Keenam, sawah yang dibuat berpetak memudahkan petani untuk memantau tanamannya. Karena ukurannya yang kecil, lahan yang ada di petak lebih mudah untuk dipantau. Petani bisa berada di pematang atau bahkan ke tengah petak lahan kecil untuk memantau apakah terdapat tanaman yang rusak atau terkena hama.
Ketujuh, berpetak untuk pembagian area kepemilikan sawah. Di wilayah Manggarai, sawah sarang laba laba "Lingko' sangat dikenal. Bentuk sawah ini diperkenalkan oleh Raja Aleksander Baruk (1913-1945) dan ini dilakukan karena proses pembagian wilayah sawah oleh Ketua Adat "Tetuo Galo" yang melakukannya mulai dari titik tengah ke arah luar. Biasanya, kepala adat yang akan memilih terlebih dahulu wilayah garapannya. Barulah diikuti untuk warga. Sistem ini memang menentukan tetua adat mendapatkan tanah dahulu dan kemudian seperti 'dilotere' untuk warganya. Â (Mongabay.com).
Menurut Sukartaatmadja (2004), terasering adalah bangunan konservasi tanah dan air yang secara mekanis dibuat untuk memperkecil kemiringan lereng atau mengurangi panjang lereng dengan cara menggali dan mengurug tanah melintang lereng.Â
Tujuan terasering sendiri adalah untuk mencegah erosi tanah, menjaga meningkatkan kestabilan lereng, dan memperbanyak resapan air hujan ke dalam tanah. Selain itu, terasering mengurangi kecepatan air hujan masuk ke dalam tanah dan mempermudah perawatan lereng serta mengendalikan arah aliran air menuju ke daerah yang lebih rendah.
Contoh dari kasus ini adalah wilayah Dieng yang meliputi kabupaten Purbalingga, Wonosobo, Batang, dan Pekalongan. Sebelumnya wilayah ini adalah hutan dengan pohon tinggi yang dibawahnya ditanami jagung. Namun, ketika Gunung Galunggung mengalami erupsi pada tahun 1980an, pasokan kentang dari Tasikmalaya dan sekitarnya menjadi terhenti. Karena kebutuhan nasional cukup mendesak, pemerintah melakukan eksplorasi wilayah yang sesuai untuk ditanami kentang. Pilihannya adalah Dieng. Untuk itulah para petani melakukan konversi ke tanaman kentang secara besar besaran.
Pada awalnya, petani merasa senang karena untuk 1 hektar tanah mereka mendapatkan penghasilan sekitar Rp 40 sampai 50 juta. Namun dalam beberapa waktu, petani merasakan dampaknya. Karena kentang hanya bisa hidup tanpa pohon di atasnya, banyak pohon dan hutan ditebang untuk kepentingan tanaman kentang. Sementara, penebangan menyebabkan tiadanya akar besar untuk menahan tanah dan air. Akibatnya, tanah menjadi lahan kritis. Penghasilan petanipun merosot. Tanah sering longsor. Biaya atas kerugian dan kehilangan tinggi.
Apa yang dipresentasikan oleh petak petak sawah dan kebun kita saat ini adalah akumulasi dari proses dan budaya pembangunan sektor pertanian. Memang sektor pertanian Indonesia telah menjadi sumber ekonomi keluarga dan berkontribusi pada devisa negara dengan cara bertahan pada  kondisi lahan yang beragam. Untuk itu, membangun keterhubungan kebijakan pertanian yang mendorong kesejahteraan petani dan keberlanjutan sektor pertanian menjadi keniscayaan. Â
Pustaka
Studi Litbang Pertanian; Alasan Sawah Berpetak; Mengenal Lahan Sawah Dan Memahami Multifungsinya Bagi Manusia Dan Lingkungan
Sistem Surjan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H