Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Gugurnya Pahlawan Pemilu 2019 dan Rigiditas dan Kompleksitas SOP Pengadministrasian Pemilu

29 April 2019   07:22 Diperbarui: 30 April 2019   06:39 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilu Damai yang Cedera
Kita boleh bersyukur bahwa Indonesia yang dikenal memiliki pemilu paling kompleks sedunia dan diadakan selama 6 jam pada 17 April 2019  berjalan damai. Ini tentu mencengangkan untuk suatu pemilu yang hadir di tengah suasana perang ujaran kebencian. 

Pemilu juga dinyatakan sukses karena menghasilkan persentase jumlah warga pemilih sekitar 80%, lebih tinggi dari target yang ditetapkan oleh RPJMN. Artinya, jumlah Golput kurang dari 20%. Saya pernah menulis di artikel ini pada 17 April 2019. 

Di sisi lain, pemilu ini menghentakkan kedamaian itu karena membawa korban yang tidak sedikit. Memilukan, mengecewakan, dan menggoncang batin kita semua. Padahal ini sesuatu yang bisa dihindari. "Something can be avoided"!!

Jawa Pos merilis data jumlah korban meninggal sejumlah 326 orang per 26 April 2019. Korban terbesar yang terjadi adalah berada di Jawa dan diikuti dengan di Sumatra. Penyebab kematian dicatat karena kelelahan, kecelakaan, sesak napas, darah tinggi, serangan jantung, stroke, dan bunuh diri. 

Jawa Pos 26 April 2019
Jawa Pos 26 April 2019
Kompasianer Giri Lukmanto yang memiliki pengalaman langsung terlibat sebagai Ketua KPPS menuliskan tentang isu kelelahan dan stres yang luar biasa yang dialami petugas KPPS. Ini memang peristiwa duka nasional. Untuk itu kita wajib berbelasungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan. Juga kepada negeri ini. 

Adalah tak ada gunanya bila kita sebagai warga  menghujat dan terus menerus merendahkan kerja KPU dalam menyelenggarakan pemilu yang dari awal telah diantisipasi sebagai pemilu yang punya "beban" berat. Padahal, mestinya kita memikirkan dan mengusulkan jalan keluar untuk pemilu ke depan. 

Keputusan akan sistem dan pengadministrasian pemilu kita bukan hanya melibatkan KPU saja, tetapi tentu juga Kementerian Dalam Negeri dan juga DPR karena ini menyangkut biaya dan juga keseluruhan sistem pemilu, pendaftaran pemilu, pelaksanaan, penghitungan, pemantauan dan pelaporannya. 

Jumlah lembar suara pada Pemilu 2019 diduga lebih dari 600 juta lembar. Reuters
Jumlah lembar suara pada Pemilu 2019 diduga lebih dari 600 juta lembar. Reuters
Adalah memalukan bahwa elit politik dan sebagian anggota DPR bahkan masih fokus dan terus berdebat soal kemungkinan kemungkinan kecurangan masing-masing pihak. Isu ini memang penting, namun mestinya, para elit politik dan anggota dewan yang terhormat justru memikirkan hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam sistem politik kita. Menjadi penting bagi kita untuk mengkaji ulang keputusan-keputusan politis pada proses pendaftaran, pengelolaan, pengadministrasian, dan penyelenggaraan, pemantauan serta pelaporan Pemilu agar  diperoleh rekomendasi untuk langkah perbaikan. 

Peristiwa kematian dalam masa pemilu memang terjadi di banyak negara. Persoalan korban meninggal karena pemilu hampir menjadi bagian dalam sejarah politik di dunia. Ini juga menjadi bagian dari pemilu yang diadakan akhir-akhir ini. Namun, peristiwa itu begitu berbeda dengan apa yang kita alami. 

Di Abonnema, Nigeria, misalnya, diberitakan bahwa dua belas (12) orang meninggal ketika terjadi konflik antara gang tak dikenal dengan tentara Nigeria pada pemilu Februari 2019. Bagi Nigeria, jumlah korban meninggal tersebut dianggap "tidak seberapa" dibandingkan dengan pemilu yang diadakan pada empat tahun sebelumnya. Lebih dari 100 orang meninggal setelah pemilu 2014, sementara pada 2011, 800 orang dilaporkan meninggal karena konflik antara agama dalam Pemilu Presiden di negara itu.

Di negara bagian Kaduna, Sub Sahara Afrika, 66 orang meninggal pada pemilu di Februari 2019. Dari 66 orang meninggal tersebut, terdapat 22 orang anak dan 12 perempuan yang meninggal. Ini terjadi beberapa jam setelah tembak menembak di Kajuru Local Government Area (LGA) di wilayah Kaduna.

Pada Pemilu 2018 di Meksiko, sekitar 100 politisi meninggal pada jelang dan setelah pemilu. Juga 13.000 orang Meksiko terbunuh sejak Januari sampai dengan pemilu berlangsung di Meksiko. Ini adalah pembunuhan yang terorganisir dari para kriminal yang melawan pemerintah lokal dan melawan hukum.

Di India, seorang perempuan meninggal karena lama mengantre untuk mencoblos dalam pemilunya di tahun 2019 ini. Antrian semacam juga terjadi dari lebih dari 100 TPS di sana. 

Tunduk Kepala, Review, Evaluasi serta Pembelajaran secara Profesional dan Memadai.
Kasus kematian staf KPPS yang begitu tinggi jumlahnya karena alasan kelelahan dan beberapa aspek psikologis sangat memerlukan reviu dan evaluasi. Reviu dan evaluasi Ini bukan hanya pada kerja KPU dan Bawaslu, tetapi pada keseluruhan sistem politik dan Pemilu kita. 

Aspek psikologis dan tekanan dari berbagai pihak dalam proses penghitungan suara ini merefleksikan bagaimana dunia politik Indonesia yang tidak kondusif untuk kehidupan manusia normal. Dan tim di KPPS tidak siap dan tidak disiapkan oleh sistem yang ada. 

Kita membaca banyak rekomendasi yang diarahkan pada pemisahan pilpres dan pileg.  Ini tentu saja kemunduran. Pada saat yang sama, sedikit tulisan yang menganalisis dengan mendalam dan menyodorkan solusi untuk memperbaiki perencanaan, persiapan dan pelaksanaan serta pengadministrasian pemilu pilpres dan pileg sekaligus dengan menyodorkan perbaikan konkret, dengan berangkat dari sistem Pemilu yang ada. 

Tekanan untuk memanfaatkan teknologi dalam pemilu tentu menjadi makin besar dengan adanya begitu banyak korban pada Pemilu 2019 ini. Memang teknologi pemilu sebetulnya perlu dipikirkan oleh Mendagri,  KPU dan juga DPR yang akan datang. Dan ini berarti perlu diskusi yang substansial serta 'exercise' yang memadai. Kita tidak dapat mentolerir lagi kejadian tragis yang menimpa staf KPPS. 

Teknologi dalam pengadministrasian pemilu, misalnya, dapat memperbaiki tingkat efisiensi pelaksanaan pemilu dan komunikasi, meringkas pelaksanaan pemilu, mengintegrasikan berbagai sistem, menurunkan biaya operasional dan menekan kebutuhan sumber daya manusia. Untuk itu, modernisasi Pemilu menjadi kebutuhan untuk memecahkan isu isu tertentu.

Kalaupun akan tetap dilakukan pemilu di TPS, paling tidak penghitungan dan pelaporan bisa dibantu teknologi. Pengguaan 'smartphones' misalnya, dapat memberdayakan KPPS dan juga warga untuk memerankan fungsinya sebagai pemantau, melakukan penyiaran informasi, gambar dan video secara 'real time'. 

Teknik dan teknologi semacam ini merupakan bagian dari pengalaman the International Foundation for Electoral Systems (IFES) yang telah terbukti menjadi "champion" dan pionir dalam hal penggunaan teknologi dan pengadministrasian pemilu yang efisien dan transparan di banyak negara di seluruh dunia. IFES juga memberdayakan warga melalui inovasi yang menggunakan teknologi dengan memaksimalkan penggunaan aplikasi. 

headtopic.com
headtopic.com
Pemilu serempak ini menuntut KPPS mengelola dan mengadministrasikan empat sampai lima jenis kartu suara pada saat yang sama. Artinya, sekitar 600 juta kartu suara dikelola dan diadministrasikan serta dihitung secara manual.

KPPS di beberapa kabupaten memiliki lebih dari 100 anggota kandidat, menjadikan kartu suara selebar poster. Beberapa KPPS memerlukan waktu 24 jam nonstop untuk menghitung dan mengecek kartu suara. Sebagian lain bahkan membutuhkan waktu lebih dari 30 jam. Juga dilaporkan terdapat kecelakaan petugas yang mengangkut kartu suara.

KPPS sendiri pada umumnya memiliki staf paruh waktu yang direkrut dari wakil masyarakat. Honor petugas KPPS dilaporkan sekitar Rp 500.000 per orang. Ini tentu tidak sebanding dengan kerja yang dibebankan. Pada umumnya KPPS diisi staf pensiunan dari pegawai pemerintah yang sudah tidak bekerja atau relawan dari kalangan masyarakat yang peduli pada sukses Pemilu. 

Karena staf KPPS bukan pegawai negeri, maka tidak terdapat pemeriksaan kelayakan kesehatan. Padahal mereka bekerja sejak subuh. Beberapa KPPS bahkan menghias TPSnya agar unik dan berbeda. Sebagian TPS adalah bangunan sementara dengan terpal sebagai atapnya sehingga harus menghadapi hawa panas, sekitar 30 Celcius. Banyak kritik diberikan kepada penyelenggaraan pemilu serentak ini, khususnya dalam konteks upaya menekan biaya dan menekan jumlah tenaga pengelola pemilu. Padahal biaya Pemilu juga sudah luar biasa tinggi. 

Dilaporkan bahwa pemerintah memberikan uang duka sebesar Rp 36 juta kepada keluarga yang kehilangan staf KPPS karena meninggal. Pemerintah juga menyediakan dana kepada staf KPPS yang sakit. Namun, tentu ini memang bukan diniatkan sebagai solusi dan tidak sepadan dengan kerugian nyawanya.

Apa Rekomendasi Kita?
Kembali memisahkan pelaksanaan pilpres dan pileg tentu akan merupakan langkah mundur. Ini bisa dilihat dari beberapa argumentasi dan alasan mengapa pemilu serempak dilakukan. 

Pemilu yang terpisah bukan hanya menghabiskan dana pemerintah tetapi juga mendorong dinamika dagang politik yang berlapis. Mohon sabar untuk tidak langsung menyemprot saya. 

Ada yang bisa kita lakukan dan selamatkan, yaitu mereview dengan sistematis dan formal atas prosedur yang tidak ekonomis. Sudah banyak Kompasianer menuliskan ini dan bisa dipergunakan sebagai bahan. Saya rasa Kementerian Dalam Negeri, KPU, dan Bawaslu serta DPR perlu mempertimbangkan langkah ini. Banyak ahli Pemilu dari lembaga dunia seperti IFES, IDEA, AEC (Australia Electoral Commision) yang pernah bekerja di Indonesia dan paham kondisi negeri bisa menjadi nara sumber. 

Melihat pengalaman Pemilu 2019 dan memperhatikan pengalaman beberapa negara dengan penduduk banyak dalam menyelenggarakan pemilu, terdapat beberapa rekomendasi. 

Rekomendasi tersebut memang sulit untuk berdiri sendiri sendiri karena persoalan kelelahan dan stres luar biasa dari para petugas di KPPS dipengaruhi oleh banyak hal. 

Proses pendaftaran, persiapan, penyelenggaraan, dan penghitungan serta pelaporan adalah rangkaian kerja. Rekomendasi di bawah ini juga pernah menjadi bagian rekomendasi pada perbaikan pemilu di Amerika dan di beberapa negara dengan penduduk besar di Asia.

  • Review sistem pemilu secara keseluruhan. Mereview dengan mengevaluasi itu berbeda. Pelajari apa yang menjadikan sisem pemilu kita begitu mahal.
  • Ubah hari pemilu yang tidak hanya terbatas pada 6 jam dalam 1 hari. Buat satu hari sebagai hari libur untuk mencoblos bagi semua warga negara untuk menggunakan haknya, lalu perluas masa pemilu misalnya untuk periode 1 minggu.
  • Waktu pemilu. Izinkan beberapa wilayah yang banyak memiliki area terpencil pada zona waktu yang lebih cepat atau lebih lambat seperti wilayah Indonesia Timur, NTT, Maluku, Papua, dan Papua Barat untuk dapat melakukan pemilu lebih dahulu. Ini akan membantu proses logistik yang diperlukan.
  • Buat Kombinasi e-voting dan memilih di TPS. E-voting dipercaya dapat membantu akurasi pendaftaran pemilih, menyederhanakan pemilihan dan penghitungan serta transmisi hasil pemilu. Memang, di sisi lain, beberapa pengenalan teknologi dikhawatirkan akan terganggu oleh kesalahan fungsi dari peratalan, integritas mesin, dan risiko hacker. Untuk itu perlu persiapan yang baik dalam menyelenggarakannya. Perlu pemasangan block chain yang memadai pada penggunaan sistem e-voting. 2. Penggunaan block chain dalam e-voting untuk menjaga kredibilitas dan transparansi. Ini mengurangi kemungkinan adanya kecurangan dari beberapa pihak karena sistem dapat dilakukan verifikasi. 
  • Selain e-voting, pemilihan umum via TPS perlu pula dimungkinkan di wilayah yang literasinya rendah dan yang aksesnya pada internet terbatas. Masyarakat di wilayah terpencil mungkin memerlukan beberapa cara voting yang lebih fleksibel.
  • Registrasi secara otomatis mereka yang masuk dalam usia yang punya hak pilih. Ini mengurangi waktu yang harus dialokasikan oleh KPU dan RT/RW untuk mendata calon pemilih. Juga mengurangi waswas dari pemilih apakah telah ada undangan atau belum dan sebagainya.
  • Penggunaan kartu identitas yang fleksibel perlu ditegakkan. E-KTP tentu akan menjadi alat yang fleksibel untuk bukti memilih. Perampungan sistem dan penerbitan E-KTP menjadi keharusan untuk menjalankan sistem registrasi yang valid. Kalaupun tidak ada E-KTP, calon pemilih bisa menggunakan SIM yang juga inked dengan e-KTP agar keabsahan dan kemungkinan voting ganda dapat dihindari.

Satu hal yang perlu diingat adalah, di manapun pemilu diselenggarakan, risiko akan ada. KPU pada dasarnya menghadapi isu dan dinamika politik, hukum, teknis, operasional, dan risiko terkait dengan posisi pemain atau aktor politik, keterbatasan waktu, tekanan perlunya teknologi, keamanan staf KPPS, KPU dan Bawaslu, dan hasil yang kredibel. 

Risiko yang ada dalam proses pemilu tentunya perlu diantisipasi dengan proses perencanaan dan mitigasi risiko yang memadai. Tampaknya, ini kurang mendapat perhatian secara memadai dalam konteks politik dan pemilu saat ini. Begitu banyak pihak "mengganggu" jalannya proses penghitungan hasil suara. Ini tentu menekan bukan hanya psikologis dari pada petugas KPPS tetapi juga KPU secara umum.

Pada saat seperti ini, kita sebagai warga yang terdidik dan dewasa perlu menghargai proses yang kredibel dan menggunakan basis pengetahuan. 

Elit politik juga perlu menjaga mulut dan perilakunya, karena semua komentar yang menggoyang terus kredibilitas pemilu yang telah dijalankan dengan baik adalah bukan hanya tidak adil, tetapi juga tidak sesuai dengan prinsip demokrasi.

Di dalam hati kecil saya, ada kekhawatiran adanya kelompok yang memanfaatkan situasi pada saat ini. Pengumuman hasil real count tanggal 22 Mei 2019 sempat membuat saya juga deg degan. 

Memori buruk tentang tanggal yang sama pada 1998 sempat mengganggu, mengingat banyak masyarakat kita menyukai nostalgia dan reuni, bahkan untuk sesuatu yang tidak produktif dan yang konyol. 

Kita semua berharap agar negeri tercinta ini aman terjaga dan demokrasi dilakukan melalui proses Pemilu jujur dan diselenggarakan secara profesional dan efisien . 

Pustaka : 1). IFES, 2) IDEA; 3) Pemilu Nigeria, 4) Perbaikan Pemilu Amerika, 5) Perbaikan Pemilu 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun