Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Lupakan Hampir Sejuta Pengungsi!

30 Maret 2019   11:33 Diperbarui: 31 Maret 2019   05:52 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun banyak relawan membantu layanan pendidikan, kualitas dan kenyamanan belajar tentu berbeda antara belajar diruang kelas dibandingkan dengan belajar di bawah tenda pengungsian. 

2. Gizi pengungsi. Stop makan mie instan terus. Ini susah sekali. Sumbangan dari berbagai negeri dikirim dalam bentuk mie instan. Pengungsipun senang karena mereka memikirkan cadangan pangan. Aduh mak, gizi warga pengungsi jadi repot. banyak kasus bayi kegemukan, namun gizi tak ada. Ini ada pula dalam studi kami.

3. Perempuan dan Anak. Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling terancam kematian dan paling menderita ketika terjadi bencana. Studi bencana di berbagai wilayah Indonesia dan dunia mennjukkan bahwa ni menjadi bagian dari laporan BNPB pada Jumat, 29 Maret 2019 yang lalu. Kumpulan 60-70% korban bencana Tsunami adalah perempuan dan anak-anak serta orang lanjut usia. 

Perempuan dan anak anak berisiko meninggal 14x lebih besar dari pria dewasa pada saat terjadinya bencana. Pembelajaran di Indonesia, 60-70% korban bencana adalah wanita dan anak-anak serta orang lanjut usia. 

Bukti lainnya menunjukkan bahwa pada bencana Cylone di Bangladesh tahun 1991, total korban 14.000 (90% perempuan). Pada badai Katrina di US, sebagaian besar korban adalah ibu-ibu Afro-American beserta anak-anaknya. Ini menjadi bagian dari BNPB (BNPB, 29 Maret, 2019).     

Di samping itu layanan kesehatan ibu dan anak juga jadi persoalan serius pada pasca bencana. Pengalaman dan studi yang saya lakukan terkait bencna Tsunami Aceh 2004 dan juga studi bersama rekan rekan Gema Alam NTB di Lombok 2018 menunjukkan bahwa relawan yang membantu layanan kesehatan pada umumnya hadir sesekali dan dalam waktu yang pendek. Sementara kebutuhan layanan kesehatan ibu dan anak hampir dipastikan meningkat bersama berjalannya waktu di pengungsian. 

Studi kondisi kesehatan ibu dan anak pasca gempa Lombok menunjukkan bahwa ibu ibu yang hamil, misalnya hanya mendapat layanan kesehatan ketika terdapat tim kesehatan yang datang. Pengungsi pada umumnya tidak hendak meninggalkan tenda pengungsian untuk mencari layanan kesehatan. 

Trauma sering menyebabkan penyintas tidak berani meninggalkan tenda pengungsian. Studi dan pengalaman membantu penyintas menunjukkan terdapat juga ibu yang terpaksa melahirkan di bawah tenda. In iterjadi di Lombok, Palu, atau pada pasca Tsunami di Selat Sunda;

4. Lansia dan orang dengan disabilitas. Akses kesehatan untuk kelompok masyarakat dengan disabilitas dan lansia sering terkendala. Bila dokter dan tim kesehatan tidak melakukan kunjungan, pada umumnya penyintas dari kelompok ini tidak mendapat layanan. 

Juga, mereka hampir tidak pernah diajak bicara soal penyediaan rumahnya. Cerita soal lansia dan orang dengan disabilitas yang terpaksa tinggal di tenda yang tak layak sudah kalsik terdengar dan dilaporkan dari studi yang ada. Tapi berulang, layanan kepada mereka masih juga kurang. 

5. Trauma pasca bencana. Studi terkait trauma pasca bencana bencana Tsunami 2004 di Aceh menunjukkan bahwa trauma muncul sekitar 1 bulan setelah bencana dan bisa terjadi sampai 6 tahun setelah bencana terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun