Tentu kita akan lelah dan juga bosan mendengar komentar komentar normatif (yang mungkin juga muncul dari pembaca tulisan ini) dengan kalimat sejenis ini "Perempuan boleh bekerja, asal perempuan tidak kelewatan', 'Perempuan boleh bekerja, asal perempuan tidak meninggalkan tanggungjawab keluarga dan lain lain. Â
Sebetulnya, kalimat kalimat semacam itu menggelikan karena juga bisa kita arahkan kepada siapapun, termasuk laki laki. Namun, mohon maaf, beruntunglah para laki laki yang tidak mendapat tantangan tantangan tersebut. Anda bisa kerja apapun, di manapun, tanpa halangan.Â
Indonesia : Kesenjangan Partisipasi Kerja yang Menyolok
Pada 2 artikel saya terdahulu, saya telah menyebutkan tentang adanya kesenjangan partisipasi kerja antara perempuan dan laki laki yang cukup menyolok. Untuk masa lebih dari 30 tahun, sejak tahun 1980an, Partisipasi Kerja Perempuan adalah stagnan pada angka sekitarn 52%, sementara angka untuk laki laki adalah 83%. .Â
Angka partisipasi kerja perempuan ini menurun lebih lanjut ketika perempuan menikah. Kritik tentang tiadanya upaya pemerintah dan perusahaan untuk memberikan perhatian pada penyediaan ruang dan fasilitas yang mendukung perempuan untuk tetap bisa bekerja ketika mereka menikah atau memasuki usia reproduksi adalah hal yang pantas mendapatkan perhatian.
Juga, ketersediaan pelatihan pelatihan kejuruan untuk perempuan agar dapat berkontribusi pada sektor sektor yang sedang berkembang perlu dilakukan. Ini akan mendukung pertumbuhan ekonomi secara substansial.
Keluhan keluhan soal pertumbuhan ekonomi seringkali masih melupakan bahwa terdapat kelompok yang potensial namun terhambat karena aturan kerja dan aturan perusahaan membuat kelompok tersebut tidak bisa berkutik. Ini secara khusus dihadapi kelompok perempuan.
Bahkan, masih terdapat aturan aturan yang tidak menguntungkan perempuan di tempat kerja. Untuk beberapa saat, di POLRI pernah terdapat aturan bahwa bila suami istri adalah anggota POLRI, istri harus mengundurkan diri ketika suami menjadi perwira tinggi.Â
Ini benar benar terjadi, sehingga sahabat saya Kolonel Dr .Irawati Harsono, MA (purnawirawan) pada saat itu harus pensiun lebih cepat karena suaminya menjadi Perwira Tinggi dan menjabat sebagai Kapolda. Karena hal semacam ini, ibu Ira bersama 9 perempuan senior Polri yang harus 'mengalah' meninggalkan POLRI. Mereka akhirnya mendirikan yayasan untuk memperjuangkan keadilan dan demokratisasi di dalam POLRI.Â
Isu yang saya alami, yang mengharuskan saya memilih keluar dari pekerjaan di kantor pemerintah di awal masa kerja saya, dan untuk kemudian memilih istirahat bekerja dan kemudian menjadi pengajar paruh waktu tanpa tunjangan adalah contoh yang rupanya masih terjadi hingga kini. Anak perempuan sayapun, harus mengalami hal yang kurang lebih sama. Memang, perempuanlah yang mengandung dan melahirkan. Mestinya, justru karena perempuan adalah terpilih untuk melahirkan generasi ke depan, mereka justru mendapatkan dukungan negara dan perusahaan agar bisa tetap produktif. Â Membuat larangan secara sengaja atau tidak sengaja bagi perempuan untuk bekerja adalah sama saja dengan memberi beban biaya ekstra, semacam pajak, kepada perempuan. Seakan, perempuan dibuat tidak punya pilihan dalam pekerjaan, khususnya ketika memasuki masa reproduksi. Ini tentu akan berbeda, bila lingkungan dan sistem kerja memberikan dukungan memadai.
Pada kesempatan peringatan Hari Buruh Internasional kali ini, perkenankan saya untuk melihat beberapa hal yang mungkin bisa menjadi bagian dari rekomendasi untuk Indonesia dan siapapun pemenang Pilpres 2019, agar harapan perempuan untuk memiliki kesempatan yang adil  dapat terjadi.