Kasus kelompok Rohingya, yang merupakan kelom[ok muslim terbesar di Myanmar dengan jumlah keseluruhannya adalah sekitar 1 juta orang memang tak dikelola dengan baik di negerinya. Pemerintah Myanmar selama ini tidak mengakui keberadaan Rohingya sebagai warga negara.  Bahkan Rohingya  tidak diperbolehkan mengikuti pemilu pada tajun 2014.Â
Mereka akhirnya menjad imigran gelap di beberapa negara tetangganya, termasuk Bangladesh, Malaysia dan Indonesia. Ini adalah kekuasaan semua Sukyi yang menyedihkan, bukan hanya bagi kelompok minoritas Rohingya, tetapi juga bagi demokrasi Myanmar.Â
Libya saat ini pecah menjadi dua. Libya bagian Timur dengan dukungan dari PBB berbasis di Tripoli. Bagian ini dipimpin oleh Sarraj. Sementara itu, bagian lainnya berbasi di Tobruk, dipimpin pleh Haftar yang berlatar belakang militer. Di Libya, kebebasan berbicara tak diijinkan. Kelompok militer mengejar jurnalis yang menulis dengan kritik dan juga melarang keras kelompok minoritas seperti homoseksual.Â
Di Pakistan, walau saat ini merupakan negara demokrasi, namun kemungkinan akan berubah. Pemeintahan di Pakistan selalu berganti ganti antara demokratis dan junta militer. Presiden Pakistan Arif Alvi bukanlah seorang militer. Namun mudah sekali militer melakukan kudeta.
Pengalaman pemerintah diktator dalam kekuasaan Perves Musharraf menunjukkan bahwa begitu mudah pemerintahannya melakukan hal hal agresif dan melanggar hak asasi manusia.
Di Sudan merupakan negara yang paling lama dan bermasalah dengan kekuasaan dictator. Sejak 2003, pemerintah sering melakukan tindakan tindakan brutal kepada warganya. Dengan presidennya al-Bashir, negara memperlakukan warga dengan tekanan tekanan.
Lima tahun setelah kudeta miliyer di Mesir pada Juli 2013 atas pemerintahan presiden  Mohamed Mursi, pemerintah diktator militer yang dipimpin Abdel Fatah al-Sisi makin intensif dengan perlawanannya pada terorisme.Â
Bertahannya dan bangkitnya junta militer ataupun kekuasaan militer ataupun dipraktekkannya nilai nilai militerisme  yang mengontrol politik dan sosial warga dalam bentuk dan alasan apapun tentu akan mengancam demokrasi. Terdapat beberapa alasan, antara lain alasan keamanan negara dan alasan situasi darurat atau emerjensi, yang kemudian menjadi legitimasi adanya kekuasaan militer.Â
Konsitusi yang modern tidak memasukkan aspek situasi emerjensi atau darurat di dalamnya. Namun, pada level perundang undangan hal ini sering ditemui. Aturan aturan tambahan terkait situasi emerjensi biasanya ‘dihidupkan’ ketika terdapat situasi yang dianggap mengancam kondisi negara. Di Inggris, misalnya terdapat Defense Against Terrorism acts dan di Amerika terdapat the PATRIOT Act.16 yang dapat berfungsi pada periode tertentu, ketika dibutuhkan. Beberapa perundangan anti terorisme diberlakukan di Jerman dan di Itali pada tahun 1980an.Â
Keberadaan junta militer di beberapa wilayah negara di dunia ini tentu menjadikan banyak negara demokrasi khawatir. Negara sedemokratis Brazil dan telah menyelesaikan pemilunya pada 2018 pun telah menjadi negara yang dikontrol oleh militer.Â
https://nacla.org/article/women-and-democracy-home-and-country
https://foreignpolicy.com/2015/07/02/burmas-women-are-still-fighting-for-their-rights-myanmar/