BaliFokus, suatu lembaga nirlaba yang memiliki fokus pada isu sampah menuliskan usulan kepada pemerintah Indonesia untuk mengkaji ulang peraturan terkait impor sampah plastik dan kertas, membatasi batas kontaminasi sampah plastik dan kertas, mendorong lingkungan yang memberikan insentif pada lahirnya kapasitas daur ulang secara nasional dan melarang penggunaan bahan kimia yang membahayakan dalam proses dan daur ulang plastik, dan mengevaluasi izin impor sampah plastik dan kertas (BaliFokus, 21 Maret 2019).
Persoalan perdagangan plastik memang telah menjadi perhatian Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Pada 10 Mei 2019, 187 negara anggota PBB membuat keputusan dan langkah besar terkait perdagangan sampah plastik yang telah merupakan krisis dunia.Â
Kesepakatan ini merupakan Konvensi Basel, yang mengontrol pergerakan sampah dan limbah berbahaya beracun dari satu negara ke negara lain, terutama dari negara maju ke negara berkembang dan negara miskin.
Cina terbukti bergerak cukup cepat. Pada Maret 2018, Cina meluncurkan kebijakan National Sword Policy yang mengatur secara keras perdagangan sampah plastik dan kertas.Â
Ini tentu menggoncang perdagangan sampah plastik dan kertas global. Pasalnya, secara akumulatif, sejak 1988 sampai 2016, Cina adalah importir plastik dan kertas terbesar, yaitu 45,1% dari sampah plastik dunia.
Bagaimana dengan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia? Data 2011 menunjukkan bahwa ASEAN menyerap 3% sampah plastik dan kertas dunia.
Indonesia selama ini juga menerima impor sampah. Terdapat sampah yang dapat diproses menjadi bahan bakar pembuatan tahu, misalnya. Namun, selebihnya, sampah itu adalah sampah plastik dan kertas.Â
Sampah itu berupa plastik yang terdiri dari botol, bungkus 'sachet', bungkus makanan, bungkus produk perawatan (shampoo, sabun) dan botol produk rumah tangga (pembersih ruangan) yang semuanya tidak bisa didaur ulang.Â
Sudah pasti, masyarakat mendapat untung, walau perhitungannya masih perlu dicek, dalam jangka pendek dengan adanya impor ini. Jangan membayangkan dampak masa depan, saat inipun persoalan serius sudah muncul.
Adanya keputusan Cina yang keras pada pelarangan dan pembatasan impor sampah ini mendesak negara-negara ASEAN untuk menerima dorongan negara maju pengekspor sampah plastik dan kertas itu.
Malaysia mencabut izin 114 perusahaan pengimpor sampah plastik dan membuat target penurunan impor sampai 2021. Thailand juga membuat target penurunan karena adanya peningkatan jumlah impor hingga hampir 92.000 ton di 2018.Â