Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

"May Day" dan Larangan untuk Perempuan Melakukan Beberapa Pekerjaan di 104 Negara

30 April 2019   18:55 Diperbarui: 2 Mei 2019   06:28 1323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pekerja perempuan. (Kompas)

Sejarah "May Day"  

Setiap tanggal 1 Mei kita peringati sebagai 'May Day'. Sejarah peringatan 'May Day' ini telah dilakukan sejak adanya proklamasi kelompok buruh di Amerika Serikat yang menuntut agar jam kerja dibatasi 8 jam sehari. 

Ini terjadi pada 1 Mei 1860. Sebelumnya, buruh bekerja antara 10 sampai dengan 16 jam seharinya. Kondisi kerja buruk dan seringkali tidak aman bagi pekerja yang mengakibatkan kecelakaan kerja mengemuka. Bahkan terdapat kasus pekerja yang meninggal dalam pekerjaan.  Dalam perkembangannya, di abad 19, 'May Day' kemudian berkembang menjad Hari Buruh Internasional .

Untuk konteks Indonesia, khususnya Jakarta dan kota kota besar, peringatan Hari Buruh tahun ini difokuskan pada upaya memperjuangkan peningkatan upah. Isu yang selalu berulang, seperti yang diangkat selama ini. Padahal banyak lagi isu isu yang masih terlewat untuk diperjuangkan. 

Sektor Kerja yang "Menolak" Perempuan    

Saya kemudian ingat peristiwa sebelum saya memulai pekerjaan yang padat merayap di bulan April. Suatu video pendek dari the Economist lewat di lini masa Linkedin. Video itu menarik. Ia merangkum studi yang diluncurkan the World Economic Forum pada Agustus 2018.  Ini dokumen dan isu yang sama yang diangkat Panelis pada Debat Capres/Cawapres putaran ke 5. 

Apa sebetulnya yang penting atau menarik dari video tersebut? Video pendek itu menunjukkan adanya pekerjaan pekerjaan tertentu yang masih dilarang dilakukan perempuan di 104 negara. Larangan itu mengakibatkan sekitar 2,7 miliar perempuan tidak memiliki pilihan yang sama dengan laki laki.  

Rusia, misalnya, perempuan tidak bisa menjadi masinis kereta atau menjadi nahkoda kapal. Sedangkan di Moldova, perempuan tidak diizinkan mengendari bus yang dinaiki atau dengan kapasitas kursi lebih dari 14 penumpang. Alasannya, ini adalah pekerjaan ini dianggap berbahaya. Perempuan dilarang bekerja di malam hari, termasuk untuk pekerjaan jaga toko di Mumbai. Ini mirip larangan bekerja di malam hari seperti di salah wilayah di Bireun, Aceh.

Kathleen dela Paz (26 than), supir LRT pertama di Filipina (GMAnetwork.com)
Kathleen dela Paz (26 than), supir LRT pertama di Filipina (GMAnetwork.com)
Kemudian Kazakhtan, perempuan tidak boleh menyembelih ternak, sapi atau babi. Di Nigeria, perempuan tidak diijinkan bekerja di industri enerji gas. Juga, di Magaskar, perempuan tidak diijinkan bekerja di industri.

Di Malaysia, perempuan tidak diijinkan bekerja untuk mengendarai transportasi barang maupun pengangkutan manusia di malam hari. Semua ini karena pekerjaan itu dianggap berat secara fisik atau berbahaya. Ada juga di Guyana, perempuan tidak diijinkan bekerja untuk hal hal yang berhubungan dengan palu. Di Cina, perempuan tidak boleh bekerja yang melibatkan air dingin pada saat menstruasi. Ini karena pekerjaan itu dianggap tabu atau tidak pantas secara moral.

Banyak negara terus mengupayakan adanya kesempatan yang adil bagi perempuan dan laki laki. Larangan tersebut sejatinya bisa berkurang dan hilang, karena pada prakteknya perempuan juga terbukti mampu ada di sektor yang laki laki juga bekerja. 

"Ada 123 negara ditemukan tidak memiliki Undang-Undang yang mengatur pelecehan seksual. Sekitar 500 juta perempuan bekerja tanpa adanya perlindungan."

Namun, beberapa negara memang secara resmi membuat larangan larangan. Ini menjadikan seakan ada 'pekerjaan laki laki' dan 'pekerjaan perempuan'.

Larangan larangan itu di'klaim' punya beberapa alasan. Banyak negara memuat larangan perempuan bekerja karena alasan keamanan. Anehnya, peraturan untuk menjamin keselamatan perempuan untuk bekerjapun tidak ada. Banyak pula membuat larangan karena alasan pentabuan. 

Ada 123 negara ditemukan tidak memiliki aturan atau undang undang yang mengatur pelecehan seksual. Diperkirakan, sekitar 500 juta perempuan bekerja tanpa adanya perlindungan. 

Setidaknya 59 negara tidak memiliki aturan untuk melarang pelecehan seksual di ruang kerja. Di 18 negara, bahkan suami memiliki kekuatan hukum untuk melarang istrinya bekerja, sementara 4 negara melarang perempuan untuk membuat dan mendaftarkan perusahaan atas namanya.

Studi ini menunjukkan bahwa aturan aturan pada umumnya memberi jalan luas dan lancar kepada laki laki melenggang di sektor kerja, sementara memberikan jalan berliku kepada perempuan.

Aturan Diskriminatif Warisan Kolonial

Terdapat suatu hal yang penting atau bisa dikatakan menarik. Pada umumnya, negara yang memiliki aturan diskriminatif pada umumnya mewarisi aturan negara penjajahnya. Misalnya, aturan negara persemakmuran yang mempengaruhi aturan di beberapa negara anggota. Atau juga aturan peninggalan Spanyol dan kolonial yang lain, termasuk aturan Belanda yang mempengaruhi Indonesia.

Memang banyak aturan yang disusun berdasar asumsi bahwa semua laki laki bekerja dan menghidupi perempuan. Dalam kenyataannya, terdapat kondisi yang menunjukkan bahwa perempuan tidak punya pilihan selain bekerja. 

Pilihan bekerja ini bisa karena memang perempuan memiliki ketrampilan dan pengetahuan serta kesempatan utuk bekerja. Pilihan lain adalah karena kebutuhan rumah tangga membutuhkan suami dan istri bekerja. Juga, terdapat rumah tangga yang suaminya tidak bekerja dan perempuan harus menghidupi keluarga. Atau suatu rumah tangga yang memang perempuan adalah sebagai kepala rumah tangga.

Tentu kita akan lelah dan juga bosan mendengar komentar komentar normatif (yang mungkin juga muncul dari pembaca tulisan ini) dengan kalimat sejenis ini "Perempuan boleh bekerja, asal perempuan tidak kelewatan', 'Perempuan boleh bekerja, asal perempuan tidak meninggalkan tanggungjawab keluarga  dan lain lain.  

Sebetulnya, kalimat kalimat semacam itu menggelikan karena juga bisa kita arahkan kepada siapapun, termasuk laki laki. Namun, mohon maaf, beruntunglah para laki laki yang tidak mendapat tantangan tantangan tersebut. Anda bisa kerja apapun, di manapun, tanpa halangan. 

Indonesia : Kesenjangan Partisipasi Kerja yang Menyolok

Pada 2 artikel saya terdahulu, saya telah menyebutkan tentang adanya kesenjangan partisipasi kerja antara perempuan dan laki laki yang cukup menyolok. Untuk masa lebih dari 30 tahun, sejak tahun 1980an, Partisipasi Kerja Perempuan adalah stagnan pada angka sekitarn 52%, sementara angka untuk laki laki adalah 83%. . 

Angka partisipasi kerja perempuan ini menurun lebih lanjut ketika perempuan menikah. Kritik tentang tiadanya upaya pemerintah dan perusahaan untuk memberikan perhatian pada penyediaan ruang dan fasilitas yang mendukung perempuan untuk tetap bisa bekerja ketika mereka menikah atau memasuki usia reproduksi adalah hal yang pantas mendapatkan perhatian.

Juga, ketersediaan pelatihan pelatihan kejuruan untuk perempuan agar dapat berkontribusi pada sektor sektor yang sedang berkembang perlu dilakukan. Ini akan mendukung pertumbuhan ekonomi secara substansial.

Keluhan keluhan soal pertumbuhan ekonomi seringkali masih melupakan bahwa terdapat kelompok yang potensial namun terhambat karena aturan kerja dan aturan perusahaan membuat kelompok tersebut tidak bisa berkutik. Ini secara khusus dihadapi kelompok perempuan.

Bahkan, masih terdapat aturan aturan yang tidak menguntungkan perempuan di tempat kerja. Untuk beberapa saat, di POLRI pernah terdapat aturan bahwa bila suami istri adalah anggota POLRI, istri harus mengundurkan diri ketika suami menjadi perwira tinggi. 

Ini benar benar terjadi, sehingga sahabat saya Kolonel Dr .Irawati Harsono, MA (purnawirawan) pada saat itu harus pensiun lebih cepat karena suaminya menjadi Perwira Tinggi dan menjabat sebagai Kapolda. Karena hal semacam ini, ibu Ira bersama 9 perempuan senior Polri yang harus 'mengalah' meninggalkan POLRI. Mereka akhirnya mendirikan yayasan untuk memperjuangkan keadilan dan demokratisasi di dalam POLRI. 

Isu yang saya alami, yang mengharuskan saya memilih keluar dari pekerjaan di kantor pemerintah di awal masa kerja saya, dan untuk kemudian memilih istirahat bekerja dan kemudian menjadi pengajar paruh waktu tanpa tunjangan adalah contoh yang rupanya masih terjadi hingga kini. Anak perempuan sayapun, harus mengalami hal yang kurang lebih sama. Memang, perempuanlah yang mengandung dan melahirkan. Mestinya, justru karena perempuan adalah terpilih untuk melahirkan generasi ke depan, mereka justru mendapatkan dukungan negara dan perusahaan agar bisa tetap produktif.  Membuat larangan secara sengaja atau tidak sengaja bagi perempuan untuk bekerja adalah sama saja dengan memberi beban biaya ekstra, semacam pajak, kepada perempuan. Seakan, perempuan dibuat tidak punya pilihan dalam pekerjaan, khususnya ketika memasuki masa reproduksi. Ini tentu akan berbeda, bila lingkungan dan sistem kerja memberikan dukungan memadai.

Pada kesempatan peringatan Hari Buruh Internasional kali ini, perkenankan saya untuk melihat beberapa hal yang mungkin bisa menjadi bagian dari rekomendasi untuk Indonesia dan siapapun pemenang Pilpres 2019, agar harapan perempuan untuk memiliki kesempatan yang adil  dapat terjadi.

1. Mendorong adanya infrastruktur yang memadai untuk penitipan anak yang terintegrasi dengan pendidikan usia dini. Ini membuat ibu dengan anak tidak pusing untuk tetap bisa bekerja. 

2. Menawarkan fleksibilitas yang memungkinkan perempuan bekerja dengan jam kerja yang lebih sesuai dengan kondisi perempuan. Ini termasuk dengan jam kerja fleksibel pada jumlah jam kerja yang sama. Juga, memungkinkan beberapa pekerjaan yang sesuai untuk dilakukan secara 'home based'. Bekerja dari rumah ini sudah dipraktekkan banyak pihak. Sayapun termasuk salah satu yang selama bertahun tahun mendapatkan kesempatan ini. 

3. Mendorong pemerintah dan swasta untuk merekognisi perlunya tunjangan sosial bagi perempuan dan laki laki yang melakukan pekerjaan paruh waktu sebagai bagian dari hak pekerja. Ini sudah dilakukan di beberapa negara seperti Kanada dan Skandinavia. 

4. Mendorong pengenalan dan penggunaan teknologi digital untuk membuka akses perempuan pada informasi dalam rangka pengembangan bisnis dan kewirausahaan.

5. Mengembangkan infrastruktur rumah tangga, seperti air bersih dan listrik untuk wilayah wilayah yang selama ini terhalang aksesnya, sehingga perempuan memiliki waktu lebih longgar untuk dapat melakukan kegiatan lain dan pekerjaan yang dapat memberdayakan secara sosial dan ekonomi.

6. Mendorong pengupahan yang adil dan setara untuk pekerjaan yang sama 'equal pay for equal work'. Seperti kita tahu, kesenjangan pengupahan masih terjadi . Perempuan dianggap boleh digaji lebih murah dari laki laki karena mereka bekerja tidak secepat laki laki . Mohon maaf, bila kita memproduksi hasil kerja yang sama, masa perempuan digaji berbeda? 

7. Memastikan adanya ruang dan lingkungan kerja yang aman dari pelecehan seksual. Perempuan dan laki laki tentu ingin bekerja dengan tenang, tanpa harus kuatir bahwa ada guyonan seksual yang mengganggu di kantor, ada pelecehan seksual atas kualitas kerja yang diasumsikan lebih buruk karena status sebagai perempuan, 'senggolan' ataupun bentuk kekerasan seksual yang lain. 

Selamat Hari Buruh Internasional. Selamat bagi kaum pekerja dan perempuan Indonesia. Semoga perempuan Indonesia punya pilihan yang adil untuk bisa berkontribusi kepada keluarga dan negara. 

Pustaka : The Global Gender Gap Report 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun