Di perdesaan, akses masyarakat, khususnya ibu ibu pada kesehatan reproduksi dan kesehatan umum yang berhubungan dengan ketersediaan air bersih dan sanitasi bisa mengganggu partisipasi dan masih memerlukan perhatian.Â
Studi Diana juga menunjukkan bahwa tingkat partisipasi kerja perempuan yang telah menikah menurun drastis dibandingkan dengan mereka yang menikah. Seringkali perempuan yang telah menikah bahkan tidak kembali ke pasar kerja. Ini karena perempuan harus melahirkan. Disamping itu, perempuan mengurus anak, keluarga yang sakit, dan rumah tangga, yang bisa dikategorikan sebagai ekonomi perawatan atau 'care economy'. Padahal, 'care economy'Â sejatinya bisa menjadi tanggung jawab bersama, dan bukan hanya jadi tanggung jawab utama perempuan. Kita sering mendengar soal beban agenda. Ini yang kita baru saja bicarakan.Â
Sayangnya, aturan kerja di perusahaan sering membatasi perempuan yang sudah menikah untuk bisa bekontribusi pada ekonomi. Rigiditas sektor kerja membuat tempat kerja tidak ramah perempuan. Aturan cuti yang terbatas, tak adanya sistem kerja 'flexi time' atau kerja fleksibel yang lentur sehingga perempuan bisa menegosiasikan jam kerjanya, dengan tetap menjaga meritokrasi dan hasil kerja. Kerja fleksibel memungkinkan pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah. Ini sudah dilakukan beberapa perusahaan dan dianggap positif.
Sistem kerja di perusahaan di negara kita juga belum menjamin hak dan tunjangan bagi pekerja yang paruh waktu. Paruh waktu tidak melindungi keberlanjutan kontrak dan tidak menjamin hak pekerja.Â
Apalagi ketika ada persoalan kenakalan anak, ibu bekerja sering dipersalahkan seakan merekalah penyebab persoalan. "Gara gara kamu kerja sih!". Sementara, anak punya ayah dan ibu kan?Â
Kita perlu mengoptimalkan manfaat teknologi. Data BPPS (2017) menunjukkan bahwa 52% penduduk tidak terhubung dengan internet. Akses siswa pada internet juga menjadi tantangan karena adanya perubahan kebijakan yang menghapus ICT dari kurikulum pendidikan. Sayang sekali data yang terpilah berdasar jenis kelamin tidak tersedia dengan mudah.Â
Perbaikan pada digital platform, produk, layanan dan pemasaran atas kebutuhan perempuan dan memperbaiki persepsi perempuan terkait teknologi digital dapat meningkatkan produk dan layanannya. Platform di India yang membantu perempuan untuk kembali ke kerja mungkin dapat dicontoh.
Ketiga, kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja masih merupakan persoalan. Pelecehan seksual, guyon guyon yang merendahkan perempuan di tempat kerja masih sering kita dengar. Ini terjadi di lingkup pekerjaan di dalam negeri dan di luar negeri, sebagai pekerja migran.Â
Kasus tentang perempuan yang akhirnya harus mengundurkan diri karena ia alami kasus pelecehan seksualnya (dan melaporkannya) juga mengemuka. Ini karena perusahaan di Indonesia belum menerapkan aturan terkait pelecehan seksual dan sangsinya. Padahal Lembaga Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) melalui ILO meminta dunia usaha menerapkan aturan perlindungan perempuan dari kekerasan di tempat kerja.Â