Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Anggaran Pertahanan dan Kualitas Hidup Warga, Suatu Biaya Kesempatan

30 Maret 2019   23:28 Diperbarui: 1 April 2019   12:52 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengingat saya memang jarang atau hampir tidak pernah menonton TV, saya merasa beruntung (atau malah sial) menyaksikan debat Capres. Ini bisa terjadi karena saya secara kebetulan berada di tempat publik dan terdapat TV yang sedang diputar. 

Tentu akan banyak tulisan dan analisis tentang debat Capres ke 4. Karena tulisan ini tidak diniatkan untuk membahas detil apa dan bagaimana tiap segmen terjadi, mohon maaf sekiranya saya langsung ke inti persoalan tentang isu pertahanan yag didiskusikan pada segmen ketiga. 

Pada segmen ketiga, persoalan keterbatasan anggaran, transparansi dan akuntabilitas adalah menarik. Capres 02 mengatakan bahwa pertahanan Indonesia sangat lemah. Ia juga mengkritisi pengelolaan bandara dan pelabuhan yang dibagi dengan pihak asing. 

Capres 01 menyebutkan telah diselenggarakannya gelar pasukan terintegrasi. Pembangunan divisi 3 Kostrad di Gowa, Komanda angkatan darat di Biak, juga armada di Sorong. Gelar pasukan di Natuna, Morotai, Saumlaki, dan di Biak disampaikan sebagai strategi yang penting serta keberadaan radar udara di 19 titik maritim yang terkoneksi.

Juga Capres 01 berargumentasi perlunya kerjasama dengan swasta luar negeri untuk mendukung transfer teknologi pada pengelolaan bandara dan pelabuhan komersial, karena PT Angkasa Pura dan PT Pelindo tetap pegang kendali. Juga, soal bandara dan pelabuhan untuk kepentingan keamanan yang tetap dalam pengelolaan ABRI. 

Dalam hal anggaran sektor pertahanan, Capres 01 menyampaikan angka anggaran Rp 170 triliun, nomor 2 setelah anggaran di kementrian Pekerjaan Umum.

Sebetulnya ini bisa diduga karena memang sejak masa Order Baru, alokasi anggaran sektor ini tinggi. Juga Capres 01 sampaikan di periode yang akan datang akan ada pergeseran anggaran berfokus pada pengembangan sumber daya manusia.

Namun, bila anggaran militer diharapkan lebih tinggi, bisa saja ini jadi pertimbangan. Ini malah bikin saya deg degan. 

Capres 02 mengomentari prosentasi anggaran pertahanan yang sangat rendah, yaitu 0,8% dari PDB dan hanya 0,5% dari APBN. Capres 02 mengingatkan Asal Bapak Senang (ABS) yang Capres 01 perlu waspadai. Mungkin saja radar radar itu tidak seperti yang diceritakan, begitu katanya.

Capres 01 juga menggarisbawahi soal pentingnya investasi dan bukan hanya konsumsi soal alutista. Ini agar negara bukan hanya memperkuat pertahanannya tetapi juga meningkatkan teknologinya.

Ini mengingatkan saya akan prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 'Sustainable Development Goals' (SDGs) yang jadi agenda PBB. Kitapun memang sejak lama memiliki perusahaan negara PINDAD yang memproduksi senjata. Tentu potensinya perlu digali. 

Capres 01 jmembincang soal kepemilikan saham Freeport yang dulunya sangat rendah dan menjadi 51%, sebagai bagian tak terpisahkan antara kepentingan ekonomi dan pertahanan.

Tentu saja, Capres 02 tetap bersikukuh bahwa ini 'etok etok' - bohong bohong saja. Soal pembagian profit yang tetap saja rendah, kurang dari 30% disebut oleh Capres 02 dengan mengacu pada informasi terbitan the New York Stock Exchange.

Okay, ringkasan debat pada segmen tiga di atas hanyalah konteks yang mungkin perlu kita pahami, sebelum kita masuk pada sedikit analisis tentang anggaran pertahanan.

Setahu saya, beberapa berita tentang perkembangan Indonesia dalam melakukan modernisasi di bidang militer kita baca. Beberapa pembelian helikopter, transfer 24 buah jet F-16 dari Amerika dan juga rencana pembelian Sukhoi diberitakan di bulan Februari dan Maret 2019 ini.

Sementara itu, secara absolut, anggaran militer Indonesia disebutkan berjumlah $10 juta pada tahun anggaran 2018, lebih tinggi dari anggaran militer Malaysia ($3,6 juta) dan Thailand (US $ 7 juta). Jadi, anggaran militer tinggi.

Sebetulnya saya malah ingin bertanya, seberapa tinggi kita perlu biaya militer? Dan, apakah harus jadi primadona? Juga, apa implikasi biaya militer yang tinggi pada politik luar negeri dan dalam negeri kita? Apa implikasinya pada alokasi anggran sektor lain? Ini pertanyaan dari saya, orang awam. 

Analisa dan dari data anggaran militer yang dimiliki the Stockhom International Peace Research Institute (SIPRI) mungkin bisa jadi basis diskusi kecil kita.

Studi menunjukkan bahwa pengeluaran atau anggaran militer suatu negara yang tinggi tidak punya korelasi dengan tingkat kualitas hidup masyarakatnya. Hanya Jerman yang merupakan satu dari 10 negara dengan total anggaran yang tinggi mampu menawarkan kualitas hidup yang tinggi pada warganya. 

Tabel tabel di bawah ini mungkin membantu. Tabel pertama adalah rangking berdasar anggaran militer. Tabel kedua adalah rangking berdasar kualitas hidup warga. Data kualitas hidup warga diukur melalui survei yang menggunakan 9 indikator di 80 negara dengan melibatkan 21.000 orang sebagai sampelnya.

SIPRI
SIPRI
SIPRI
SIPRI
Memang, negara-negara seperti Inggris, Jepang dan Perancis punya anggaran militer tinggi dan juga memiliki kualitas hidup masyarakat yang baik. Ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain situasi pasar tenaga kerja, pendidikan publik dan sistem pelayanan kesehatan serta kondisi kestabilan negara secara umum.

Seperti diduga, studi menunjukkan bahwa negara-negara dengan anggaran militer yang tinggi ternyata memiliki kualitas hidup masyarakat yang rendah. Hal ini ditemui di Rusia yang memiliki kualitas hidup pada ranking nomor 38, Saudi Arabia yang memiliki ranking nomor 41, juga Amerika pada ranking nomor 17 serta Cina pada ranking nomor 21.

Negara yang memiliki kualitas hidup warga yang tinggi tentu memprioritaskan anggarannya untuk peningkatan sumber daya manusia, dan tidak mampu mengeluarkan anggaran militer yang tinggi. Ini juga disampaikan oleh Mary Kaldor, seorang ahli tata kelola global dari the London School of Economics, Civil Society and Human Security Research Unit.

Kaldor mencontohkan negara seperti Kanada, dengan posisi kualitas hidup masyarakat pada ranking no 1, yang hanya memiliki pada anggaran militer pada ranking ke 14. Begitu juga Denmark, Swedia dan Norwegia adalah negara dengan ranking kualitas hidup tertinggi dan berada pada ranking rendah dalam hal pengeluaran anggaran.

Kaldor menyampaikan bahwa hal ini sebetulnya bukan hanya terkait korelasi dua hal di atas, tetapi juga melibatkan tekanan tekanan politis.

Secara umum, beberapa negara memiliki ranking anggaran militer tinggi juga karena kondisi dan status perekonomian mereka tinggi. Ini juga diperkuat pernyataan oleh James Chin, Direktur the University of Tasmania's Asia Institute di Australia bahwa anggaran militer yang tinggi pada umumnya berkaitan dengan pengeluaran untuk konsumsi dan penggajian ahli.

The International Peace Bureau menyampaikan, bahwa anggaran militer mestinya dilihat dengan kacamata yang berbeda.

Pada satu sisi bisa dilihat dari sisi pertahanan dan kemanan. Di sisi lain, anggaran militer bisa dilihat sebagai bagian dari keseluruhan biaya pembangunan berkelanjutan.

Artinya, prioritas anggaran sudah berubah. Pertimbangan dari masyarakat sipil dan parlemen pada prioritas anggaran pada pembangunan berkelanjutan yang menyeluruh adalah utama.

Untuk itu, inovasi dalam hal metode dan cara pengadaan penganggaran militer menjadi hal yang bisa dilakukan. Hal ini kurang lebih mirip dengan penjelasan Capres 01 soal anggaran militer yang bisa dilihat dari perspektif investasi dan bukan hanya konsumsi.

Dalam hal pertahanan dan kebijakan luar negeri, pengurangan anggaran militer perlu dilihat pula sebagai bagian dari upaya mengurangi konflik senjata dan demiliterisasi yang menjadi tujuan bersama, sesama anggota negara negara Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).

Secara pribadi, argumentasi 'opportunity cost' atau biaya kesempatan antara peningkatan anggaran militer dengan apa yang harus menjadi kerugian yang diakibatkan karena tidak tersedianya anggaran untuk pembangunan sosial ekonomi adalah masuk akal.

Kita semua paham bahwa ada keterbatasan anggaran dan prioritasi pada anggaran pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kualitas hidup warga Indonesia, perempuan dan laki laki menjadi utama.Ini rasionalisasi klasik dan paling sederhana. Lalu, argumentasi perdamaian dunia melalui penurunan konflik senjata juga tidaklah kalah pentingnya. 

Visi, misi serta pandangan dari para Capres terkait tema di debat keempat sudah kita saksikan. Analisis mendalam akan banyak terjadi. Satu hal yang mungkin kita boleh lega adalah ketika mendengar tangkisan Capres -2 tangan tuduhan mendukung Indonesia menjadi negara khilafah. Ini disampaikan di awal debat. Menarik?

Di akhir debat, masing masing Capres menyampaikan soal pentingnya silaturahmi di antara mereka. Ini semestinya juga perlu disikapi positif oleh pengikut (dan fans) masing masing Capres. Persatuan adalah utama.

Dan, lagu Kemesraan berikut foto kedua Capres yang mesra ditayangkan.

Mesraaaaah tapi lucu. Bagaimana ya saya harus komentari?

Pustaka : 1) Anggaran Militer VS Kualitas Hidup Warga; 2) Pembangunan Berkelanjutan dan Anggaran Milite; 3) Modernisasi Militer Indonesia; 4) Anggaran Militer Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun