Saat ini, lebih dari 50 negara dan lembaga international seperti Bank Dunia dan Bank investasi di Eropa merupakan penerbit obligasi hijau. Afrika, Polandia. Perancis, Belgium dan Irlandia adalah beberapa di antaranya. Sebagai negara pionir penerbit Sukuk Hijau, Indonesia tentu perlu terus berinovasi dan sekaligus meningkatkan efisiensi pasar modalnya lebih kompetitif.Â
Tentu saja, ada potensi tantangan dalam intervensi Sukuk Hijau kita. Beberapa analis mengkhawatirkan, bila prosedur dan standard tidak diikuti, maka bisa jadi akan terjadi semacam 'green washing' atau 'pencucian hijau' dari sektor keuangan ini. Terutama karena persoalan korupsi yang masih merajalela di sektor sektor yang berkaitan dengan urusan 'hijau', seperti kehutanan di Indonesia.Â
Pertimbangan Lingkungan, Sosial dan Gender dalam Obligasi Hijau -- Sulitkah Dipraktekkan?
Kesuksesan obligasi hijau adalah pada kemampuannya untuk menjaga keuntungan dari sisi lingkungan, dan isu sosial lain, termasuk kesetaraan gender, yang semuanya mendukung pada keberlanjutan pembangunan.
Tentu ini mensyaratkan adanya penerapan standar yang memerlukan kajian independen untuk menetapkan bahwa proyek telah mempraktekkan prinsip 'hijau', tidak merusak lingkungan dan sebaliknya malah harus mendorong kelestarian. Â Mekanisme ini juga perlu memastikan bahwa obligasi menguntungkan kelompok kecil, UKM, dan juga kelompok perempuan serta kelompok lain, mereka dengan disabilitas, kelompok suku asli yang selama ini ditinggalkan oleh sistem keuangan. Mampukah kita bekerja dengan pendekatan keberlanjutan yang konsisten dan akuntabel?.
Penerapan standar standar obligasi hijau membutuhkan dukungan ahli independen, verifikasi dari auditor, penerbitan sertifikasi pemenuhan kriteria dan juga pemeringkatan. Nah, apakah kita siap?
Dalam hal pemenuhan standar proposal proyek yang mengintegrasikan tujuan kesetaraan gender, dilaporkan masih terdapat tantangan bagi penerbit obligasi hijau untuk mengintegrasikan tujuan gender di dalamnya. Sebagai contoh, salah satu persyaratan untuk memberikan kesempatan yang adil bagi perempuan dan laki laki untuk dapat bekerja pada program yang didanai adalah tantangan yang perlu dihadapi.
The Jakarta Post pada 7 Pebruari 2019 menyatakan bahwa walau standar yang dipergunakan sebetulnya "basic", namun banyak pihak tidak kenal standar standar yang dipergunakan sebelum menyusun proposal keuangan untuk lembaga internasional. Standar dasar itu misalnya untuk mengintegrasikan prinsip lingkungan lestari, kesetaraan gender dan memperhatikan kepentingan kelompok minoritas.Â
Standar ini serupa dengan yang dipergunakan oleh program Green Climate Fund (GCF), yang difasilutasi Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang memasukkan standar untuk mencapai perwujudan kesetaraan gender dan memasukkan kebutuhan pelibatan kelompok kelompok yang rentan. Program ini memfasilitasi kerjasama antara OJK dan Global Green Growth Institute (GGGI).Â
Sampai saat ini, hanyalah PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), sebuah BUMN yang mendanai program insrstruktur, termasuk MRT Jakarta yang telah mampu memenuhi persyaratan program GCF. Namun demikian, kepada the Jakarta Post, PT SMI juga melaporkan tantangan untuk memenuhi persyaratan kesetaraan gender itu. Saya rasa, ini tantangan yang perlu dipertimbangkan serius.Â
Isu keberlanjutan pembangunan dan lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca mau tidak mau harus melibatkan masyarakat yang relevan, perempuan dan laki laki serta kelompok yang selama ini terpinggirkan, masyarakat dengan disabilitas dan masyarakat dari kelompok asli dan adat. Â Artinya, sektor saasta harus belajar. Harus berubah.Â