Berita meninggalnya Kayla, seekor orca, hiu pembunuh di SeaWorld Orlanda Senin tanggal 28 Januari 2019 kemarin membuat kita berduka. Kayla yang berumur 30 tahun diberitakan sakit mendadak. Belum ada informasi penyebab kematian Kayla. Berita ini menjadi 'headline' beberapa media terkenal di Amerika. Saat ini masih ada 20 ekor orca yang tersebar di 5 SeaWorld, 5 di antaranya ada di Orlando, 5 ekor di San Antonio dan 10 di San Diego.  Dan kondisi orca yang lainpun lalu dipertanyakan publik.Â
Bukannya saya senang, saya malah sedih. Pasalnya, kosmetik bedak putih yang dipakai untuk mendandani gajah itu adalah cat tembok. Iya sih, memakaikan bedak merek Viva ke tubuh gajah yang tinggi kali besar kali lebar ini pasti memakan biaya. Tetapi, tahu kan, cat tembok terbuat dari apa?Â
Ketika sang gajah putih siap dengan riasannya, saya lihat ia juga dipasangi gading tambahan, karena gading aslinya tidak terlalu panjang. Jadilah, gajah yang semula abu abu dan bergading pendek kini berubah menjadi gajah bule  mendekati 'pink' (bukan putih) dengan gading panjang. Gajah yang semestinya putih itu bernama Airaavatha dan menjadi tunggangan Batara Indra telah siap.. Dalam cerita Baghavan Gita, memang Airaavatha berkepala lima dan bergading sepuluh.Â
Karena sesuatu hal yang saya tidak pahami, tetapi saya duga karena sakit, pihak penyelenggara sirkus menghubungi almarhum kakek saya, drh Soepartigno di Semarang, yang kebetulan seorang dokter hewan. Saya ingat berita tentang kematian Fanny yang tidak terlalu lama terjadi setelah peristiwa itu. Ada rasa sedih mengingatnya.Â
Memang, penonton dibuat terheran-heran dan kagum bahwa binatang liar yang seharusnya ada di hutan dan lautan, pada saat di arena panggung akan mengikuti perintah instruktur untuk melakukan aksi aksi menarik. Namun di balik itu, banyak laporan yang membuka potret menyedihkan.
Berita soal adanya kekerasan dan bisa dikatakan sebagai penyiksaan binatang sirkus dan panggung telah kita dengar. Gajah yang harus disengat tongkat listrik untuk mau melakukan gerakan gerakan tertentu yang diulang ulang. Walaupun tongkat listrik itu bertegangan rendah, tetapi tentu mengagetkan dan juga menyakitkan.Â
Persoalan transportasi hewan tontonan ini juga sering kita dengar buruk. Saya membaca bahwa ditemukan beberapa kali lumba lumba dibawa dengan truk tanpa air. Mereka hanya diberi air yang diperas dari spons oleh petugas, yang mungkin tidak paham kehidupan lumba lumba dan bukan pula seorang pawang. Â Bayangkan bagaimana pengirimannya, bila hendak menekan biaya. Apalagi manusia membawa ikan lumba lumba itu sampai ke mal mal di Indonesia. Dan ini bukan hanya ada di Jakarta.Â
Di halaman mal dan supermarket di Yogya dan Cirebon, tontonan sirkus lumba-umba masih ada. Bahkan di kota sekelas Depok saja ada tontonan sirkus lumba-lumba masih dihadirkan pada akhir tahun 2018. Ini ironis. Padahal, di tahun 2013, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui surat keputusan Dirjen PHKA Nomor 5 297/IV-KKH/2013 sudah melarang sirkus keliling. Â Semestinya surat ini ditujukan untuk mengawasi dan menarik satwa yang ketahuan masih dijadikan binatang sirkus keliling di wilayah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DIY ke Lembaga Konservasi. Tetapi seperti diberitakan kumparan.com, pertunjukan sirkus lumba-lumba yang diadakan di Depok oleh saat ini digelar di Depok malah mendapat ijin dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan KLHK untuk izin konservasi dan penyelenggaraan.