Sementara itu, aset yang mereka anggap penting adalah pengetahuan dan pengalaman yang bertambah dengan melakukan banyak perjalanan.
Alasan alasan berbeda bisa saja mengemuka. Untuk gaya hidup nomaden yang lebih moderen, kita setidaknya menemukenali bebeapa alasan, antara lain: Pertama, adanya teknologi yang memfasilitasi peningkatan mobilitas manusia.
Kedua. Teknolgi memfasilitasi tuntutan pekerjaan yang berpindah dan meningkatnya status pekerjaan 'freelance'.
Ketiga, mobilitas yang membuat masyarakat berpindah kota dengan cepat. Sarapan di Semarang. Makan siang di Jakarta. Makan malam di Bandung.
Keempat, meningkatnya gaya hidup yang lebih praktis yang difasilitasi oleh makin bervariasnya rumah hunian seperti apartemen, 'kost kostan', hotel dan penginapan yang membuat masyarakat berpindah pada fasilitas satu ke fasilitas lainnya dengan mudah.Â
Tulisan ini tidak hendak mengadvokasi kehidupan dengan gaya hidup nomaden, namun melihat betapa nomaden sebetulnya tidak berhenti pada satu diskursus dan masa. Ia dianut dalam nilai budaya dan bergerak dalam lini masa.
Tentu terdapat implikasi pada setiap pilihan hidup ini dan dalam konteksnya. Konteks ini akan bersinggungan dalam keputusan bagaimana masyarakat berumahtangga dan menjalankan kehidupan berkeluarga, bagaimana mendidik anak dan keluarga, dan bagaimana mendapatkan layanan kesehatan dan fasilitasi publik lain.Â
Pustaka : 1) Nomaden Bertahan Sampai Kini; 2) Nomaden sebagai Gaya Hidup; 3) Nomaden in Badawi; 4) Nomaden dan Masa Depan; 5)Why Millenials and Normadic Lifestyle; 6) B Sellato and P.G. Sercombe, Beyond the Green Myth, Nordic Institute of Asian Studies, 2007
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H