Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Beauty Artikel Utama

Jins Kita dari Baju Pekerja, Simbol Pemberontakan, Salah Eja sampai Produk Beretika

1 Juni 2019   11:46 Diperbarui: 2 Juni 2019   02:41 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kapan Terakhir Kau Cuci Jinsmu? 
Akhir pekan adalah saatnya kita sibuk dengan urusan rumah. Bersih-bersih kamar. Mengecek baju yang perlu dicuci di rumah atau dikirim ke laundry.

Adakah jins/jeans di antara baju kotor itu? Ingatkah, kapan terakhir anda mencucinya? Jujur lho ya. Mungkin ada yang jawab seminggu yang lalu. Tapi mungkin jawaban terbanyak adalah sebulan yang lalu. Atau ada yang menjawab dengan mencucinya enam bulan yang lalu?

Nah.. jangan berkecil hati. Chip Bergh, CEO Levi's ternama di Amerika Serikat menyampaikan alasan mengapa kita tidak perlu mencuci jins kita terlalu sering. 

Ia mengatakan, mencuci jins terlalu sering hanya akan merusak bahannya dan membuang buang air. Bahkan, bila terkena noda, ia menyarankan cukup membersihkan bagian kotor itu dengan sikat gigi. Hanya saja, ia tidak mengatakan berapa banyak kuman ada di jins itu bila kita tidak mencucinya dalam waktu lama. Waduuuh. 

Levi's juga memberikan pengetahuan kepada konsumen untuk menggantungkan jins mereka setelah beraktivitas dan dapat menggunakannya kembali setelahnya. "Jins dapat bertahan selama 6 bulan tidak dicuci dan tetap baik,"kata Chip Bergh lagi.

Historyofjeans,com
Historyofjeans,com
Sejarah Jins, dari Baju Pekerja Kasar, Ekspresi Pemberontakan, sampai Baju Kasual yang Populer. 
Bila kita tengok sejarahnya, nama Jacob Davis dan Levi Strauss tak bisa dipisahkan dari jins yang ditemukan pada tahun 1873. Tak salah bila kemudian masyarakat penggunanya sering menyebut celana jins sebagai Levis. Video link di bawah ini mungkin akan memberikan gambaran sejarah dari jins. 

Jeans sendiri adalah nama kota di Genoa di Italia. Ini adalah lokasi pabrik pembuatan katun korduroi. Sementara Levis pindah dari Jerman untuk bekerja bersama saudaranya untuk membuka cabang toko kelontong di San Francisco. Di antara barang-barang kelontong itu, terdapat baju katun.

Salah satu pelanggan toko kelontong ini adalah Jacob W. Davis, penjahit dari Reno Nevada. Saat itu Davis membuat produk-produk fungsional seperti tenda, selimut kuda, dan semacam terpal penutup kereta.

Suatu saat, pelanggan Jacob W Davis memintanya membuatkan celana kerja untuk pekerja kasar. Jacob membuatnya dari bahan denim yang ia beli dari Levi Strauss & Co. Sebagai pelengkap ia tambahkan kancing logam dan jahitan melingkar pada saku. Ketika ia hendak membuat paten celana ini, ia menulis kepada Levi Strauss dan mereka kemudian menjadi mitra. Mereka membuka pabrik lebih besar.

Ini akhirnya jadi sejarah jins. Dari baju pekerja kasar, simbol penolakan, dan menjadi bagian dari fesyen yang aneka rupa. Harga jins memang bisa bervariasi dan dimulai dari sekitar Rp 55.000 pada tingkat grosir sampai dengan Rp 3,5 Miliar untuk fesyen houte couture. Artinya, jins yang memang pemilik patennya adalah Levi's, berkembang dan menjawab kebutuhan siapapun. Ini istimewa.

Ada pertanyaan "Siapa laki-laki keren selalu memakai jins, bukan bahan baju lainnya?" Saya akan menjawabnya dengan "Brad Pitt". Ini boleh dicek. Setujukah? Rupanya Brad Pitt dengan jins bukan hanya keren di mata saya, Levi's pun menjadikannya model jins dalam beberapa dekade. 

Memang, pepatah ada harga ada rupa mungkin bisa jadi pertimbangan memilih jins berkualitas. Namun, rupanya ada tips tentang bagaimana jins yang berkualitas. Pakar jins, Talley Smith membagikan hal yang perlu jadi pertimbagan sebelum memilih jins. 

Pertama, adalah jahitan tepi kain. Jins yang berkualitas akan memiliki bagian tepi atau ujung yang dijahit rapi dan lebih rapat. Ini agar bahan tidak mudah robek atau mudah terurai jahitannya. Untuk itu akan berbeda dengan jins yang hanya diobras dan yang mudah terbuka jahitannya. 

Kedua, makin banyak jahitannya, makin kuat jins itu. 

Ketiga, bagian pudar yang membentuk pola "whisker' juga dianggap sebagai mewakili kerja tangan yang lebih banyak dan ini menjamin kualitas. 

Keempat, penggunaan kancing dan resleting yang berkualitas dan kuat. Jadi, jangan salah beli. 

Jins Lepis, Ejaan Boleh Salah Kok
Sejarah jins/jeans masuk Indonesia ada di awal tahun 1970-an. Saat itu merek utama yang kita kenal adalah Levis. Adapun warna pada awal introduksinya adalah berwarna biru. 

Itulah sebabnya kita sering mendengar kata blue jeans atau jins biru. Namun, kita tentu pernah mendengar blue jeans putih dan blue jeans merah, kan? Nah itulah, denim identik dengan blue jeans dan jins identik dengan Levi's. 

Entah bagaimana, pada sebagian masyarakat kita yang sulit menyebut huruf 'V' mengenal sebutan 'Lepis' pada jins Levis? Juga 'Lewis'? Tapi sekali lagi, kita tak perlu kecil hati. 

Rupanya situs 'spelling check' pernah mendokumentasikan jenis jenis kesalahan ejaan Levis di telinga orang seluruh dunia. Sebut saja Servis, Bleives, Pelivis, Elivs, Ivish, Levits. Leaise. Nah... begitulah, paling tidak terdapat seratus kata salah eja dari Levis. Ini bisa dilihat pada tautan ini. 

Tekstur yang cenderung tebal dan kaku ini membuat jins menjadi bahan baju yang awet. Pada saat yang sama, karena jins berbahan sepenuhnya dari katun, harga jins cenderung lebih mahal dari bahan baju lainnya. 

Tak heran bila di kampung dan di kota kita mengenal layanan 'Vermak Servis Levis'. Sangat sayang untuk membuang jins begitu saja. Selama masih bisa divermak dan diservis, jins akan terus dipakai.

Jins sebagai Produk Fesyen Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan 

Sumber: Levi's.com
Sumber: Levi's.com
Seringkali kita bisa menyimpan dan memakai jins yang telah kita beli sekitar sepuluh tahun yang lalu. Ini tentu berlaku bagi yang ukuran tubuhnya tak berubah selama satu dekade. Dengan begitu, kita telah mendukung upaya fesyen berkelanjutan, kan? 

Jins memang bukan fast fashion. Sebagai perusahaan, Levi's telah menjadi pionir produk berkelanjutan sejak tahun 1991. Ini berawal ketika Paul Dillinger, Kepala Inovasi Global Jins Levi's memperkenalkan perusahaan untuk menjalankan kode etik dalam hal hak pekerja, lingkungan kerja yang kondusif dan sehat, dan prinsip menjaga kelestarian bumi.

Istimewanya, perusahaan juga memastikan bahwa mereka membeli bahan katun dari petani melalui proses perdagangan yang transparan dan adil. Artinya, praktik menjaga kelestarian dan perlindungan sosial dijaga dalam keseluruhan rantai pasokan. 

Memang, inilah syarat dari produk beretika. Produk memastikan bahwa keseluruhan rantai pasokan menghargai semua unit pekerja, baik perempuan dan laki-laki yang terlibat sejak penanaman bahan baku, pemeliharaan, pemanenan, proses produksi pemintalan benang, tekstil, desain, di pasar, sampai ke tangan pengguna.

Oleh Levi's, terminologi-terminologi yang sulit dan asing dalam rangkain rantai pasokan yang transparan dan berkeadilan bisa diletakkan pada tataran praktek bisnis beretika yang mudah dipahami. Levi's yang dulu dikenal sebagai denim laki-laki, saat ini jadi produk fesyen yang ramah perempuan, ramah lingkungan serta peduli persoalan sosial. 

Juga, jins yang dianggap baju informal saat ini bisa dikenakan pada acara yang lebih formal.

Paul Dillinger, pimpinan unit inovasi Levi's pada awalnya khawatir bahwa tekad ini akan menaikkan biaya produksi dan berimplikasi pada harga. Tapi secara mengejutkan nilai dan praktik ini didukung perusahaan dengan baik dan dimasukkan dalam aturan. 

Standard ini menjadi bagian dari nilai Levi's. Levi's terus mendorong produk hijau. Dillinger percaya bahwa ini menjadi bagian dari ajakan agar masyarakat stop berpikir bahwa baju adalah sesuatu yang percuma dan mudah dibuang. 

Paul Dillinger | Sumber: Lebi Straus & Co
Paul Dillinger | Sumber: Lebi Straus & Co
Untuk menyikapi biaya yang tinggi karena proses pembuatan jins yang lama, Levi's berencana memperkenalkan teknologi laser untuk mempercepat proses pembuatan jins pada tahun 2020. Ini mengurangi penggunaan bahan kimia dan mempercepat pembuatan jins yang didesain untuk nampak pudar, using atau sobek. 

Penggunaan laser mengurangi proses produksi dari menghasilkan hanya 3 potong per jam menjadi 60 potong per jam. Levi's melihat perusahaan tidak harus mengurangi jumlah pekerja karena pekerja yang terdampak akan dilatih untuk bekerja di bidang lain pendukung Levi's.

Tren Jins Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan
Perusahaan Australia, Jeans West memperkenalkan denim dengan pewarna alam biru indigo yang unik dan masuk dalam pasar jins premium. Proses pewarnaan alam biru Indigo ini diproses di Turki dan berkolaborasi dengan Kipas Denim, pemintalan benang di Turki. 

Semua proses dari koleksi Indigo ini dibuat di Turki, melalui proses yang berkelanjutan, dan memastikan agar produk menjadi produk premium yang mendunia. Jins indigo tersebut hendak mengambil sentuhan kerja artisan pada prosesnya.

Jins juga menggunakan 'Better Cotton Initiative' (BCI) yang diciptakan untuk membangun produk materi katun yang melindungi lingkungan hidup dengan lebih baik. 

Teknik pemotongan dan pengguntingan serta penjahitan baik dari jins indigo ini memang menjadikan jins ini lebih banyak diminati perempuan kelas menengah yang terdidik dalam hal keberlanjutan lingkungan hidup dan perlindungan sosialnya.

Bagaimana dengan di Indonesia? Konsumen Amerika pernah punya label buruk tentang jins Indonesia. Produk tiruan, penipuan, dan kualitas buruk. Citra ini tentu bukan hal yang baik. 

Akhirnya, terjadilah diskusi yang dilakukan 'Wall of Fades', forum pameran denim tahunan yang diselenggarakan Komunitas Indonesia Denim Grup. Forum ini berhasil menggelar pameran yang diikuti 63 merek denim bermutu, antara lain Mischief, Elhaus, Bluesville, Sage, Voyej, dan NBDN. Harga produk mereka pun cukup tinggi, antara Rp 950.000 sampai dengan Rp 2,6 juta.

Produk denim bermutu ini diwakili oleh denim selvedge, yaitu denim dengan tepi tenunan yang dijahit rapi, yang mengindikasikan mutu yang tinggi. Cara kerja mesin tersebut memproduksi hasil tenun yang padat dan jahitan penghubung kain tertutup rapi. Ini akan berbeda dengan non selvedge denim dengan pinggir lipatan celananya lebih jarang dan dengan jins lebih tipis, yang membuat harganya miring.

Pada forum itu muncul pula diskusi tentang perlunya informasi yang transparan tentang asal usul materi dan proses pembuatan jins di Indonesia. Artinya, informasi tentang rantai nilai menjadi bagian dari yang dijual. Tidak ada bisnis yang ditutupi yang kemudian merugikan pekerjanya.

Tentu saja, masih banyak yang perlu dipelajari oleh pengusaha Indonesia. Bila Levi's bisa melakukan upaya korporasi yang mendorong nilai kelestarian alam dan perlindungan sosial sejak tahun 1990-an, mengapa kita tidak bisa melakukannya sekarang?

Bisnis Fesyen Beretika 

Bahan katun sudah makin sulit dicari dan air juga makin terbatas ketersediaannya, sementara manusia terus bekerja, memproduksi dan menghasilkan sampah. 

Memang rantai nilai global bisnis fesyen ini rumit. Selain bahan materinya sebagian besar diimport, terdapat rangkaian panjang kerja yang sering tak nampak di pabrik maupun dalam bilik di rumah pekerja borongan.  Namun, acungan jemplok kit arahkan pada perusahaan yang berkomitmen membangun rantai pasokan beretika.  

Bagi perusahaan seperti Levi's, perubahan model tidak harus selalu menjadi topik untuk mendorong pembeli. Namun, pelanggan diedukasi untuk membeli dan menggunakan barang yang awet dan berkualitas tinggi serta mendukung keberlanjutan lingkungan.

Jins memang alami suatu proses transformasi budaya, sosial dan ekonomi. Proses transformasi dari sekedar baju pekerja kasar dan kemudian menjadi bagian dari fesyen beretika tentu tidak dibuat dalam semalam. Dan, Levi's sebagai pionir memimpin terus proses dialog antara korporasi, inovasi,  dan ibu bumi pelanggan yang teredukasi. 

PS : Saya merasa pernah menuliskan artikel ini 'dejavu', padahal belum pernah. Lucu juga ini. Mungkin saya cuma lapar saja. :) 

Pustaka : 1. Levi's; 2. Sejarah Jins, 3) Permak Levi's, 4) Kualitas Jins, 5) Teknologi Laser, 6) Forum Jins Indonesia, 7) Jins Indigo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun