Di tahun keemasannya, komik 'action' dan pahlawan Amerika seperti Superman dan Batman serta Captain America dan Spiderman merajai. Yang menarik, muncul pula pahlawan perempuan seperti Wonder Woman. Sempat penolakan pada komik dengan pahlawan perempuan terjadi di kalangan masyarakat.
Adanya tiga anak anak remaja yang membunuh kawannya di tahun 1948 juga mempersalahkan komik sebagai penyebabnya.
Saat itu, masyarakat Amerika panik dan bereaksi keras. Ini menghasilkan apa yang disebut sebagai 'comic code'. Aturan ini menetapkan pemerintah menyensor komik yang beredar melalui penerbit.
Psikoanalisis melaporkan bahwa adiksi terjadi seperti ketika bayi dan anak anak kecil membutuhkan kontak dengan ibunya. Saat itu terdapat artikel yang menuliskan "Salah satu hal yang tidak terlaporkan yang merupakan hal yang anti sosial adalah terkait adiksi bertelepon". Ketika bertelepon juga bisa dilakukan dalam penerbangan terentu, ini menjadi aspek adiksi yang dianggap purna.
Adiksi pada telepon dianggap membuat perempuan tak sempat untuk membersihkan rumah, memasak, mencuci baju keluarga serta merawat anaknya. Ini dituliskan di the New York Time di tahun 1989. Agak bias memang. Ini terjadi pada 30 tahun yang lalu.
Komik komik barat super hero itu tidak masuk Indonesia pada waktu yang sama dengan yang terjadi di Amerika.Â
Di Indonesia kita kenal komik Ko Ping Hoo, dan berbagai komik silat yang berjilid jilid. Di kalangan anak SMA dan mahasiswa, khususnya anak laki laki pada tahun 1980-an, komik "stensilan" juga menjamur di kota besar. Ini komik untuk dewasa, pada prinsipnya.
Lalu, televisi dianggap media yang membawa adiksi di sekitar tahun 1970-an. New York Times pada tahun 1977 menulis 'the Plugin Drug, does television hurt the head?', atau "Adiksi obat yang dicolokkan, apakah televise mendengar luka di kepala?".
Satu dekade sebelumnya, pada 1954, koran New York Times juga menyalahkan naiknya biaya perjalanan di Inggris yang disebabkan oleh adiksi televisi karena orang makin jarang bepergian di malam hari. Kala itu, televise hanya menyala di malam hari. Saat itu, psikoanalis mengatakan bahwa korban adiksi televiseomembutuhkan bantuan ahli.
Di Indonesia, saya melihat terdapat adiksi pada program TV tertentu. Dimulai dari telenovela Amerika Latin Esmeralda, Casandra beserta Rudolfo sampai sinetron dan juga berbagai jenis lomba musik dan lagu. Terdapat festival penyanyi, khususnya dangdut, yang diputar sejak jam 18.00 sampai 24.00 setiap hari. Saya tidak bisa bayangkan bagaimana produktivitas masyarakat karenanya.Â