Pernah dalam kerja lapang di Kalimantan Barat dan di Sulawesi Tenggara, saya bersdiskusi dengan kelompok perempuan, dan cukup heran tak percaya bahwa terdapat sebagian (tepatnya cukup banyak) dari mereka menton TV sejak jam 18.00 sd 24.00 untuk Akademi Dangdut yang diputar Senin sampai Jumat. Mereka juga punya jagoan jagoan yang mereka idolakan. Merekapun turut kirim SMS untuk "vote" jagoannya.Â
Duh...saya ikut pusing membayangkannya. Terbayang bagaimana pemasang iklan mengeruk uang masyarakat miskin melalui program televisi tidak bermutu ini.Â
Selanjutnya kita mendengar adanya adiksi pada 'video games' di tahun 1980-an. Adiksi ini juga menghentakkan masyarakat. Upaya untuk membatasi adiksi ini lalu mendorong beberapa pemerintahan mengaturnya dengan undang undang dan aturan. Nintendo datang berikutnya di tengah tahun 1980-an, lalu radio 2 meter, dan lalu internet di pertengahan tahun 1990-an.Â
Adanya iPhone dan kemudian telpon Android membawa perkembangan bentuk adiksi yang diduga ada di masyarakat. Orang selalu membawa Android ke manapun berada.
Menyikapi Adiksi
Bila telpon genggammu mati, atau sambungan internet tidak ada, apakah kamu panik? Nah, kepanikan ini dianggap sebagai adiksi dari telpon Android yang disebut sebagai 'nomophobia'.
Teknologi memberikan manfaat dan hiburan, dan menjadi tidak mengherankan bila kita juga menghabiskan waktu lama dengan tekonologi digital dan menikmati dunia virtual.
Berbagai bentuk perkembangan teknologi terjadi berikut dengan bentuk adiksi yang diduga sebagai bagian dari penyakit sosial akibat pengenalan teknologi itu.
Kemampuan mengadaptasi dan kontrol diri menjadi penting dalam menyikapi perkembangan teknologi.
Banyak kalangan kemudian membagi pengalaman terkait bagaimana mereka memuat adaptasi. Mereka mambagi informasi bahwa kehidupan mereka menjadi lebih baik ketika kita melepaskan atau mengurangi beberapa barang dengan teknologi yang dianggap membuat adiksi.