Mudah mudahan Pak Jokowi tidak meminta masyarakat Sade untuk melestarikan seluruh nilai nilai budaya, termasuk budaya yang memposisikan perempuan berada lebih rendah dair laki laki. Â Perlu diseleksi mana budaya yang perlu dirubah dan mana yang dilanggengkan.Â
Dari kunjungan pendek ke Sade, saya melihat betapa perempuan dalam posisi terbelakang. Tidak mengenyam pendidikan. Tidak bisa berbahasa Indonesia. Juga paparan sistem budaya yang sangat patriarki sangat merugikan perempua . Â Perempuan perempuan benar benar tak berdaya. Mereka tak bisa melepaskan diri dari cengkeraman budaya setempat, dan bahkan malah dilestarikan untuk dijual sebagai komoditi pariwisata.Â
Sebetulnya ini bisa dikatakan sebagai penjajahan dalam bentuk baru, atas nama pariwisata. Perempuan tunduk pada budaya. Pada adat. Dan industri wisata mengekalkan situasi.Â
Menjadikan suatu wilayah budaya dan adat sebagai obyek wisata adalah bukan suatu kesalahan. Namun, ketika terdapat pengekalan budaya yang merugikan masyarakat asli itu sendiri, hal ini perlu menjadi perhatian.Â
Adalah suatu ironi bila perempuan perempuan di Sade 'dipaksa' untuk menerima situasi kurang berpendidikan, tingkat kesehatannya tak terjamin, harus menikah selagi anak anak, berada pada posisi tersub-ordinasi karena dipoligami dan tidak punya kemampuan dalam menentukan posisi tawar karena 'Merarik' adalah tidak adil.Â
Untuk itu, pemerintah nasional dan pemerintah daerah perlu memilah mana yang bisa dipertahankan atas nama budaya dan mana yang perlu diperbaiki. Ini demi keadilan dan hak asasi manusia, hak asasi perempuan.
Pustaka : 1) Jokowi Kunjungi Sade; 2) Ketimpangan Gender di Sade
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H