payah'. Lalu, apakah anda siap, bila pasangan anda membincang melalui Youtube tentang betapa membosankannya kehidupan seksual anda? 

Itu saja, pertanyaan saya. Bila jawabannya adalah tidak, terapkan itu pada diri kita dalam menyikapi isu ini. Kesalingan. Dalam bahasa Jawa, kita sering mengenal tepo seliro, yang memiliki arti tenggang rasa. Tulisan ini bukan mengajak kita untuk berbalas dengan penghinaan. Namun, justru sebaliknya, mengajak berpikir bahwa penghinaan tetaplah perilaku yang tidak pada tempatnya.  

Saya hanya berharap, perempuan dan laki-laki Indonesia, termasuk mereka yang ada di partai dan sistem peradilan, atau sebagai suami-istri dalam perkawinan atau laki-laki dan perempuan dalam hubungan percitaan, menyadari apa itu kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Kita sama sama manusia di hadapan Tuhan dan hukum. Tidak ada yang lebih superior dari yang lainnya. 

Jadi, bawa saja ke ranah hukum. Untuk itu korban perlu mempertimbangkan pembela yang memahami kasus semacam. Sebut saja pengacara yang ada dalam Lembaga Bantuan Hukum APIK yang biasa menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.

Tidak ada masalah untuk menggunakan pengacara terkenal yang biasa melayani artis, asalkan paham perundangan yang melindungi kasus-kasus yang dialami perempuan dan paham sudut pandang pembelaannya. Juga perlu dijaga agar pernyataan tidak seksis, yang bahkan mendorong majelis dan media memberikan penghukuman dan pelecehan bertumpuk.

Menyeret kasus ini ke meja hijau bukan berarti membawa korban untuk diperiksa apakah terbukti bau ikan asin atau tidak. Itu bodoh (maaf bila ada yang tersinggung dengan kalimat saya). Sama juga, bila terdapat kasus di mana perempuan melecehkan laki laki dan muncul pernyataan bahwa alat kelamin laki-laki kecil, belang belang, atau ada bau-bau yang lain, tentu bukan pemeriksaan apakah ada bukti atas hal itu. Ini soal substansi penghinaan. Bukan untuk pembuktian fisik. 

Baik perempuan dan laki-laki bisa tersandung kasus semacam dan dibawa ke pengadilan ketika melakukan pelecehan seksual, kekerasan psikis, kekerasan seksual, bahkan penghinaan. Bila undang-undang itu secara bersama sama bekerja, kita tidak lagi bermain main serampangan dalam perilaku kita. 

Saya berterima kasih kepada Profesor Felix Tani yang mengangkat isu ini dengan gamblang. Saya angkat topi. Senang untuk bersama sama beliau menolak segala bentuk kekerasan yang berbasis gender. Namun, jangan takut untuk membawa kasus serupa ke meja hijau. Silakan!

Pustaka : 1) Kesetaraan dan Perkawinan sehat.  2) Pasal Penhinaan di KUHP, 3) KDRT, 4) RUU PKS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun