Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Partisipasi Perempuan dalam Ekonomi adalah Tanggung Jawab Bersama

14 April 2019   00:24 Diperbarui: 14 April 2019   17:54 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja (thikstockphotos) | Kompas.com

Kita telah saksikan debat Capres dan Cawapres putaran terakhir dengan tema ekonomi, perdagangan dan industri.

Saya tidak hendak mendiskusikan ulasan yang ditampilkan dalam tiap sesi dalam perdebatan di putaran terakhir ini. Namun demikian, terdapat hal penting terkait pertanyaan panelis tentang partisipasi perempuan dalam ekonomi yang saya hendak diskusikan.

Panelis membuka dengan informasi terkait status kesenjangan gender di bidang ekonomi yang mengacu pada the Global Gender Gap Report dari the World Economic Forum, yaitu pada 0,691 atau berada pada ranking 85. Juga, panelis menyampaikan masih terdapatnya diskriminasi dan kekerasan di tempat kerja. Panelis menanyakan apa yang akan dilakukan Paslon untuk menutup kesenjangan gender dalam ekonomi agar bukan hanya menjadi wacana. Joss! 

The World Economic Report 2018
The World Economic Report 2018

Skor pada laporan ini mengukur hasil, bukan input. Skor memang menunjukkan adanya kesenjangan yang relatif ajeg dibandingkan pada 2006. Bila pada tahun 2006 skor adalah 0,654, pada tahun 2018 skor adalah 0.691.  Skor terkait partisipasi dan kesempatan ekonomi pada 0,629 ini mewakili tiga (3) variabel kesenjangan, yaitu dalam hal partisipasi, pengupahan dan kemajuan. 

Kesenjangan partisipasi mengukur kesenjangan tingkat partisipai kerja antara perempuan dan laki laki. Kesenjangan pengupahan adalah perbedaan upah/gaji yang diterima perempuan dan laki laki. Sementara kesenjangan kemajuan adalah perbedaan capaian perempuan dibanding laki laki dalam posisi legislator, posisi senior dan manajerial serta posisi profesional. 

Terdapat informasi dan data dalam laporan yang menunjukkan bahwa terdapat berkurangnya kesenjangan ekonomi pada capaian 2018, namun ternyata ada sedikit peningkatan kesenjangan pada pendidikan dasar. 

Saya merasa perlu berterimakasih kepada Panelis karena pertanyaan tersebut keren. Pertanyaan yang sudah saya tunggu sejak debat yang pertama. Bagaimana tanggapan kedua Paslon?

Tantangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi Masih Perlu Kita Pahami. 

Capres 02 membuka pernyataan tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam kehidupan berbangsa. Ia juga menyebut Megawati sebagai perempuan Indonesia yang menjabat sebagai presiden RI. Ia selanjutnya menyebut peran emak-emak yang sudah besar dalam kampanye Pemilu. Ia menambahkan bahwa Undang Undang ke depan mau tidak mau harus merefleksikan hal kebutuhan perempuan. Masih belum menyentuh soal kesenjangan di ekonomi. Untunglah, Cawapres 02 menambahkan bahwa 2/3 ekonomi keluarga ditopang perempuan. Cawapres 02 menyampaikan bahwa selama kampanye ia mencatat bahwa perempuan menghendaki agar akses perempuan pada pendanaan dan pelatihan ditingkatkan. Ia kemudian mengajukan OK OC sebagai strategi yang bisa menjawab kebutuhan itu. Ia melihat peran perempuan akan meningkat bila ketimpangan bisa ditutup.

Sementara itu, Cawapres 01 mengemukakan bahwa Pengarusutamaan Gender akan terus dilanjutkan untuk menutup kesenjangan. Bukan hanya peran perempuan dalam ekonomi yang akan ditingkatkan tetapi juga di bidang lain. Cawapres 01 juga mengemukakan tentang telah dilakukannya beberapa kebijakan dan program yang untuk meningkatkan akses perempuan dalam pendanaan usaha, mislanya melalui program pembiayaan UMi (Ultra Mikro), peningkatan program Desa Wisata dan Desa Digital serta program Mekaar (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera) yang telah mendukung 4,2 juta perempuan sebagai pemanfaat.

Di lain pihak, Cawapres 02 sempat mengkritisi implementasi Mekaar, karena menurutnya perempuan membutuhkan mentoring dalam menjalankan bisnisnya dan perbaikan perijinan, dan untuk itu ia mengajukan program OK OC.

Saya tidak melihat hal yang aneh dan juga hal baru pada tanggapan dari kedua Paslon. Keduanya mengangkat isu akses perempuan pada pendanaan dan perijinan juga tentang pentingnya kewirausahaan. Memang Paslon 01, menyebutkan perlunya Pengarusutamaan Gender dan saya kira itu permulaan yang baik. Kita memahami bahwa memang semua lembaga pemerintah harus mengintegrasikan aspirasi, pengalaman, kebutuhan dan prioritas yang berbeda antara perempuan dibanding laki laki ke dalam seluruh proses perencanaan pembangunan nasional. Ini dimuat dalam Inpres 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Untuk menjawab pertanyaan Panelis dengan tuntas, tentunya artikulasi tentang bagaimana Pengarusutamaan Gender di bidang ekonomi yang diterjemahkan dalam beberapa faktor yang relevan, berikut aksi strategis perlu dilakukan. 

KESETARAAN GENDER DALAM PARTISIPASI KERJA AKAN AKAN MENINGKATKAN PERTUMBUHAN PDB INDONESIA 10% LEBIH TINGGI DARI 'BUSINESS AS USUAL". 

Selain menggunakan acuan the Global Gender Gap Report dari the World Economic Forum, yang menempatkan Indonesia berada pada skor 0,691 atau pada ranking 85, kita bisa menilik pada Studi Mc Kinsey Global Institute, "The Power Of Parity: Advancing Women's Equality In Asia Pacific".  Studi ini melibatkan lebih dari 20 negara dan 30 industri di Asia Pasifik. menyampaikan bahwa Asia Pasifik adalah wilayah paling dinamis yang menjadi mesin pertumbuhan dunia, melalui produktivitas, investasi, evolusi pasar finansial global, teknologi dan inovasi. Perempuan juga dicatat sebagai penyumbang vital pada pertumbuhan tsb.

Cina dan India, serta Filipina, New Zealand, Bangladesh dan Singapore diperhitungkan untuk mengalami kemajuan pesat karena adanya kesetaraan gender di sektor kerja. Kesetaraan gender di Asia Pasifik dapat meningkatkan GDP kolektif sejumlah $ 4.5 triliun di tahun 2025, atau 12% peningkatan dari 'business as usual'nya. Di Indonesia, kesetaraan gender diyakini akan meningkatkan GDP sebesar $135 juta pada 2025 dengan pertumbuhan sekitar 10% lebih tinggi dari 'business as usual'. Artinya, ini akan tercapai bila kita mampu memperbaiki kesetaraan perempuan dan laki laki di dalam sektor ekonomi.

APA KESEMPATAN DAN TANTANGAN INDONESIA UNTUK MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER DI SEKTOR EKONOMI?

Pemerintah sudah mulai melakukan upaya perekonomian dan sektor kerja ramah perempuan. Keadilan pengupahan pada pekerjaan yang sama "equal pay for equal work' yang diperkenalkan ILO adalah salah satu contohnya.  

Menteri Keuangan Sri Mulyani mendengungkan pentingnya keterlibatan perempuan dalam ekonomi. Ia memang luar biasa dalam mengkontekstualisasi kepentingan kesetaraan gender dalam sektor ekonomi yang rumit. Ia pionir Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk jadi bagian dari praktik di pemerintahan. Tidak mudah memang dan masih terseok di tingkat lapang. Juga, ia menggulirkan fasilitas obligasi hijau 'green bonds' dan juga 'Green Sukuk, fasilitas keuangan yang pro lingkungan berbasis syariah. Keduanya memang masih baru dengan menggunakan basis keberlanjutan, yang di dalamnya berpotensi untuk mendorong kesetaraan gender sebagai persyaratan. IDiskusi soal keuangan syariah sempat muncul dalam perdebatan, tetapi kita tak hendak singgung di sini. 

LALU APA TANTANGANNYA?
Pertama, kesenjangan gender pada partisipasi kerja adalah riil. Indonesia belum memiliki peraturan atau perundangan memadai untuk melindungi pekerjanya agar tetap bisa tinggal di pasar kerja selama siklus hidup perempuan. Memang sudah terdapat  undang terkait perlindungan hak asasi perempuan, termasuk untuk pekerja migran dan keluarganya, namun perlu intervensi sistematis di pasar tenaga kerja. 

Bahan Presentasi Diana Suarez pada Regional Dislogue SDGs, Agustus 2018
Bahan Presentasi Diana Suarez pada Regional Dislogue SDGs, Agustus 2018
Saat ini partisipasi kerja perempuan hanya sedikit di atas 50%, yang jauh sekali di bawah laki laki yang berada pada angka di atas 80%. Juga, perempuan masih alami kesenjangan upah dibandingkan dengan apa yang diperoleh pekerja laki laki.

Keterbatasan infrastruktur rumah tangga seperti air bersih, enerji bersih, dan sanitasi yang banyak memakan waktu perempuan adalah tantangan pertama untuk berpartisipasi dalam pasar kerja. Juga terdapat akses yang terbatas pada penitipan anak dan pendidikan pra-sekolah karena aspek biaya dan kualitas dari pendidikan pra-sekolah memang cukup mahal.

Di perdesaan, akses masyarakat, khususnya ibu ibu pada kesehatan reproduksi dan kesehatan umum yang berhubungan dengan ketersediaan air bersih dan sanitasi bisa mengganggu partisipasi dan masih memerlukan perhatian. 

Bahan Presentasi Diana Suarez pada Regional Dialogue on SDGs Agustus 2018
Bahan Presentasi Diana Suarez pada Regional Dialogue on SDGs Agustus 2018
Masih dalam kaitannya dengan tingkat partisipasi kerja perempuan, Diana Contrares Soares dari Universitas Melborne Australia melakukan penelitian tentang tingkat partisipasi kerja di Indonesia. Ia  menyatakan bahwa tingkat partisipasi kerja perempuan di Indonesia cenderung stagnan pada angka sekitar 50% dan itu telah terjadi selama lebih dari 20 tahun. 

Studi Diana juga menunjukkan bahwa tingkat partisipasi kerja perempuan yang telah menikah menurun drastis dibandingkan dengan mereka yang menikah. Seringkali perempuan yang telah menikah bahkan tidak kembali ke pasar kerja. Ini karena perempuan harus melahirkan. Disamping itu, perempuan mengurus anak, keluarga yang sakit, dan rumah tangga, yang bisa dikategorikan sebagai ekonomi perawatan atau 'care economy'. Padahal, 'care economy' sejatinya bisa menjadi tanggung jawab bersama, dan bukan hanya jadi tanggung jawab utama perempuan. Kita sering mendengar soal beban agenda. Ini yang kita baru saja bicarakan. 

Sayangnya, aturan kerja di perusahaan sering membatasi perempuan yang sudah menikah untuk bisa bekontribusi pada ekonomi. Rigiditas sektor kerja membuat tempat kerja tidak ramah perempuan. Aturan cuti yang terbatas, tak adanya sistem kerja 'flexi time' atau kerja fleksibel yang lentur sehingga perempuan bisa menegosiasikan jam kerjanya, dengan tetap menjaga meritokrasi dan hasil kerja. Kerja fleksibel memungkinkan pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah. Ini sudah dilakukan beberapa perusahaan dan dianggap positif.

Sistem kerja di perusahaan di negara kita juga belum menjamin hak dan tunjangan bagi pekerja yang paruh waktu. Paruh waktu tidak melindungi keberlanjutan kontrak dan tidak menjamin hak pekerja. 

Apalagi ketika ada persoalan kenakalan anak, ibu bekerja sering dipersalahkan seakan merekalah penyebab persoalan. "Gara gara kamu kerja sih!". Sementara, anak punya ayah dan ibu kan? 

Ilustrasi Beban Berganda (liputan 6)
Ilustrasi Beban Berganda (liputan 6)
Kedua, Indonesia dapat menyumbang secara substansial pada pertumbuhan ekonomi dan sekaligus pada kesetaraan gender melalui kewirausahaan dan 'digital tools'. Ini sudah disebut dalam debat tetapi menyasar secara umum. Padahal kebutuhan wirausahawa perempuan berbeda dengan kebutuhan wirausaha laki laki dalam hal teknologi digital. Indonesia perlu memprioritaskan dan memastikan perempuan mendapatkan manfaat penuh dari teknologi digital melalui peningkatan ketrampilan perempuan pada digital, keyakinan perempuan tentang nilai dan manfaat dari teknologi digital, dan perbaikan infrastruktur digital.

Kita perlu mengoptimalkan manfaat teknologi. Data BPPS (2017) menunjukkan bahwa 52% penduduk tidak terhubung dengan internet. Akses siswa pada internet juga menjadi tantangan karena adanya perubahan kebijakan yang menghapus ICT dari kurikulum pendidikan. Sayang sekali data yang terpilah berdasar jenis kelamin tidak tersedia dengan mudah. 

Perbaikan pada digital platform, produk, layanan dan pemasaran atas kebutuhan perempuan dan memperbaiki persepsi perempuan terkait teknologi digital dapat meningkatkan produk dan layanannya. Platform di India yang membantu perempuan untuk kembali ke kerja mungkin dapat dicontoh.

Ketiga, kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja masih merupakan persoalan. Pelecehan seksual, guyon guyon yang merendahkan perempuan di tempat kerja masih sering kita dengar. Ini terjadi di lingkup pekerjaan di dalam negeri dan di luar negeri, sebagai pekerja migran. 

Kasus tentang perempuan yang akhirnya harus mengundurkan diri karena ia alami kasus pelecehan seksualnya (dan melaporkannya) juga mengemuka. Ini karena perusahaan di Indonesia belum menerapkan aturan terkait pelecehan seksual dan sangsinya. Padahal Lembaga Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) melalui ILO meminta dunia usaha menerapkan aturan perlindungan perempuan dari kekerasan di tempat kerja. 

Pada akhirnya, tugas membuka peluang yang adil agar perempuan dapat berpartisipasi dalam kerja bukanlah hanya tugas pemerintah, tetapi juga tugas keluarga dan masyarakat, karena aspek gender dari sektor kerja bergerak dinamis antara pasar kerja dan di rumah tangga. Sebuah bangsa akan memiliki ketahanan yang tinggi bila kesetaraan gender terjaga dengan baik, dan perempuan mendapat dukungan yang layak termasuk untuk bekerja.

Untuk itu, penciptaan iklim yang kondusif agar baik perempuan dan laki-laki dapat berpartisipasi di bidang ekonomi perlu dilakukan agar upaya mendorong pertumbuhan ekonomi bisa optimal. 

Mendorong pertumbuhan tanpa menciptakan iklim yang kondusif bagi perempuan bagaikan berjuang dengan satu tangan, sementara tangan yang lain diikat di belakang.

Pustaka : 1) World Economic Report 2018; 2) Studi McKinsey

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun