Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Petak Petak Sawah dan Kebun Nusantara

9 Maret 2019   18:00 Diperbarui: 11 Maret 2019   06:36 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang petani sedang menyiangi Sawah dari sisi pematang di Bantul Yogyakarta (Dokumentasi Pribadi)

Meski hanya berbekal kamera HP yang sederhana, merekam petak petak sawah dari kejauhan cukup menyenangkan.  Peta petak sawah dan kebun biasanya saya dapatkan ketika berjalan di area persawahan atau kebun sayur di wilayah Pariaman (Sumatera Barat), Magelang, Boyolali dan Dieng. Atau saya dapatkan ketika saya naik Kereta Api Parahyangan dari Jakarta ke Bandung. Atau juga saya foto ketika sedang ada di udara, di atas Yogyakarta, Jakarta dan juga Praya Lombok.

Dari kejauhan, petak petak sawah dan kebun itu menghasilkan gambaran peta peta warna warni. Petak petak itu berbentuk segi empat, bujur sangkar, trapesium, jajaran genjang, atau bahkan tidak beraturan. Di wilayah wilayah tertentu bahkan petak petak sawah membentuk sarang laba laba. Ada warna hijau, kuning, dan coklat kemerahan yang merata dalam kotak.  Ada pula warna yang berselang seling. Namun, di balik peta peta itu, tentu ada cerita dan situasi yang menarik untuk kita pelajari.

Hal pertama yang mungkin perlu diketahui adalah bahwa sawah menjadi berpetak karena dipisahkan oleh pematang, bedengan, galengan atau sengkedan. Selanjutnya, tentu kita perlu memahami alasan di balik petak petak sawah atau kebun itu.

Petak Sawah dan Kebun di Yogyakarta (Dokumentasi Pribadi)
Petak Sawah dan Kebun di Yogyakarta (Dokumentasi Pribadi)
Petak petak di atas Jakarta (Dokumentasi Pribadi)
Petak petak di atas Jakarta (Dokumentasi Pribadi)
Pertama, Pematang atau bedengan atau ‘galengan’ sering dibuat agak lebar dan tinggi agar dapat menahan air dan hara untuk tidak hanyut atau terbawa ke petak yang lain. Hara  yang tertahan di masing masing petak juga mencegah adanya pendangkalan. Di sini, petak sawah berfungsi sebagai pengatur aliran air, agar pasokan air yang mengalir ke sungai tidak terlalu deras. Sawah berfungsi sebagai dam dam kecil yang menahan air. 

Petak tanah akan menyerap air yang jatuh dari langit dan mengalirkan sisanya secara pelan ke petak yang lain. Ini menstabilkan aliran air irigasi serta mencegah jebolnya lahan sawah.  Ini berlaku untuk sawah yang ditanam padi maupun tanah pertanian untuk tanaman semusim yang sering disebut sebagai tegalan. 

Kedua, luas sawah dan tanah tegalan yang makin sempit. Pesatnya industrialisasi dan pertambahan jumlah penduduk menyebabkan terjadinya konversi atau alih guna lahan sawah secara cepat. Sayangnya konversi lahan sawah tidak dapat dikembalikan setelah menjadi perumahan dan kawasan industri, sehingga proses ini cenderung membawa kemorosotan kualitas lingkungan.

Selain persoalan industrialisasi, lahan sawah dan kebun sering mengalami pemecahan, yang menurut istilah Mubyarto (1995) sebagai fragmentasi, sejalan dengan adanya proses waris kepada anak, secara turun temurun. Memang, luas tanah sawah di Indonesia makin menyusut. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa luas lahan baku sawah pada tahun 2017 luas sawah adalah 7,75 juta hektar, pada pada tahun 2018 menjadi 7,1 juta hektar.  Secara rata rata, masing masing petani memiliki tanah seluas kurang dari 1 hektar. Secara ekstrim, bila dibagi jumlah penduduk maka hanya ada sekitar 300 m tanah pertanian per kapita. Sayangnya, tidak semua pemerintah daerah memiliki kebijakan untuk menahan atau menyetop adanya konversi tanah sawah. Padahal aturan bisa dibuat. Kabupaten Magelang yang memang penghasil padi, misalnya, menetapkan bahwa lahan basah (sawah) hanya bisa dijual kepada sesama masyarakat desa dan tidak boleh dijual kepada pendatang. Ini membatasi adanya konversi. 

Dari berbagai bentuk penggunaan lahan pertanian, lahan sawah yang terbanyak mengalami konversi. Terutama ini terjadi di sekitar pusat pembangunan perkotaan dan permukiman.

Petak Petak Sawah yang terhimpit Permukiman Kota di Yogyakarta (Dokumentasi Pribadi)
Petak Petak Sawah yang terhimpit Permukiman Kota di Yogyakarta (Dokumentasi Pribadi)
Ketiga, diversifikasi tanaman dengan Sistem Surjan. Ini pada umumnya dikenal di Jawa. Sistem ini merupakan salah satu pola usahatani yang mencampurkan tanaman padi dan palawija atau sayuran dalam satu hamparan sama, membentuk petak kecil yang berbeda untuk tanaman yang berbeda.

Itulah sebabnya mengapa hamparan seperti garis dengan warna berbeda, yang nampak dari atas atau udara. Disebut sistem Surjan karena menyerupai motif kain surjan khas Jawa Tengah. Bagian bawah yang ditanami padi disebut ‘Tabukan’, sementara bagian atas disebut sebagai ‘Guludan’.  Sistem Surjan sudah dikenal lama. Biasanya, sebelum petani menanam sayuran, mereka menggunakan lahan untuk tanaman umbi-umbian, seperti talas, singkong dan tanaman labu. 

Tanaman umbi-umbian dan labu dahulu ditanam dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sebagai bahan pangan alternatif selain beras, terutama pada saat musim paceklik. Tanaman ini dipilih karena mereka relative tahan terhadap kekeringan. Bedengan atau galeng bisa juga ditanam pohon pepaya. Pada beberapa lahan, sistem Surjan juga menerapkan penggunaan dengan diseling kolam ikan atau lele.

Petak Sawah dan Kebun di Yogyakarta (Dokumentasi Pribadi)
Petak Sawah dan Kebun di Yogyakarta (Dokumentasi Pribadi)
Sistem Surjan (infopublic.id)
Sistem Surjan (infopublic.id)
Keempat, Bedengan atau ‘galengan’ ditanami palawija seperti kacang kacangan dan sayuran atau rumput. Sementara kacang kacangan dan sayuran untuk konsumsi keluarga, rumput bisa untuk ternak. Sisa daun daunan juga bisa disebarkan di tengah sawah sebagai humus atau pupuk. Dalam perkembangannya, sayuran yang ditanam di bedengan bukan hanya untuk konsumsi keluarga, tetapi juga untuk dijual. Yang menarik, akhir akhir ini muncul dorongan untuk mengelola sawah dengan sistem pertanian tehno ekologis yang sebetulnya merupakan sistem yang telah lama membudaya dan dipraktekkan petani. Misalnya, padi diseling kacang tanah. Kegunaan kacang tanah adalah untuk menyuburkan tanah di sekitarnya, termasuk tanah sawah padi. 

Petak Kebun di Ketep Magelang (Dokumentasi Pribadi)
Petak Kebun di Ketep Magelang (Dokumentasi Pribadi)
Kelima, sistem sawah yag berpetak membantu alokasi tenaga kerja, baik ketika mempersiapkan atau membajak, menanam bibit padi, menyiangi rumput maupun ketika memanen. Dalam proses persiapan lahan, petani bekerja dan berpindah dari satu petak ke petak lain, ketika satu sawah sudah berisi air.  Pekerja bisa pindah ke petak sawah berikutnya untuk membajak, ketika petak telah diairi. In ijuga terjadi ketika memanen. 

Keenam, sawah yang dibuat berpetak memudahkan petani untuk memantau tanamannya. Karena ukurannya yang kecil, lahan yang ada di petak lebih mudah untuk dipantau. Petani bisa berada di pematang atau bahkan ke tengah petak lahan kecil untuk memantau apakah terdapat tanaman yang rusak atau terkena hama.

Seorang petani sedang menyiangi Sawah dari sisi pematang di Bantul Yogyakarta (Dokumentasi Pribadi)
Seorang petani sedang menyiangi Sawah dari sisi pematang di Bantul Yogyakarta (Dokumentasi Pribadi)

Ketujuh, berpetak untuk pembagian area kepemilikan sawah. Di wilayah Manggarai, sawah sarang laba laba "Lingko' sangat dikenal. Bentuk sawah ini diperkenalkan oleh Raja Aleksander Baruk (1913-1945) dan ini dilakukan karena proses pembagian wilayah sawah oleh Ketua Adat "Tetuo Galo" yang melakukannya mulai dari titik tengah ke arah luar. Biasanya, kepala adat yang akan memilih terlebih dahulu wilayah garapannya. Barulah diikuti untuk warga. Sistem ini memang menentukan tetua adat mendapatkan tanah dahulu dan kemudian seperti 'dilotere' untuk warganya.  (Mongabay.com).

Sawah Lodo (Ebed de Rossari)
Sawah Lodo (Ebed de Rossari)
Kedelapan, petak dengan terasering. Di dataran tinggi, petak petak tanah yang dibuat pada prinsipnya memiliki fungsi yang sama dengan tanah sawah atau kebun pada permukaan tanah yang rata. Perbedaannya adalah pada adanya sengkedan atau terasering. Disebut terasering karen sistem bercocok tanam ini berteras. 

Menurut Sukartaatmadja (2004), terasering adalah bangunan konservasi tanah dan air yang secara mekanis dibuat untuk memperkecil kemiringan lereng atau mengurangi panjang lereng dengan cara menggali dan mengurug tanah melintang lereng. 

Tujuan terasering sendiri adalah untuk mencegah erosi tanah, menjaga meningkatkan kestabilan lereng, dan memperbanyak resapan air hujan ke dalam tanah. Selain itu, terasering mengurangi kecepatan air hujan masuk ke dalam tanah dan mempermudah perawatan lereng serta mengendalikan arah aliran air menuju ke daerah yang lebih rendah.

Baraka Enrekang, Sulawesi Selatan dengan Terasering Tadah Hujan (Dokumentasi Pribadi)
Baraka Enrekang, Sulawesi Selatan dengan Terasering Tadah Hujan (Dokumentasi Pribadi)
Pada kondisi tanah di dataran tinggi yang sebelumnya adalah hutan atau ditanami tanaman keras, konversi menjadi kebun sayur sering menyebabkan adanya kelongsoran tanah. Tingkat kelongsoran itu tergantung pada kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah, jenis bebatuan, dan penutupan lahannya.

Contoh dari kasus ini adalah wilayah Dieng yang meliputi kabupaten Purbalingga, Wonosobo, Batang, dan Pekalongan. Sebelumnya wilayah ini adalah hutan dengan pohon tinggi yang dibawahnya ditanami jagung. Namun, ketika Gunung Galunggung mengalami erupsi pada tahun 1980an, pasokan kentang dari Tasikmalaya dan sekitarnya menjadi terhenti. Karena kebutuhan nasional cukup mendesak, pemerintah melakukan eksplorasi wilayah yang sesuai untuk ditanami kentang. Pilihannya adalah Dieng. Untuk itulah para petani melakukan konversi ke tanaman kentang secara besar besaran.

Pada awalnya, petani merasa senang karena untuk 1 hektar tanah mereka mendapatkan penghasilan sekitar Rp 40 sampai 50 juta. Namun dalam beberapa waktu, petani merasakan dampaknya. Karena kentang hanya bisa hidup tanpa pohon di atasnya, banyak pohon dan hutan ditebang untuk kepentingan tanaman kentang. Sementara, penebangan menyebabkan tiadanya akar besar untuk menahan tanah dan air. Akibatnya, tanah menjadi lahan kritis. Penghasilan petanipun merosot. Tanah sering longsor. Biaya atas kerugian dan kehilangan tinggi.

Dieng yang rusak karena adopsi kebun kentang (Dokumentasi Pribadi)
Dieng yang rusak karena adopsi kebun kentang (Dokumentasi Pribadi)
Kesembilan, petak warna kecoklatan karena terbengkelai. Peta petak petak sawah yang penting juga untuk kita pahami adalah petak di masa pasca bencana Lombok. Lahan sawah dan kebun di wilayah Praya sempat terbengkelai selama hampir 5 bulan.  Ini menyebabkan petak petak yang biasanya indah itu menjadi kering dan gersang. Pasalnya, penyintas dari kalangan petani belum mengolah sawah dan kebunnya. Mereka masih merasakan trauma karena gempa masih terasa di bulan Desember 2018.  
Petak Gersang di Praya pada 5 bulan Pasca Gempa Lombok (Dokumentasi Pribadi)
Petak Gersang di Praya pada 5 bulan Pasca Gempa Lombok (Dokumentasi Pribadi)
Apa yang nampak indah dari atas atau dari udara dan menjadi obyek pemotretan sejatinya memiliki makna. Terdapat petak sawah dan kebun yang terjadi karena mengikuti sistem bertani yang telah membudaya dan berkelanjutan. Sementara, terdapat petak kebun yang dibangun karena tujuan pendapatan semata tanpa mempertimbangkan aspek ekologisnya, yang kemudian membawa potensi kerugian dan bencana. 

Apa yang dipresentasikan oleh petak petak sawah dan kebun kita saat ini adalah akumulasi dari proses dan budaya pembangunan sektor pertanian. Memang sektor pertanian Indonesia telah menjadi sumber ekonomi keluarga dan berkontribusi pada devisa negara dengan cara bertahan pada  kondisi lahan yang beragam. Untuk itu, membangun keterhubungan kebijakan pertanian yang mendorong kesejahteraan petani dan keberlanjutan sektor pertanian menjadi keniscayaan.  

Pustaka
Studi Litbang Pertanian; Alasan Sawah Berpetak; Mengenal Lahan Sawah Dan Memahami Multifungsinya Bagi Manusia Dan Lingkungan
Sistem Surjan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun