Isu Golput yang diharamkan sebetulnya bukanlah barang baru di dunia politik. Pasalnya, Golput telah terbukti memenangkan banyak Pemilu. Sebut saja Pemilu di Amerika pada 2016. Apalagi, fenomena presentasi masyarakat yang memilih Golput menunjukkan kecenderungan meningkat.
Seperti telah saya tuliskan di artikel saya terkait Golput. Â Indonesia punya sejarah konteks Golput yang spesifik. Muncul di tahun 1970-an di masa Orde Baru, gerakan ideologis Golput yang dipimpin Arif Budiman memprotes pada adanya UU no 15 1969 tentang Pemilu yang dinilai mengkerdilkan kebebasan berpolitik karena memberikan ruang terlalu besar pada militer.
Tidak menyoblos alias Golput terus dilakukan dalam sejarah Pemilu Indonesia. Pernyataan Wakil Ketua MUI terkait mengharamkan Golput jadi perdebatan.
Memang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 sd 2019 menargetkan pemilih sebesar 77,5% pada Pemilu 2019. Tentu ini diharapkan untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan.
![The New York Times.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/30/no-golput-5c9f210bcc52834ff671f7fa.jpg?t=o&v=770)
Walau Amerika mengupayakan beberapa prosedur yang memudahkan calon pemilih dengan menggunakan SIM dan KTP telah dikenal. Bahkan, beberapa negara bagian ijinkan pendaftar yang terlambat. California, misalnya, mengijinkan pendaftaran pada hari yang sama, tetapi negara bagian lain tetap mengharuskan pendaftaran pada kantor Pemilu setempat.
Studi tentang Golput pada pemilu Amerika menunjukkan bahwa 23% dari mereka yang telah mendaftar tetapi tidak memilih disebabkan oleh jadwal bekerja yang bertabrakan dengan pemilu.
Tingginya prosentasi Golput di Amerika yaitu 44,3% menunjukkan bahwa pemenang pemilu Amerika jelas jelas 'non voters'Â atau Golput.
Studi yang diluncurkan melalui the Washington Post pada 9 Agustus 2018 mengkukuhkan temuan dan analisis terkait kemenangan Golput dari profile 137 juta orang pemilih tersebut. Dengan demikian, kita memang akhirnya tahu bahwa Golput telah memenangkan Pemilu di dunia.
![Futurity.com yang diintergrasikan dengan data Indonesia](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/30/golput-1-5c9f291c95760e4c5d183942.jpg?t=o&v=770)
Namun, dengan merosotnya kredibilitas demokrasi, beberapa analis ilmu politik dan universitas, termasuk dari Universitas Stanford, Amerika, Melissa Dewitt menyampaikan pandangan banyak pihak, khususnya dari kalangan universitas tentang pentingnya mencoblos sebagai kewajiban dan ditetapkan sebagai keharusan.
Contoh praktek negara yang menerapkan keharusan memilih ada di Australia, Brazil dan Belgia. Jadi, sebetulnya, pengharaman bukan barang baru. Keberhasilan Australia yang melahirkan aturan keharusan memilih sejak 1924 menunjukkan bahwa minimal sekitar 87% masyarakat akan atau pasti memilih.
Hal ini karena pemerintah mampu meyakinkan masyarakat melalui cara yang mendisiplinkan mereka yang Golput melalui persepsi yang positif tentang pemilu. Dan, Australia dianggap sebagai negara yang paling efektif menjalankan wajib pilihnya. Bahkan, Australia menetapkan sangsi pada mereka yang tidak memilih. Undang undang di Australia meyakinkan warga bahwa memilih adalah tugas moral.
Mengapa Golput Bukan Pilihan?
Emillee Chapman dalam the Amerian Journal of Political Science memberi argumentasi mengapa penting bagi kita untuk tidak Golput.
- Nyoblos adalah alat tagih warga setara kepada yang terpilih.
- Ini soal suara warga setara dan tanpa kelas kelasan dihargai. Pihak yang terpilih akuntabel kepada semua warga, bukan hanya yang mayoritas atau pemilih saja.
- Ini alat uji demokrasi, tetapi bukan satu satunya alat. Ada banyak cara lain dalam demokrasi, mulai dari 'class action', petisi dan dialog dengan legislator;
- Proses Pemilu menunjukkan keputusan bersama warga
Sejalan dengan ajakan KPU tentang kerelawanan demokrasi, menyoblos adalah hak kita untuk memilih secara aktif dan partisipatoris. Bukan sekedar lari lewat Golput.
Pustaka 1)Â People Press, 2)Â Trump dan Golput, 3) No Golput; 4) Tradisi GolputÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI