Di antara penduduk dusun Batu Jong yang berjumlah 160 orang dan terdiri dari 55 keluarga, dilaporkan hanya terdapat 3 orang ( 1 perempuan dan 2 laki-laki) yang menempuh pendidikan sampai jenjang S1. Sementara 2 orang laki-laki tamat SMU, sisanya tamat SMP dan SD. 70% perempuan di dusun ini buta huruf. Â
Persoalan di Lombok pada akhir akhir ini perlu kita pahami konteknys. Lombok alami serangkaian gempa yang berkekuatan di atas 6 sampai 7 skala richter sejak akhir Juli 2018. Karena alasan politis, bencana gempa Lombok tidak dianggap sebagai bencana nasional. Ini merupakan ganjalan. Pasalnya, setelah masa Pilkada serentak selesai, transisi pemerintahan di provinsi NTB dan di kabupaten Lombok Timur serta di banyak desa baru berjalan di bulan September 2018. Ini menjadi persoalan serius karena masa rekonstruksi pasca bencana tidak bisa menunggu. Kemandegan seakan terjadi.Â
Saat itu, keluhan dan teriakan kami menjadi percuma. Kami bergerak sendiri bersama kawan kawan Gema Alam NTB untuk membantu masyarakat penyintas yang paling terdampak di wialayah Lombok Timur.
Batu Jong hanyalah satu dari begitu banyak contoh bahwa situasi pendidikan tidaklah seindah seperti yang kita lihat di Jakarta atau di Jawa. Dengan pesawat terbang, Lombok hanyalah 2 jam dari Jakarta Tetapi isu kesenjangan terkait pendidikan, kesehatan dan ekonomi adalah luar biasa.
Menengok bahwa pendidikan sudah mulai ada di peradaban manusia sejak 3100 sebelum masehi di Mesir dan Babylonia, ketertinggalan yang ada di berbagai wilayah dunia menjadikan suatu ironi.Â
Memang, turun naiknya perkembangan pendidikan di peradaban dunia juga dicatat oleh sejarah. Pada mulanya, perempuan, orang miskin, apalagi orang dengan berkebutuhan khusus tidak ada di bangku sekolah.Â
Perlu waktu sangat panjang untuk menuju pada situasi sekarang. Walaupun, situasi seperti di Batu Jong dan situasi yang lebih buruk juga masih ditemui di belahan dunia kita.
Kalau kita lihat sejarah perkembangan pendidikan, masa Mesir dan Babylonia bisa dikatakan sebagai pionir dalam hal pendidikan.  Suatu institusi pendidikan mulai didirikan di sini karena kehidupan sehari hari dianggap tidak dapat mengajarkan ketrampilan membaca dan menulis. Untuk itu, seorang guru ditugaskan untuk mengajar. Sistem belajar menekankan pada pentingnya mengingat.  Sementara, motivasi diberikan melalui kedisiplinan dan latihan fisik yang cukup keras. Pada masa itu perempuan tidak sekolah. Peran mereka lebih sebagai istri, ibu dan pengurus rumah tangga.
Di Timur Tengah, kaum Yahudi dari berbagai lapisan sosial telah memikirkan secara serius pendidikan anak anaknya. Anak umur 6 sampai dengan 13 tahun diajarkan baca tulis berhitung. Juga, belajar membaca 5 buku perjanjian lama. Anak berumur 13 yang pintar dapat menjadi rabbi atau guru.
Memasuki masa Yunani Kuno, tujuan pendidikan lebih ditujukan untuk mempersiapkan anak pada kegiatan orang dewassa. Pendidikan adalah mempersiapkan menjadi  warga Negara. Untuk itu latihan milter menjadi pendidikan utama, baik untuk menghadapi kondisi damai maupun perang. Anak anak telah meninggalkan rumah pada usia 7 tahun untuk belajar menjalani latihan fisik yang berat.