Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

"Bau Ikan Asin" dan Andai RUU PKS Telah Disahkan

4 Juli 2019   17:20 Diperbarui: 5 Juli 2019   02:02 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Substansi Aroma Ikan Asin dari Pernyataan Seorang Laki-laki
Sebelum pasangan menikah, pasangan yang jatuh cinta akan melihat semuanya indah. Meski terdapat relasi tidak setara di antara perempuan dan laki laki, perempuan bisa saja 'permisif' dan mengijinkan relasinya tidak setara. Dengan harapan, mereka akan memperbaiki setelah dan di dalam pernikahan mereka. 

Namun, ketika relasi dalam perkawinan bubar karena satu dan lain hal, termasuk adanya pihak ketiga, biasanya ketidaksetaraan antara perempuan dan laki laki menjadi muncul dalam bentuk pernyataan verbal maupun dalam perilaku, bahkan kadang kadang merupa dalam bentuk kekerasan fisik. 

Apa yang terjadi pada kasus artis yang berpisah dan saling melempar pernyataan yang mempermalukan masing-masing pihak bukanlah suatu kondisi yang baik bagi keduanya. Seperti yang Profesor Felix sampaikan, apa yang dilontarkan oleh si laki-laki terkait bau ikan asin (yang tentu subyektif) melalui Youtube, jelas sekali penghinaan. Profesor Felix mengatakan:

"Laki-laki yang merendahkan perempuan seperti itu seolah kebal hukum. Kecuali dalam kasus-kasus perkosaan atau tindak pelecehan fisik yang vulgar. Tapi kalau melecehkan dengan ujaran semacam 'bau ikan asin', dan banyak ujaran yang setara derajat penghinaaannya dengan itu, setahu saya belum pernah ada perkara yang masuk ke pengadilan".

Nah....ini yang saya hendak bahas. Selama kejadian itu berlaku dalam masa mereka dalam perkawinan, si laki-laki bisa tersandung pasal kekerasan dalam rumah tangga Nomor 23 tahun 2004 pasal 5 terkait kekerasan kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Ini bisa dilihat pula pada Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan dan pasal 52 dari undang undang tersebut. Pasal 53 dari undang undang ini juga mencakup kekerasan seksual.

Namun, ketika pasangan tersebut tidak dalam perkawinan, persoalan kekerasan yang terjadi menjadi lebih kompleks.

Seandainya saja, Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sudah disahkan, perkara ini bisa ditangani dengan lebih baik. Draf RUU PKS mencakup 15 bentuk kekerasan seksual yang selama lebih dari 20 tahun dipantau oleh Komnas Perempuan, yaitu:

  • Perkosaan;
  • Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan;
  • Pelecehan Seksual;
  • Eksploitasi Seksual;
  • Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual;
  • Prostitusi Paksa;
  • Perbudakan Seksual;
  • Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung;
  • Pemaksaan Kehamilan;
  • Pemaksaan Aborsi;
  • Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
  • Penyiksaan Seksual;
  • Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual;
  • Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan;
  • Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Kelima belas bentuk kekerasan seksual ini bukanlah daftar final, karena ada kemungkinan sejumlah bentuk kekerasan seksual yang belum kita kenali akibat keterbatasan informasi mengenainya.

Dalam kasus yang terjadi dan kita bicarakan, terdapat bentuk kekerasan yang relevan,  yaitu 1) intimidasi seksual termasuk ancaman; 2) pelecehan seksual; dan 3) eksploitasi seksual yang menggunakan media sebagai cara menggunakan aspek seksual untuk kepentingan sepihak; dan 4) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual. Penghukuman verbal agar pasangan atau mantan istri/suami tidak melawan bisa masuk kategori ini.

Namun, untuk saat ini Undang undang KUHP Bab 16 pasal 310 melindungi setiap warga dari penghinaan "Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakuknn terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan stau diterimakan kepadanya, diancam karena ..."

Kita belum membincang udang undang terkait media. Mungkin perlu analisis lebih dalam tentang hal ini dari kacamata keadilan gender.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun