Profesor Felix Tani menuliskan:
"...Artinya, perempuan di situ tidak dilihat sebagai insan sosial-budaya yang setara dengan laki-laki. Melainkan semata sebagai benda, yang jika aromanya tidak sedap (dan ini subjektif), maka layak untuk dibuang atau disingkirkan. Dalam kasus ini "diceraikan". Saya kira sangat jelas bahwa perkara "bau ikan asin" ini termasuk kategori penghinaan berat karena menurunkan harkat perempuan". Saya setuju.Â
Relasi di luar perjawinan sudah jelas. Perempaun dan laki laki dilindungi status dan hak yang sama di depan hukum. Tak ada aturan yang mengatakan laki laki atu perempuan boleh saling menghina.Â
Perlukah ke Pengadilan?Â
Mengapa tidak? Bila terpaksa dan tidak ada penyesalan serius dari pihak laki-laki, membawa kasus ini ke pengadilan adalah solusi. Penggunaan  media, yaitu Youtube untuk menyebarkan penghinaan soal bau ikan asin itu membawa dampak luas. Media, baik media sosial dan media arus utama, berkontribusi dalam meningkatkan skala penghinaan itu pada perempuan.
Memang, seperti kata Prof Felix Tani, sistem peradilan di Indonesia memang masih bias. Membawa ke pengadilan atas kasus ini akan menghukum korban sebanyak dua kali. Namun, membiarkan ini dalam ranah pergunjingan media adalah ketersesatan kita secara bersama-sama. Tidak ada efek jera. Penghinaan akan terjadi lagi. Apalagi lsistem soaial menempatkan aki laki dengan 'previledge' itu.Â
Kaus ini telah meninggalkan jejak digital. Bayangkan bila anak korban membaca itu. Mungkin pada saat dewasa mencari kerjapun malu bila kemudian akan ada memori soal ibunya yang dihina oleh mantan suaminya. Â Jadi, saran saya, Â silakan tuntut ke meja hijau.
Bayangkan bila korban adalah anak perempuan Anda. Apa yang anda lakukan, bila anak perempuan kesayangan anda diperbincangkan jutaan orang soal "bau ikan asin"? Tenang tenang saja? Gila, kalau itu memang yang anda rasakan.Â
Juga, apakah Anda tega bila andalah (laki laki) yang menghadapi situasi bahwa "burung" anda (bila anda laki laki) dibicarakan di media sosial? Sebut saja ada pernyataan "burungmu tidak berdiri'. Atau 'penismu payah'. Lalu, apakah anda siap, bila pasangan anda membincang melalui Youtube tentang betapa membosankannya kehidupan seksual anda?Â
Itu saja, pertanyaan saya. Bila jawabannya adalah tidak, terapkan itu pada diri kita dalam menyikapi isu ini. Kesalingan. Dalam bahasa Jawa, kita sering mengenal tepo seliro, yang memiliki arti tenggang rasa. Tulisan ini bukan mengajak kita untuk berbalas dengan penghinaan. Namun, justru sebaliknya, mengajak berpikir bahwa penghinaan tetaplah perilaku yang tidak pada tempatnya. Â
Saya hanya berharap, perempuan dan laki-laki Indonesia, termasuk mereka yang ada di partai dan sistem peradilan, atau sebagai suami-istri dalam perkawinan atau laki-laki dan perempuan dalam hubungan percitaan, menyadari apa itu kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Kita sama sama manusia di hadapan Tuhan dan hukum. Tidak ada yang lebih superior dari yang lainnya.Â
Jadi, bawa saja ke ranah hukum. Untuk itu korban perlu mempertimbangkan pembela yang memahami kasus semacam. Sebut saja pengacara yang ada dalam Lembaga Bantuan Hukum APIK yang biasa menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.