Setelah seharian bekerja di depan laptop untuk suatu pekerjaan yang harus saya kirim melalui email siang ini, saya membaca beberapa berita. Saya terusik oleh berita tentang kekuatiran negara negara di dunia atas masih adanya junta militer di tengah proses perjuangan demokrasi yang juga tidak mudah. Hal ini sedikit terlewat dari perhatian kita karena kita sudah dibuat sibuk membincang hingar bingarnya politik dalam negeri jelang Pilpres. Mulai dari visi misi dan debat capres dan cawapres sampai soal salah kata dan tertukarnya doa. Setiap hari selalu ada topik baru dari arus deras media sosial.Â
Sementara itu di Thailand, ada berita menarik. Ubolratana Rajakanya Sirivadhana Varnavadi, kakak perempuan Raja  Thailand atau putri tertua dari mendiang King Bhumibol Adulyadej mengumumkan perlawanannya pada junta militer yang telah berkuasa selama 5 tahun melalui suatu kudeta di 2015. Perlawanan Ubolratana pada junta militer ini ia sampaikan melalui keinginannya untuk turut serta dalam Pemilu yang akan diadakan pada 24 Maret yang akan datang. Hal ini disanggah oleh kakaknya, sang raja Thailand, King Vajiralongkorn, yang diduga sebelumnya sempat memberi dukungan. Ini suatu politik dalam keluarga yang menarik.Â
Sang raja yang saat ini berkuasa mengatakan bahwa keterlibatan anggota kerajaan dalam dunia politik adalah melawan tradisi. Penolakan oleh Raja Thailand akan menghentikan keinginan saudara perempuannya bermain di politik dan membuatnya didiskualifikasi oleh Komisi Pemilu. Selama ini, calon perdana menteri yang diunggulkan dalam pemilu yang tertunda lama adalah adalah Prayut Chan-o-cha, pemimpin kudeta militer pada 2014.
Ubolratana mengatakan bahwa sejak ia mengundurkan dari status sebagai putri raja, ia hidup sebagai orang biasa bersama masyarakat umum. Ia mengatakan keinginannya turut serta dalam pemilu karena hendak melakukan haknya sebagai warga negara yang dilidungi oleh konstitusi. Tekad Ubolratana untuk turut Pemilu pada Maret ini merupakan satu bentuk dari perlawanan perempuan kepada melawan kekuasaan Junta militer.
Ia mengkritisi pemerintahan militer yang menuliskan aturan yang ada pada konstitui tanpa ada akuntabilitas yang kuat melalui pengecekan dari lembaga lembaga demokrasi.Â
Ia juga mengalami penahanan oleh pihak militer sebanyak tiga kali karena ia bekerja untuk isu hak asasi manusia bagi orang orang yang membutuhkan pembelaannya. Pada maret 2018 ia menerima penghargaan dari Melania Trump atas keberaniannya bekerja untuk isu hak asasi manusia.
Junta militer atau diktator militer adalah bentuk pemerintahan yang menggunakan kekuatan militer atau mengunakan militer dalam menjalankan otoritas politiknya. JUnta militer bisa dijalan oleh kekuasaan militer ataupun kemitraan antara sipil dan militer. Hal ini sering menjadi area abu abu, karena terdapat negara yang tidak mengakui bahwa ia adalah menggunakan junta militer dalam pengambilan keputusan politik dan kenegaraannya, tetapi pegaruh militer dalam peerintahan sipilnya kuat. Tentu hal semacam ini ada pula ada masa masa pemerintahan Orde Baru kita. Dan romantisme pada kekuasaan dan 'kestabilan' Orde Baru yang 'dibantu' atau 'didukung' meliter kitapun sering mendengarnya.Â
Namun, kadang kadang alasan menyelamatkan negara dari korupnya kelompok sipil dipakai untuk pembenaran adanya kekuasaan junta militer. Diktator militer ini biasanya disebut khakistocracy dengan khaki atau hijau mudah yang dipakai sebagai kamoflase penggunaan warna hijau militer sebagai seragam kerja.