Kartini sebetulnya bukan hanya berpikir soal pendidikan anak perempuan, tetapi ia berpikir jauh soal kesetaraan dan kemerdekaan bangsanya.
Kartini memikirkan soal kemerdekaan, kemandirian dan penentuan diri bangsa Indonesia. Ia memang dipingit, tetapi ia tak berpikir untuk dirinya.Â
Di sinilah, saya merasa kecewa tentang apa yang saya pelajari di sekolah kita. Kita hanya diperkenalkan kepada keluhan Kartini soal posisi dirinya yang dipingit. Yang menangis lalu mendirikan sekolah untuk perempuan. Itu saja. Sesuatu yang jauh berbeda.
Bagaimana saya tidak terkesima dan sekaligus marah bahwa pandangan pandangan Kartini ini dimiliki oleh perempuan muda berusia 25 tahun. Kita tidak kenal Kartini.Â
Memang, sepeninggal Kartini yang meninggal hanya lima hari setelah melahirkan bayinya, cita cita Kartini dilanjutkan oleh keempat adiknya, Kardinah, Rukmini, Kartinah dan Sumantri. Selama ini kita lebih sering mendengar tentang 2 adiknya.Â
Keempatnya merupakan anggota pertama Stovia, bersama Dr Wahidfin Sudiro Husodo, yang kemudian kita pahami sebagai penggerak kemerdekaan. Ini menguatkan bahwa Kartini merupakan cikal bakal pergerakan nasional di Indonesia.
Kalau boleh saya berharap kepada Presiden terpilih, mohon jadikan dan posisikan Kartini sebagai apa adanya. Dengan pemikirannya. Dengan kekuatannya.
Mohon juga setop sekolah sekolah yang berpikiran sempit, menjadikan Kartini hanya sebagai sepotong kebaya encim dan sarung kain saja. Boleh kita pertahankan budaya tapi bukan melalui hari Kartini.Â
Juga, jangan biarkan anak sekolah hanya mengenal Kartini sebagai pahlawan emansipasi perempuan (saja). Ia pahlawan emansipasi perempuan dan warga Hindia serta cikal bakal pergerakan nasional pertama, yang digagalkan oleh kematiannya. Selamat ulang tahun, Ibu Kartiniku. Saya bangga luar biasa pada Ibu.Â
Terima kasih, Pramoedya, karena engkau menuntunku untuk melihat Kartini dengan mata berbeda. Karena buku Pramoedya, saya menggali buku buku lain tentang Kartini. Terima kasih juga untuk kawan lama saya yang membuat saya malu karena terlambat membaca buku tentang Kartini.Â
***) Tulisan ini saya dedikasikan dan berikan untuk anak saya semata wayang, Mutiara Anissa pada tahun 2011, yang olehnya ditayangkan di Facebooknya. "Kartini, a Progressive and Liberal Javanese Princess -- Unknown among her Country Fellows di sini. Kalau tidak Mutiara simpan, saya tidak punya lagi dokumen itu.Â