Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Haramkan Golput Bukan Barang Baru di Dunia

30 Maret 2019   15:00 Diperbarui: 31 Maret 2019   05:51 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Contoh praktek negara yang menerapkan keharusan memilih ada di Australia, Brazil dan Belgia. Jadi, sebetulnya, pengharaman bukan barang baru. Keberhasilan Australia yang melahirkan aturan keharusan memilih sejak 1924 menunjukkan bahwa minimal sekitar 87% masyarakat akan atau pasti memilih.

Hal ini karena pemerintah mampu meyakinkan masyarakat melalui cara yang mendisiplinkan mereka yang Golput melalui persepsi yang positif tentang pemilu. Dan, Australia dianggap sebagai negara yang paling efektif menjalankan wajib pilihnya. Bahkan, Australia menetapkan sangsi pada mereka yang tidak memilih. Undang undang di Australia meyakinkan warga bahwa memilih adalah tugas moral.

Mengapa Golput Bukan Pilihan?

Emillee Chapman dalam the Amerian Journal of Political Science memberi argumentasi mengapa penting bagi kita untuk tidak Golput.

  • Nyoblos adalah alat tagih warga setara kepada yang terpilih.
  • Ini soal suara warga setara dan tanpa kelas kelasan dihargai. Pihak yang terpilih akuntabel kepada semua warga, bukan hanya yang mayoritas atau pemilih saja.
  • Ini alat uji demokrasi, tetapi bukan satu satunya alat. Ada banyak cara lain dalam demokrasi, mulai dari 'class action', petisi dan dialog dengan legislator;
  • Proses Pemilu menunjukkan keputusan bersama warga

Sejalan dengan ajakan KPU tentang kerelawanan demokrasi, menyoblos adalah hak kita untuk memilih secara aktif dan partisipatoris. Bukan sekedar lari lewat Golput.

Pustaka 1) People Press, 2) Trump dan Golput, 3) No Golput; 4) Tradisi Golput 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun