Kartini katakan, "Di masa depan orang akan dilihat bukan dari posisi dan latar belakang aristokrat, tapi oleh kemajuannya. Bisa ilmu pengetahun. Bisa ekonomi".Â
Kartini juga mengkritisi betapa kompleksnya budaya Jawa yang mengharuskan dia dan saudara-saudara perempuannya, juga perempuan dan laki-laki yang berada pada status yang lebih rendah darinyanya, untuk 'laku ndodok', jalan jongkok dan berbicara pelan sehingga bahkan orang di sebelah kita tidak mendengar suara kita. Itu aturan priyayi Jawa.
Kartini merasa terganggu pada kenyataan bahwa saudara-saudara perempuannya hanya boleh berbicara dalam suara yang rendah dan dengan 'Kromo Inggil', standar bahasa Jawa yang tidak memperbolehkan ia berbicara dengan 'kamu dan saya'.
Juga ia jengah ketika adik-adiknya harus melakukan 'sembah' kepada Kartini sebagai saudara perempuan tua mereka.
Kartini katakan bahwa bulu kuduknya berdiri, hanya dengan mendengar bagaimana orang berbicara kepada mereka yang berstatus lebih tinggi.
Dia menanyakan melalui suratnya kepada Stela, apakah orang dengan sebutan atau panggilan aristocrat 'Baron' atau 'Graaf' akan memberi garansi akan bertindak dan berkarakter seperti pada panggilan itu.
Dari pertanyaan Kartini saja, saya menjadi paham bahwa Kartini marah bukan pada pada feodalisme yang ada di depan matanya tapi juga feodalisme yang ada di dunia yang pelajari, yaitu Eropa.
Kartini mengatakan, bahwa budaya tempat ia tinggal dan dibesarkan seharusnya bisa diubah.
Di suratnya kepada Stela, Kartini menulis tentang kemarahannya pada feodalisme "Mulai sekarang, kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tak perlu punya aturan aristokrat'.
Adalah kita sendiri yang menentukan batasan tentang bentuk bentuk tindakan yang bebas kita lakukan".
Bagi Kartini, status seseorang harus dilihat dari pikirannya dan karakternya. Ia juga menolak dan melawan ketidakadilan. Dan, ia melawan ketidakadilan bukan hanya pada apa yang dihadapi perempuan, tetapi masyarakat 'Hindia' secara umum, serta mereka yang ia temui dan mereka yang ia temukan dari bacaannya.