Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ekspor dan Impor Sampah Plastik? Ogah Ah!

6 Juni 2019   11:57 Diperbarui: 8 Juni 2019   06:48 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kompas.com/Robertus Belarminus

Di hari ke 2 bulan Syawal ini, hati saya campur aduk rasanya. Jabat tangan, saling memaafkan tentu masih menjadi semangat di pagi hari hingga siang ini. Di sisi lain, menggunungnya sampah yang tidak "terjemput" karena alasan libur lebaran sudah mulai terasa dampaknya.

Itu masih dalam kawasan rumah adik saya yang menjadi nyonya rumah lebaran keluarga besar saya. Tak terbayang pengelolaan sampah kota. Apalagi pengelolaan sampah seluruh wilayah di republik ini. Dan, kita tentu harus bisa bicara soal sampah  global. Nah ...

Namun, kata "tak terbayang" bukan berarti kita tak boleh mendiskusikannya.  Mohon maaf bila terkesan saya tergesa mengganggu acara lebaran dan mudik para sahabat di Kompasiana. 

Mungkin malah ini momentum terbaik setelah lebaran, untuk berbuat bagi sesama? 

Setelah Puasa Plastik, Mengapa Kita Masih Harus Impor Sampah Plastik?
Baru baru ini saya tulis soal puasa plastik. Ini soal serius. 

Lalu ada soal perdagangan sampah plastik global. Seserius itukah? 

Saat ini pemerintah Indonesia dan pemerintah negara-negara yang tergabung dalam ASEAN sedang galau tentang perdagangan sampah plastik yang mereka sepakati dengan beberapa negara.

Ilustrasi Anak-anak, Sampah di Pantai Muncar, Jawa Tengah (Foto : Huffpost)
Ilustrasi Anak-anak, Sampah di Pantai Muncar, Jawa Tengah (Foto : Huffpost)
Di satu sisi, negara-negara ASEAN mengimpor sampah plastik dari negara-negara Eropa. Di sisi lain, negara-negara ASEAN memproses sampah plastik untuk diekspor ke Cina.

Definisi 'plastic waste' sendiri cukup luas meliputi sisa produk plastik seperti 'plastic scrapt' yang dihasilkan berbagai industri sampai dengan sampah plastik. Namun, karena sifatnya yang tidak bisa dipergunakan lagi, kecuali diproses ulang, maka ini masuk kategori sampah plastik.  Dan, memang ini sampah. 

Sebagai negara, Indonesia perlu mengevaluasi perjanjian dagang luar negeri terkait sampah ini. Perdagangan sampah secara serius menghilangkan rasa tanggung jawab dan akuntabilitas negara dan warga negara mereka yang mengkonsumsi plastik. 

Bahasa kasarnya "Enak aja. Enak di elu, ga enak di gua!".

BaliFokus, suatu lembaga nirlaba yang memiliki fokus pada isu sampah menuliskan usulan kepada pemerintah Indonesia untuk mengkaji ulang peraturan terkait impor sampah plastik dan kertas, membatasi batas kontaminasi sampah plastik dan kertas, mendorong lingkungan yang memberikan insentif pada lahirnya kapasitas daur ulang secara nasional dan melarang penggunaan bahan kimia yang membahayakan dalam proses dan daur ulang plastik, dan mengevaluasi izin impor sampah plastik dan kertas (BaliFokus, 21 Maret 2019).

Persoalan perdagangan plastik memang telah menjadi perhatian Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Pada 10 Mei 2019, 187 negara anggota PBB membuat keputusan dan langkah besar terkait perdagangan sampah plastik yang telah merupakan krisis dunia. 

Kesepakatan ini merupakan Konvensi Basel, yang mengontrol pergerakan sampah dan limbah berbahaya beracun dari satu negara ke negara lain, terutama dari negara maju ke negara berkembang dan negara miskin.

Cina terbukti bergerak cukup cepat. Pada Maret 2018, Cina meluncurkan kebijakan National Sword Policy yang mengatur secara keras perdagangan sampah plastik dan kertas. 

Ini tentu menggoncang perdagangan sampah plastik dan kertas global. Pasalnya, secara akumulatif, sejak 1988 sampai 2016, Cina adalah importir plastik dan kertas terbesar, yaitu 45,1% dari sampah plastik dunia.

Bagaimana dengan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia? Data 2011 menunjukkan bahwa ASEAN menyerap 3% sampah plastik dan kertas dunia.

Indonesia selama ini juga menerima impor sampah. Terdapat sampah yang dapat diproses menjadi bahan bakar pembuatan tahu, misalnya. Namun, selebihnya, sampah itu adalah sampah plastik dan kertas. 

Sampah itu berupa plastik yang terdiri dari botol, bungkus 'sachet', bungkus makanan, bungkus produk perawatan (shampoo, sabun) dan botol produk rumah tangga (pembersih ruangan) yang semuanya tidak bisa didaur ulang. 

Sudah pasti, masyarakat mendapat untung, walau perhitungannya masih perlu dicek, dalam jangka pendek dengan adanya impor ini. Jangan membayangkan dampak masa depan, saat inipun persoalan serius sudah muncul.

Adanya keputusan Cina yang keras pada pelarangan dan pembatasan impor sampah ini mendesak negara-negara ASEAN untuk menerima dorongan negara maju pengekspor sampah plastik dan kertas itu.

Malaysia mencabut izin 114 perusahaan pengimpor sampah plastik dan membuat target penurunan impor sampai 2021. Thailand juga membuat target penurunan karena adanya peningkatan jumlah impor hingga hampir 92.000 ton di 2018. 

Vietnam memberhentikan izin perusahaan yang baru saja mendapat lisensi untuk mengimpor sampah plastik. Ini memang harus tegas. 

Ilustrasi perdagangan global sampah (Foto : Hitekno.com)
Ilustrasi perdagangan global sampah (Foto : Hitekno.com)

 

Maukah Indonesia Disebut " Negeri Sampah yang Tanpa Daya?"
Cina sudah sejak 2013 membuat aturan dan kesepakatan dalam the World Trade Organization (WTO) menjadi efektif pada Maret 2018. 

Adanya pengetatan aturan di Cina dan beberapa negara di ASEAN tentu menekan Indonesia untuk menerima lebih banyak sampah plastik. Penjualan yang "menyerang" Indonesia tentu terjadi dengan harga-harga yang bersaing.

Impor sampah plastik Indonesia terus bertambah. Bila pada 2013, kita mengimpor 124.433 ton pada 2013, maka pada 2018 Indonesia sudah mengimpor 283,152 ton sampah plastik dan kertas, atau naik 141%. 

Sementara, ekspor sampah plastik kita hanya 98.450 ton pada 2018. Angka ini menunjukkan bahwa kita punya bonus sampah 52% atau sekitar 90.000 ton di negeri ini. Astaga! Banggakah kita?

Data statistik kita dan juga data PBB menunjukkan itu adalah rekor Indonesia dalam hal impor plastik selama 10 tahun terakhir.

PBB, yaitu pada United National Environmental Assembly 4 (UNEA 4) yang bertemu pada bulan Mei 2019 menyesalkan pernyataan Amerika dan menyebutkan sebagai suatu ironi ketika dalam konvensi itu wakil Amerika mengatakan bahwa produksi plastik bisa terus meningkat asalkan pengelolaan sampah diperbaiki secara progresif. 

Ini betul-betul ironi bagi dunia karena Amerika adalah penghasil sampah plastik global terbesar dari suatu negara sejak 1988 sampai 2016.

Sampah-sampah di Indonesia tidak hanya mengapung di lautan Indonesia tetapi juga di sungai-sungai di Indonesia, khususnya di Jawa. Sungai Brantas, Serayu, Bengawan Solo dan Progo di Jawa adalah 4 dari 20 sungai paling terpolusi di dunia. Duh....masa mau juga berbangga dengan anugerah MURI untuk yang begini?

Bandung pun sempat 'megap-megap' dengan gunung sampah plastik. Ketebalan sampah plastiknya disebut mengalahkan gunung es kutub. Sampai sampai, pemerintah kota harus minta tolong pasukan militer untuk memecahkan urusan sampah. Aduh. Bandung padahal terus disebut sebagai 'Paris van Java'. Kumaha atuh?

Komitmen Indonesia untuk batasi sampah terasa sepa, tanpa gigitan komitmen dan akuntabilitas kuat. Terkesan, kita kalah dengan korporasi dan seribu alasan soal pembelaan ekonomi kecil. 

Saya sebagai warga tak teryakinkan dengan pledge sampah seperti yang ada pada video di saluran 'Youtube' ini. Maafkan saya...

Gila juga dengan Perdagangan Sampah Online!
Isu perdagangan sampah plastik dan kertas yang menjadi isu global semakin serius ketika isu ini ditambah dengan maraknya perdagangan sampah melalui online. Perusahaan-perusahaan dan pribadi menjadi lebih mudah berdagang. Namun, sayangnya kesadaran akan dampak dan bahanya tidak mereka pikirkan.

Belakangan ini, sampah yang diimpor pun semakin bervariasi dari sisi kandungan bahan kimia dan dampaknya. Kandungan Sianida dan Merkuri merupakan dua bahan kimia yang sangat berbahaya sempat ditemukan di antara sampah sampah yang diimpor itu. Tentu ini perlu perhatian.

Merkuri adalah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang dilarang di seluruh dunia berdasarkan Konvensi Minamata untuk Merkuri. Indonesia pun meratifikasi Konvensi ini pada 19 Oktober 2017 dan diperkuat melalui Undang-undang No. 11 tahun 2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata tentang merkuri.

Untuk itu, kita perlu tetap mengingatkan pemerintah Indonesia serta publik tentang pentingnya menghentikan perdagangan merkuri. Studi menunjukkan bahwa pengguna merkuri pada umumnya perusahaan perusahaan yang melakukan bisnis illegal, seperti perusahaan pertambangan dan pengolah emas tanpa izin. 

Ini perlu perhatian serius dan tegas Pemerintah Indonesia!

Indonesia Tidak Boleh Jadi Bangsa Lelet. Ayo Cepat Bergerak!
Melihat perkembangan tidak baik ini, Indonesia harus bergerak. Adalah wajib bagi pemerintah untuk bukan hanya membatasi penggunaan plastik di dalam negeri tetapi juga menyetop impor sampah plastik dan kertas.

Peneliti Center for International Environmental Law (ICEL), lembaga non profit untuk bidang lingkungan bahkan dengan keras mengusulkan pemerintah untuk melarang semua bentuk impor sampah plastik. Kebijakan impor sampah dan kertas harus dikaji ulang.

Secara pribadi, saya rasa pemerintah harus tegas dan melakukan kebijakan yang revolusioner. Setop impor sampah plastik. Saya menghitung jumlah kata "tegas" di artikel ini. Ya ampun, saya sudah ga sabar rupanya. Ini tentu berdasar realitas bahwa:

  • Sampai saat ini pemerintah belum menunjukkan komitmen kuat untuk melarang perdagangan dan impor sampah plastik dan kertas;
  • Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHP ) baru melahirkan himbauan-himbauan dan belum tunjukkan komitmen serius berupa kelahiran aturan, regulasi dan pengelolaan sampah plastik secara nasional. Perlulah suatu direktorat yang pegang kendali sampah yang kuat;
  • Tanggung jawab dan akuntabilitas perusahaan yang mendapat izin menjadi pengimpor dan pengekspor sampah plastik masih belum menjalankan standar yang memadai;
  • Sampah plastik dan kertas yang merugikan lingkungan karena tidak bisa didaur ulang dan bahkan membawa racun dan kandungan kimia yang merugikan lingkungan dan manusia sekitarnya;
  • Banyak sampah itu mengandung bahan kimia yang di negara asalnya di negara maju adalah dilarang beredar.

Apa yang Kita, Warga Indonesia Harus Lakukan?
Negeri ini dalam kondisi darurat sampah plastik. Tak cukup kita hanya menyalahkan dan marah-marah. Sebagai warga tentu kita bisa melakukan sesuatu. 

  • Jangan terlena dan selalu uring-uringan dan terlalu berfokus pada kondisi politik dalam negeri saja dan melupakan isu-isu yang lebih luas, yang tak kalah pentingnya. Isu perdagangan luar negeri dan dampaknya pada lingkungan, serta politik dunia yang mempengaruhi Indonesia perlu juga jadi bagian dari kepedulian kita;
  • Tingkatkan literasi kita terkait plastik. Ini termasuk tidak mudah tertipu oleh promosi korporasi yang mengatakan bisa mendaur ulang plastik dengan cara tertentu.
  • Mendorong melalui diskusi dan kampanye serta advokasi agar pemerintah Indonesia segera melakukan tindakan tegas terkait regulasi perdagangan internasional sampah plastik dan kertas yang mempengaruhi kondisi Indonesia serta aturan korporasi dalam negeri dalam produksi dan konsumsi plastik;
  • Meningkatkan secara progresif kesiapan dan kemampuan kita mengelola sampah yang diproduksi masyarakat dan korporasi di dalam negeri; 
  • Identifikasi dan bangun bisnis alternatif bagi kelompok miskin, perempuan dan laki laki, yang hidupnya tergantung pada mengais sampah. Kita harus super serius tentang ini. 

Bangsa yang besar bukan hanya besar karena jumlah penduduknya yang banyak, yang menjadi salah satu terbesar di dunia. Bangsa yang besar juga bangsa yang terdidik dan memiliki tanggung jawab sosial untuk menyelamatkan negerinya, demi generasi baru yang kita lahirkan. 

Ingat, kita bukan orang tua yang melahirkan generasi dengan warisan sampah. 

Mohon maaf lahir batin. Memaafkan, bukan berarti melupakan tanggung jawab dan dosa kita semua. 

Pustaka: 1, 2, 3, 4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun