Indonesia Sebagai Pionir Obligasi Hjau dan Sukuk Hijau
Debat Paslon Capres/Cawapres pada Pemilu 2019 merupakan media yang efektif untuk membangun pemahaman warga masyarakat pemilih tentang status, perkembangan dan agenda ekonomi dan keuangan dari masing masing Paslon.Â
Sayangnya, karena keterbatasan waktu, mekanisme debat Paslon Capres/Cawapres tidak memberikan ruang cukup untuk mengangkat perdebatan yang substansial. Ini termasuk keringnya diskusi soal perubahan iklim dan keterkaitannya dengan insrumen keuangan yang sedang berkembang saat ini.Â
Hal ini saya duga menjadikan adanya kesenjangan antara pemahaman yang beredar tentang agenda dan sistem ekonomi dan keuangan kita, termasuk "Obligasi Hijau Syariah". Ini pernah saya diskusikan dalam artikel Partisipasi Perempuan adalah Tanggung Jawab Bersama pada link ini.
Mungkin perlu kita segarkan ingatan kita bahwa Sukuk adalah produk berupa obligasi berbasis syariah. Jadi, pada prinsipnya Sukuk adalah investasi dalam bentuk surat berharga yang dikeluarkan oleh pemerintah atau perusahaan yang ingin menerbitkan surat utang tersebut.Â
Sukuk tidak bertentangan dengan produk konvensional, namun keberadaan Sukuk menciptakan alternatif layanan bagi dunia perbankan khususnya bagi masyarakat yang ingin transaksinya sesuai kaidah syariah Islam.Â
Sebagai penerbit pertama obligasi hijau global yang diterbitkan negara di dunia, Indonesia akan membiayai proyek ramah lingkungan di empat sektor utama. Sektor sektor itu adalah enerji terbarukan, ketahanan terhadap perubahan iklim untuk daerah rentan bencana, transportasi berkelanjutan, serta pengelolaan energi dan limbah.Â
Ini untuk memitigasi dampak perubahan iklim dan adaptasi atas perubahan iklim yang telah terjadi. Juga, intervensi ini memanfaatkan momentum dinamika tinggi di pasar keuangan global, khususnya oleh kemungkinan peningkatan inflasi di Amerika dan suku bunga the Fed, bank sentral Amerika.
Obligasi dan Sukuk Hijau, Mengapa Penting?
Lokasi dan keberadaan Indonesia memang istimewa. Kita memiliki kekayaan matahari katulistiwa yang memancar selama 365 hari setahun, menghasilkan salah satu hutan tropis terbesar, dan menawarkan kekayaan dan keanekareagaman hayati. Juga, karena kita berada dalam rangkaian cincin emas, selain gunung berapi membawa bencana, mereka menghadirkan kesuburan tanahnya.
Tentu sebagai negara, Indonesia merespons kekuatiran kekuatiran ini. Indonesia meratifikasi tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), menerbitkan Peraturan Presiden terkait Rencana Aksi Nasional Mitigasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) di tahun 2011 serta RAN Adaptasi Perubahan Iklim (API) di tahun 2014.Â
Target penurunan emisi karbon yang tertera pada Perpres sebesar 29% pada 2030 ditingkatkan sebesar 41% pada tahun yang sama dalam mekanisme ratifikasi Paris Agreement yang menghasilkan dokumen Nationally Determined Contributions (NDC).
Ada yang menarik dari pendekatan pemerintah Indonesia saat ini dibandingkan dengan era sebelumnya. Bila sebelumnya isu pemanasan global digunakan solusi dengan menggunakan pendekatan lingkungan, saat ini digunakan berbagai pendekatan, termasuk di dalamnya pendekatan infrastruktur ekonomi, pendanaan dan keuangan, serta pendekatan sosial lain, termasuk di dalamnya penghapusan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan kesetaraan gender. Ini tentu tidak main main.Â
Mengingat Indonesia menerapkan 'blendded financing' atau pendanaan campuran antara pendanaan pemerintah dan swasta, artinya, bukan hanya pemerintah saja tetapi sektor swasta perlu paham akan apa pentingnya perjuangan kesetaraan gender dalam isu lingkungan ini.
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati mengatakan di pertemuan tahuan Bank Dunia dan IMF di Bali tahun 2018 bahwa ia optimis dengan hadirnya investasi baru dalam bentuk Sukuk Hijau.Â
Ia melihat tanggapan 'fund manager' baik, juga tanggapan mereka yang memiliki komitmen proyek berbasis lingkungan. Narasi dari pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan lingkungan dan aspek sosial lain, termasuk gender dan dalam kerangka keuangan syariah dinilai positif.Â
Hal ini tentu memerlukan lompatan lompatan yang progresif. Maklumlah, selama ini masyarakat 'sensi' dan masih tradisional memikirkan ide kesetaraan gender. Pada umumnya, diskusi hanya terbatas pada pemikiran keseimbangan partisipasi perempuan di ruang publik. Ini mengingatkan saya pada diskusi dengan Kompasianer Pak Profesor Felix Tani pada artikel saya tentang Pengetahuan Asli yang saya tulis seminggu yang lalu.Â
Yang penting kita pahami adalah, kebijakan dan program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim perlu dilakukan dengan integratif, tidak berdiri sendiri sendiri.
Pasar Obligasi dan Sukuk Hijau yang MembesarÂ
Pasar obligasi dan sukuk hijau dunia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2018, misalnya, terdapat obligasi sebesar $580 miliar  yang dijual  (Bloomberg New Energy Finance). Untuk tahun 2019, diestimasikan akan terdapat pertambahan (Daniel Shurey, Analis BNEF). Memang, obligasi hijau masih merupakan bagian kecil dari obligasi dunia senilai $100 triliun, namun negara negara Eropa memiliki komitmen tinggi untuk memenuhi target 'Paris Agreemen on Climate Change'. Â
Saat ini, lebih dari 50 negara dan lembaga international seperti Bank Dunia dan Bank investasi di Eropa merupakan penerbit obligasi hijau. Afrika, Polandia. Perancis, Belgium dan Irlandia adalah beberapa di antaranya. Sebagai negara pionir penerbit Sukuk Hijau, Indonesia tentu perlu terus berinovasi dan sekaligus meningkatkan efisiensi pasar modalnya lebih kompetitif.Â
Tentu saja, ada potensi tantangan dalam intervensi Sukuk Hijau kita. Beberapa analis mengkhawatirkan, bila prosedur dan standard tidak diikuti, maka bisa jadi akan terjadi semacam 'green washing' atau 'pencucian hijau' dari sektor keuangan ini. Terutama karena persoalan korupsi yang masih merajalela di sektor sektor yang berkaitan dengan urusan 'hijau', seperti kehutanan di Indonesia.Â
Pertimbangan Lingkungan, Sosial dan Gender dalam Obligasi Hijau -- Sulitkah Dipraktekkan?
Kesuksesan obligasi hijau adalah pada kemampuannya untuk menjaga keuntungan dari sisi lingkungan, dan isu sosial lain, termasuk kesetaraan gender, yang semuanya mendukung pada keberlanjutan pembangunan.
Tentu ini mensyaratkan adanya penerapan standar yang memerlukan kajian independen untuk menetapkan bahwa proyek telah mempraktekkan prinsip 'hijau', tidak merusak lingkungan dan sebaliknya malah harus mendorong kelestarian. Â Mekanisme ini juga perlu memastikan bahwa obligasi menguntungkan kelompok kecil, UKM, dan juga kelompok perempuan serta kelompok lain, mereka dengan disabilitas, kelompok suku asli yang selama ini ditinggalkan oleh sistem keuangan. Mampukah kita bekerja dengan pendekatan keberlanjutan yang konsisten dan akuntabel?.
Penerapan standar standar obligasi hijau membutuhkan dukungan ahli independen, verifikasi dari auditor, penerbitan sertifikasi pemenuhan kriteria dan juga pemeringkatan. Nah, apakah kita siap?
Dalam hal pemenuhan standar proposal proyek yang mengintegrasikan tujuan kesetaraan gender, dilaporkan masih terdapat tantangan bagi penerbit obligasi hijau untuk mengintegrasikan tujuan gender di dalamnya. Sebagai contoh, salah satu persyaratan untuk memberikan kesempatan yang adil bagi perempuan dan laki laki untuk dapat bekerja pada program yang didanai adalah tantangan yang perlu dihadapi.
The Jakarta Post pada 7 Pebruari 2019 menyatakan bahwa walau standar yang dipergunakan sebetulnya "basic", namun banyak pihak tidak kenal standar standar yang dipergunakan sebelum menyusun proposal keuangan untuk lembaga internasional. Standar dasar itu misalnya untuk mengintegrasikan prinsip lingkungan lestari, kesetaraan gender dan memperhatikan kepentingan kelompok minoritas.Â
Standar ini serupa dengan yang dipergunakan oleh program Green Climate Fund (GCF), yang difasilutasi Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang memasukkan standar untuk mencapai perwujudan kesetaraan gender dan memasukkan kebutuhan pelibatan kelompok kelompok yang rentan. Program ini memfasilitasi kerjasama antara OJK dan Global Green Growth Institute (GGGI).Â
Sampai saat ini, hanyalah PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), sebuah BUMN yang mendanai program insrstruktur, termasuk MRT Jakarta yang telah mampu memenuhi persyaratan program GCF. Namun demikian, kepada the Jakarta Post, PT SMI juga melaporkan tantangan untuk memenuhi persyaratan kesetaraan gender itu. Saya rasa, ini tantangan yang perlu dipertimbangkan serius.Â
Isu keberlanjutan pembangunan dan lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca mau tidak mau harus melibatkan masyarakat yang relevan, perempuan dan laki laki serta kelompok yang selama ini terpinggirkan, masyarakat dengan disabilitas dan masyarakat dari kelompok asli dan adat. Â Artinya, sektor saasta harus belajar. Harus berubah.Â
Saya telah pernah menuliskan keterkaitan masyarakat, perempuan dan laki laki, dalam upaya mitigasi perubahan iklim di beberapa artikel saya di bulan Maret dan April yang lalu. Ini untuk memastikan bahwa program kita relevan dan membawa dampak positif bagi masyarakat, khususnya mereka yang paling miskin.
Ini memang sebuah revolusi, dan revolusi bukan berarti tidak dapat dilakukan. Revolusi membutuhkan masyarakat yang bernalar dan punya komitmen dan tekad kuat untuk membuat perubahan. Bukan masyarakat yang hanya berbicara. Revolusi untuk membangun lingkungan yang berkelanjutan juga tidak bisa hadir hanya dengan sekedar wacana.
Pustaka :Â 1) Surat Menteri Keuangan tentang Kerangka Obligasi Hijau; 2) Sukuk Hijau Era Baru Pendanaan Lingkungan; 3) Obligasi Hijau 4) Sukuk Hijau; 5) Bloomberg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H