Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Petak Petak Sawah dan Kebun Nusantara

9 Maret 2019   18:00 Diperbarui: 11 Maret 2019   06:36 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang petani sedang menyiangi Sawah dari sisi pematang di Bantul Yogyakarta (Dokumentasi Pribadi)

Keenam, sawah yang dibuat berpetak memudahkan petani untuk memantau tanamannya. Karena ukurannya yang kecil, lahan yang ada di petak lebih mudah untuk dipantau. Petani bisa berada di pematang atau bahkan ke tengah petak lahan kecil untuk memantau apakah terdapat tanaman yang rusak atau terkena hama.

Seorang petani sedang menyiangi Sawah dari sisi pematang di Bantul Yogyakarta (Dokumentasi Pribadi)
Seorang petani sedang menyiangi Sawah dari sisi pematang di Bantul Yogyakarta (Dokumentasi Pribadi)

Ketujuh, berpetak untuk pembagian area kepemilikan sawah. Di wilayah Manggarai, sawah sarang laba laba "Lingko' sangat dikenal. Bentuk sawah ini diperkenalkan oleh Raja Aleksander Baruk (1913-1945) dan ini dilakukan karena proses pembagian wilayah sawah oleh Ketua Adat "Tetuo Galo" yang melakukannya mulai dari titik tengah ke arah luar. Biasanya, kepala adat yang akan memilih terlebih dahulu wilayah garapannya. Barulah diikuti untuk warga. Sistem ini memang menentukan tetua adat mendapatkan tanah dahulu dan kemudian seperti 'dilotere' untuk warganya.  (Mongabay.com).

Sawah Lodo (Ebed de Rossari)
Sawah Lodo (Ebed de Rossari)
Kedelapan, petak dengan terasering. Di dataran tinggi, petak petak tanah yang dibuat pada prinsipnya memiliki fungsi yang sama dengan tanah sawah atau kebun pada permukaan tanah yang rata. Perbedaannya adalah pada adanya sengkedan atau terasering. Disebut terasering karen sistem bercocok tanam ini berteras. 

Menurut Sukartaatmadja (2004), terasering adalah bangunan konservasi tanah dan air yang secara mekanis dibuat untuk memperkecil kemiringan lereng atau mengurangi panjang lereng dengan cara menggali dan mengurug tanah melintang lereng. 

Tujuan terasering sendiri adalah untuk mencegah erosi tanah, menjaga meningkatkan kestabilan lereng, dan memperbanyak resapan air hujan ke dalam tanah. Selain itu, terasering mengurangi kecepatan air hujan masuk ke dalam tanah dan mempermudah perawatan lereng serta mengendalikan arah aliran air menuju ke daerah yang lebih rendah.

Baraka Enrekang, Sulawesi Selatan dengan Terasering Tadah Hujan (Dokumentasi Pribadi)
Baraka Enrekang, Sulawesi Selatan dengan Terasering Tadah Hujan (Dokumentasi Pribadi)
Pada kondisi tanah di dataran tinggi yang sebelumnya adalah hutan atau ditanami tanaman keras, konversi menjadi kebun sayur sering menyebabkan adanya kelongsoran tanah. Tingkat kelongsoran itu tergantung pada kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah, jenis bebatuan, dan penutupan lahannya.

Contoh dari kasus ini adalah wilayah Dieng yang meliputi kabupaten Purbalingga, Wonosobo, Batang, dan Pekalongan. Sebelumnya wilayah ini adalah hutan dengan pohon tinggi yang dibawahnya ditanami jagung. Namun, ketika Gunung Galunggung mengalami erupsi pada tahun 1980an, pasokan kentang dari Tasikmalaya dan sekitarnya menjadi terhenti. Karena kebutuhan nasional cukup mendesak, pemerintah melakukan eksplorasi wilayah yang sesuai untuk ditanami kentang. Pilihannya adalah Dieng. Untuk itulah para petani melakukan konversi ke tanaman kentang secara besar besaran.

Pada awalnya, petani merasa senang karena untuk 1 hektar tanah mereka mendapatkan penghasilan sekitar Rp 40 sampai 50 juta. Namun dalam beberapa waktu, petani merasakan dampaknya. Karena kentang hanya bisa hidup tanpa pohon di atasnya, banyak pohon dan hutan ditebang untuk kepentingan tanaman kentang. Sementara, penebangan menyebabkan tiadanya akar besar untuk menahan tanah dan air. Akibatnya, tanah menjadi lahan kritis. Penghasilan petanipun merosot. Tanah sering longsor. Biaya atas kerugian dan kehilangan tinggi.

Dieng yang rusak karena adopsi kebun kentang (Dokumentasi Pribadi)
Dieng yang rusak karena adopsi kebun kentang (Dokumentasi Pribadi)
Kesembilan, petak warna kecoklatan karena terbengkelai. Peta petak petak sawah yang penting juga untuk kita pahami adalah petak di masa pasca bencana Lombok. Lahan sawah dan kebun di wilayah Praya sempat terbengkelai selama hampir 5 bulan.  Ini menyebabkan petak petak yang biasanya indah itu menjadi kering dan gersang. Pasalnya, penyintas dari kalangan petani belum mengolah sawah dan kebunnya. Mereka masih merasakan trauma karena gempa masih terasa di bulan Desember 2018.  
Petak Gersang di Praya pada 5 bulan Pasca Gempa Lombok (Dokumentasi Pribadi)
Petak Gersang di Praya pada 5 bulan Pasca Gempa Lombok (Dokumentasi Pribadi)
Apa yang nampak indah dari atas atau dari udara dan menjadi obyek pemotretan sejatinya memiliki makna. Terdapat petak sawah dan kebun yang terjadi karena mengikuti sistem bertani yang telah membudaya dan berkelanjutan. Sementara, terdapat petak kebun yang dibangun karena tujuan pendapatan semata tanpa mempertimbangkan aspek ekologisnya, yang kemudian membawa potensi kerugian dan bencana. 

Apa yang dipresentasikan oleh petak petak sawah dan kebun kita saat ini adalah akumulasi dari proses dan budaya pembangunan sektor pertanian. Memang sektor pertanian Indonesia telah menjadi sumber ekonomi keluarga dan berkontribusi pada devisa negara dengan cara bertahan pada  kondisi lahan yang beragam. Untuk itu, membangun keterhubungan kebijakan pertanian yang mendorong kesejahteraan petani dan keberlanjutan sektor pertanian menjadi keniscayaan.  

Pustaka
Studi Litbang Pertanian; Alasan Sawah Berpetak; Mengenal Lahan Sawah Dan Memahami Multifungsinya Bagi Manusia Dan Lingkungan
Sistem Surjan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun