Selamat Hari Internasional Pendidikan !
Ucapan ini saya tujukan kepada para murid, guru serta orang tua, para pendahulu yang membangun sistem pendidikan dan mereka yang saat ini masih bergiat di dunia pendidikan. Saya pernah menjadi guru selama lebih dari sepuluh tahun, dan saya merasa memiliki kewajiban untuk melihat kembali perjalanan panjang bidang pendidikan dalam peradaban kita.Â
24 Januari 2019 adalah peringatan Hari Pendidikan Internasional yang pertama. Pada hari ini kita merayakan pendidikan sebagai bagian dari upaya perdamaian dan pembangunan dunia.Â
Peringatan ini hendak pula menekankan bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia, merupakan barang publik (artinya bukan barang ekonomi yang harus bayar) dan pendidikan merupakan tanggung jawab publik.Â
Pada akhirnya, pendidikan berkualitas adalah untuk semua dan dipercaya bahwa pendidikan akan memotong rantai kemiskinan.
Ini mandat publik yang luar biasa. Dan tentu tidak mudah bagi kita semua. Kenyataan tentang data 2017 masih menunjukan bahwa sekitar 262 juta anak dan remaja di dunia tidak sekolah, dan 617 juta anak dan remaja tidak bisa membaca.Â
Kurang dari 40% anak perempuan di Sub-Saharan Afrika hanya menyelesaikan pendidikan dasar. Empat juta anak anak tidak sekolah. Artinya, janji kita tak terpenuhi. Artinya, hak untuk mendapatkan pendidikan dilanggar.
Realitas di tingkat global ini mengingatkan saya pada situasi di pengungsian akibat gempa beruntun yang terjadi di Lombok Timur akhir akhir ini.
Pada 2 September 2018 saya berniat menengok kawan karib saya, Zicko, Ketua Gema Alam NTB yang sejak peristiwa gempa Lombok pada tanggal 29 Juli 2018 telah mendampingi penyintas.Â
Kawan kawan melakukan dengan segenap tenaga yang mereka miliki dan tanpa dukungan dana dari pihak lembaga manapun. Pada tanggal 2 September 2018 itu, kami sempatkan untuk berkunjung ke 5 titik paling terdampak dan bertemu dengan penyintas.Â
Situasi di lapang membuat saya tidak bisa tidur. Ini situasi yang serius. Karena kurangnya dukungan para pihak kepada para penyintas gempa di Lombok Timur, membuat saya perlu tinggal cukup lama dan bolak balik ke Lombok Timur sampai dengan Desember 2018. Saya harus meninggalkan keluarga untuk lakukan ini.
Satu dari lokasi terdampak yang mengganggu perasaan saya adalah dusun Batu Jong yang berada di desa Beluk Petung, Kecamatan Sembalun. SD Filial Beluk Pitung yang ada di dusun Batu Jong hancur.Â
Padahal ini satu satunya sekolah yang ada di dusun itu. Murid murid yang berjumlah 19 orang anak, yang terdiri dari murid kelas 2, kelas 4, kelas 5, dan kelas 6 belajar bersama di sekolah darurat yang beratapkan terpal tua dan berdiding gedeg. Dan, sekolah darurat ini masih juga ‘dititipi’ 3 orang anak dari pendidikan anak usia dini (PAUD). Ibu Mus seorang diri mengajar semua murid itu secara paralel di satu bilik sekolah darurat itu.
Praktis, sejak gempa hingga saat ini hanya Ibu Mus yang mengajar. Cara belajarpun disiasati. Pada jam pertama, Ibu Mus menerangkan pelajaran untuk murid kelas 5 dan 6.Â
Pada saat yang bersamaan, murid kelas 2 dan 4 diberikan catatan. Dan, begitu selanjutnya. Bergilir. Atas jasanya ini, Ibu Mus memperoleh insentif sebesar Rp. 550.000 per 3 bulan.
Menurut penuturan Ibu Mus, kepala sekolahnya tidak pernah datang ke SD Filial Batu Jong. Sejak gempa, kepala sekolah datang hanya sekali, yaitu setelah gempa kedua pada tanggal 5 Agustus 2018.Â
Sebenarnya, pihak sekolah memiliki rencana untuk merehabilitasi bangunan sekolah yang hancur, tapi belum dapat direalisasikan karena belum adanya kesepakatan terkait ongkos tukang. Keputusan keputusan untuk membangun sekolah harus menunggu kehadiran kepala sekolah.
Persoalan kesimpangsiuran rencana pembangunan kembali sekolah tersebut membuat kami sebagai relawan hanya bisa memberikan layanan kesehatan masyarakat melalui mobilisasi dokter relawan selama 3 bulan ini.Â
Alhasil, murid murid yang sebelumnya bersekolah di bangunan sekolah darurat, untuk sementara berpindah ke hunian sementara (Huntara) ibu Mus, sang guru, yang pembangunannya kami dukung. Pasalnya, murid mengeluh kepanasan berada di bawah terpal. Jam 10.00 murid murid sudah gelisah dan tidak betah belajar. Juga, pada saat hujan, air masuk ke ruang kelas melalui terpal tua yang tidak dapat menahan air hujan. Buku buku basah rusak.Â
Pada awal Januari 2019 disepakati bahwa dana yang telah kami galang untuk membangun sekolah sementara akan digunakan untuk berkontribusi dalam pembangunan sekolah permanen. Kami berharap pembangunan sekolah akan dimulai pada bulan Januari ini. Hujan besar yang melanda dusun ini telah membuat pembangunan tidak bisa dimulai. Rasanya ini tidak bisa ditunda lagi. Hampir setengah tahun sejak gempa pertama 29 Juli 2018 dan murid murid masih belajar di tempat yang tidal layak.Â
Bila kita tanya pejabat pemerintah kabupaten Lombok Timur, tidak banyak mereka yang mengenal Batu Jong. Daerah ini hanya sekitar 42 km jaraknya dari ibu kota kecamatan di Sembalun atau ditempuh selama 1 jam perjalanan dengan mobil. Namun akses jalan yang terbatas dan elevasi dataran dusun yang terjal membuat dusun ini terpencil.
Di antara penduduk dusun Batu Jong yang berjumlah 160 orang dan terdiri dari 55 keluarga, dilaporkan hanya terdapat 3 orang ( 1 perempuan dan 2 laki-laki) yang menempuh pendidikan sampai jenjang S1. Sementara 2 orang laki-laki tamat SMU, sisanya tamat SMP dan SD. 70% perempuan di dusun ini buta huruf. Â
Persoalan di Lombok pada akhir akhir ini perlu kita pahami konteknys. Lombok alami serangkaian gempa yang berkekuatan di atas 6 sampai 7 skala richter sejak akhir Juli 2018. Karena alasan politis, bencana gempa Lombok tidak dianggap sebagai bencana nasional. Ini merupakan ganjalan. Pasalnya, setelah masa Pilkada serentak selesai, transisi pemerintahan di provinsi NTB dan di kabupaten Lombok Timur serta di banyak desa baru berjalan di bulan September 2018. Ini menjadi persoalan serius karena masa rekonstruksi pasca bencana tidak bisa menunggu. Kemandegan seakan terjadi.Â
Saat itu, keluhan dan teriakan kami menjadi percuma. Kami bergerak sendiri bersama kawan kawan Gema Alam NTB untuk membantu masyarakat penyintas yang paling terdampak di wialayah Lombok Timur.
Batu Jong hanyalah satu dari begitu banyak contoh bahwa situasi pendidikan tidaklah seindah seperti yang kita lihat di Jakarta atau di Jawa. Dengan pesawat terbang, Lombok hanyalah 2 jam dari Jakarta Tetapi isu kesenjangan terkait pendidikan, kesehatan dan ekonomi adalah luar biasa.
Menengok bahwa pendidikan sudah mulai ada di peradaban manusia sejak 3100 sebelum masehi di Mesir dan Babylonia, ketertinggalan yang ada di berbagai wilayah dunia menjadikan suatu ironi.Â
Memang, turun naiknya perkembangan pendidikan di peradaban dunia juga dicatat oleh sejarah. Pada mulanya, perempuan, orang miskin, apalagi orang dengan berkebutuhan khusus tidak ada di bangku sekolah.Â
Perlu waktu sangat panjang untuk menuju pada situasi sekarang. Walaupun, situasi seperti di Batu Jong dan situasi yang lebih buruk juga masih ditemui di belahan dunia kita.
Kalau kita lihat sejarah perkembangan pendidikan, masa Mesir dan Babylonia bisa dikatakan sebagai pionir dalam hal pendidikan.  Suatu institusi pendidikan mulai didirikan di sini karena kehidupan sehari hari dianggap tidak dapat mengajarkan ketrampilan membaca dan menulis. Untuk itu, seorang guru ditugaskan untuk mengajar. Sistem belajar menekankan pada pentingnya mengingat.  Sementara, motivasi diberikan melalui kedisiplinan dan latihan fisik yang cukup keras. Pada masa itu perempuan tidak sekolah. Peran mereka lebih sebagai istri, ibu dan pengurus rumah tangga.
Di Timur Tengah, kaum Yahudi dari berbagai lapisan sosial telah memikirkan secara serius pendidikan anak anaknya. Anak umur 6 sampai dengan 13 tahun diajarkan baca tulis berhitung. Juga, belajar membaca 5 buku perjanjian lama. Anak berumur 13 yang pintar dapat menjadi rabbi atau guru.
Memasuki masa Yunani Kuno, tujuan pendidikan lebih ditujukan untuk mempersiapkan anak pada kegiatan orang dewassa. Pendidikan adalah mempersiapkan menjadi  warga Negara. Untuk itu latihan milter menjadi pendidikan utama, baik untuk menghadapi kondisi damai maupun perang. Anak anak telah meninggalkan rumah pada usia 7 tahun untuk belajar menjalani latihan fisik yang berat.
Selanjutnya, sistem pendidikan dengan sistem kelas mulai diperkenalkan pada abad 1 sesudah masehi, dan ini diterapkan di seluruh kerajaan Roma sampai dengan kejatuhannya di abad 5 sesudah masehi. Perbedaan pendidikan Yunani Kuno dengan Roma Kuno adalah pada ketrampilan berbicara sebagai orator yang diterapkan di Roma. Sistem pendidikan untuk menghasilkan orator ini ditiru sistem pendidikan di Eropa. Bahasa latin dan ketrampilan menulis buku juga berkembang sampai abad 12.
Di Timur Tengah, pengaruh pendidikan Yunani dan Romawi diteruskan di masa Binzantium pada abad 5 sampai abad 7 sesudah masehi. Lahirnya pemikir dan filosofer Plato dan Aristoteles besar pada masa ini. Pada abad 6, terjadi persaingan antara sekolah dengan pengaruh Kristen dengan sekolah  berbasis filosofi timur. Bisa dipahami bahwa Pada abad 12, literasi di wilayah ini lebih maju daripada apa yang ada di dunia barat. Pendidikan dasar dan menengah juga pendidikan tinggi sudah dibangun masyarakat pada wilayah ini. Kekuasaan Konstatinopel memberi pengaruh pada ilia patriarkhi pada pendidikan di masa ini.
Memasuki abad pertengahan, kekuasaan Jerman ke dunia barat merusak budaya kuno. Pada abad 5 ini, peradaban Eropa kembali jaman primitif dan barbarian. Pendidikan dilakukan gereja dengan sangat terbatas. Eropa Barat lah yang menjalankan sekolah dari kalangan gereja dan monarki. Murid diajarkan untuk menjadi juru tulis. Berbeda dengan pendidikan Yunandi dan Roma yang mengajarkan pendidikan untuk hidup, pendidikan gereja lebih mengajarkan soal hidup setelah mati. Bahasa Latin diajarkan agar murid bisa mencontoh dan mempertahankan apa yang tertulis dalam ajaran agama. Murid diajarkan matematik agar mereka bisa menghitung tanggal tanggal peringatan keagamaan. Sementara pelajaran menyanyi diberikan agar murid bisa berpastisipasi dalam pelayanan di gereja. Pada masa ini, gereja meletakan pendidikan jasmani untuk bisa hadir di kelas hingga musim dingin. Karena terbatasnya guru dan ruang kelas, murid murid mulai dari usia 6 sampai dengan 16 tahun dan sering berbagi bangku. Usia 7 tahun menjadi bagian dari dunia orang dewasa. Barulah pada abad 18, masa kanak kanak dikenal dalam pendidian. Â Dan baru pada abad 20, masa kanak kanak dipahami.
Pada masa ini, konten pendidikan Yunani diadaptasi sesuai dengan budaya yang ada. Jadi, mata pelajaran yang tradisional memasukkan asumsi asumsi dan perspektif keagamaan. Pendidikan astronomi bergeser ke astrologi. Aritmetik berisi arti arti mistik. Ini tentu merupakan kemunduran. Walau dalam jumlah yang sedikit, murid perempuan mulai masuk sekolah pada abad 12 ini. Â Kapel dan gereja mendidik perempuan menjadi biarawati. Untuk yang berasal dari kalangan terhormat dan berada, mereka masuk ke Notre Dame de Paris untuk belajar teologi dan fisolofi Perancis. Pada masa itu, pengaruh gereja dianggap tidak mendukung pendidikan. Perpustakaan, misalnya, hanya berisi 100 buku.
Pendidikan di masa barbarian ini berhenti dan digantikan pendidikan yang menghasilkan laki laki pintar dan cakap. Kelompok muda aristokrat belajar tentang membaca puisi, musik, menari dan berperang. Anak laki laki dapat belajar menjadi tukang kayu melalui pemagangan.
Sangatlah antusias meilhat masa Renaissance yang dimulai di Itali pada abad 14. Nilai nila pembaruan juga merasuki dunia pendidikan. Renaissance yang kemudian menyebar ke Eropa Utara pada abad 15 dan 16 ini  merombak ketertinggalan dan sempitnya cara berpikir pada masa abad pertengahan. Pelajaran tentang literatur Yunani kembali dilakukan. Memang, pendidikan humanis yang bebas masih seperti  pada masa sebelumnya. Perbedannya, pendidikan sejarah dan olah raga menjadi bagian dari pendidikan di sekolah.
Pada masa ini astronomi masuk kembali ke pendidikan, menggeser astrologi. Renaissance juga mengajarkan tentang pembelajaran menyenangkan dan menarik. Pada masa itu, sekolah yang mendekati spirit Renaissance adalah Sekolah Casa Giocosa yang didirikan oleh Vittorino da Feltre pada 1423. Saat itu, sejarah, filosofi, aritmetik, geometrik, musik dan astronomi menjadi mata pelajaran. Â
Pada masa ini, kurikulum Yunani dan Roma memegang peran besar. Pengaruh Renaissance lebih terjadi pada pendidikan menengah, sementara pendidikan dasar masih mengikuti pendidikan masa abad pertengahan.
Reformasi terjadi mulai abad 16. Pada masa itu konflik agama mempengaruhi kurikulum pendidikan yang bersifat yang ada. Pengaruh pendidikan  Prostestan terjadi dengan penekanan pada pendidikan universal. Saat itu, sekolah  didirikan di Jerman. Yang menarik, masa ini adalah masa dimana  murid dari keluarga tidak mampu bisa pula mengecap pendidikan barat. Pada era ini, pendidikan menekankan pada materi bahasa Yunani dan Latin.
Eropa pada masa abad 17 dan 18 merupakan masa kelabu pendidikan. Â Kedisiplinan ditegakkan, tetapi guru banyak yang tidak kompeten. Materi pelajaran ditekankan pada bagaimana menghapal kata dan kalimat, sementara murid pada umumnya tidak memahaminya. Banyak guru bahkan tidak bersekolah. Namun demikian, terdapat kontribusi penting dari era ini dalam hal melahirkan ahli pendidikan dan filosofi.
Pada era abad 16 inilah pendidikan anak masuk dalam sistem. Teori tentang ' 'Orbis Pictus' yang diperkenalkan Comenius, melalui adanya ilustrasi pada buku anak anak. Bahkan, pengaruh Comenius yang penting ini bukan hanya menjadikan ia sebagai reformis dalam bidang pendidikan tetapi juga pada buku pelajaran berilustrasi dan buku cerita dongeng anak. Tentu saja, ada yang pro dan kontra di antara orang tua. Buku bukunya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dipakai selama 200 tahun.
Adalah Jean-Jacques Rousseau (1712-78) yang mempelopori adanya pendidikan untuk anak. Ia membagi pendidikan dari usia 2 sampai 12 tahun untuk baca, tulis dan berhitung, lalu pendidikan untuk usia antara 12 sampai 15 tahun, dengan memberikan sains dan geografi. Sayangnya, setelah Rousseau meninggal. Pendidikan kembali ke sistem kontrol yang ketat.
Khusus di Amerika, pendidikan kolonis bermula di New England pada abad 17. Murid yang masuk ke sekolah adalah anak orang kaya. Anak dari keluarga miskin tidak bersekolah. Harvard College, yang dibuka pada 1636 punya misi mencetak lulusan pendidikan latin. Pendidikan humanis dan buku yang dipakai di Eropa juga dipakai di Amerika, termasuk buku Orbis Pictus. Â Pada massa itu, buku 'The New England Primer' adalah kontribusi Amerika pada bidang pendidikan. Buku buku ini dipakai sampai abad 19. Pendidikan masa ini dipengaruhi dengan agama yang ada, Protestan dan Puritan. Pada abad 18, dalam semangat menyebarkan sains, komersialisasi dan sekuler, pendidikan koloni menjawab kebutunan pedagang dan seniman. Hal ini bersaing dengan pendidikan yang berorintasi pada agama. Sebagai contoh, sekolah yang didirikan oleh Benjamin Franklin pada 1751 adalah sekolah yang pertama dan bersaing dengan sekolah latin. Situasi revolusi di Amerika membuat sejarah Amerika dan geografi muncul dalam pendidikan.
Pada era ini, Eropa mengembangkan sistem pendidikan nasionalnya. Buku yang menjadi bacaan wajib adalah Charles Dickens. Sayangnya, pada masa itu, guru yang baik sulit ditemukan karena posisi sebagai guru dianggap sebagai pilihan terakhir.
Pada masa inilah, lahir pula sekolah taman kanak kanak (TK) yang diperkenalkan oleh Friedrich Wilhelm Froebel (1782-1852). Sekolah ini memberi ruang kepada anak anak untuk lebih banyak bermain.Â
Memasuki masa Millennium (untuk mereka yang lahir pada 1981 sampai 1999) pendidikan dicirikan dengan pendidikan dan pembelajaran global. Teknologi memegang peran besar. Tidak ada pendidikan bila tidak ada teknologi di abad millennium. Demikan banyak orang berkata. Mesin ketika menjadi barang antik. Mereka mengenal alat detector metal. Fasilitas computer dan alat komunikasi membuat murid bisa mencatat dan mengerjakan tugas dengan computer dan mengkomunikasikannya dengan mudah dengan para pengajar. Penggunaan media ‘online’ menjadi kebutuhan. Teknologi ada di ruang kelas, dan menghubungkan dengan berbagai sumber pengetahuan yang ada di seluruh dunia. Inilah Generasi Y.
Secara bersamaan, terdapat kesempatan dan kesenjangan di antara anak, orang tua serta guru dalam hal pendidikan di era ini. Mereka menggunakan media dan ‘bahasa’ yang berbeda. Media media seperti website, WA group, dan media sosial dianggap menjadi jembatan atas kesenjangan itu. Pendidikan internasional menjadi ciri pendidikan pada era ini. Pada masa ini media sosial mulai menjamur. Pada saat yang sama, era ini dianggap era yang  menyedot kocek orang tua, karea biaya pendidikan meningkat sejak 1980. Mahalnya buku pelajaran di era ini menjadikan buku elektronik menjadi populer dan merupakan kebutuhan.  Generasi ini menarik karea terdapat keragaman budaya dan ras yang menjadikan mereka sangat dinamis.  Juga dinilai mereka tidak serelijius generasi sebelumnya.
Dan, kita memasuki era pasca Millenium, atau sering disebut sebagai era Generasi Z. Generasi ini mencakup generasi yang lahir setelah 1995 sampai 2009. Dalam cakupan pendidikan, generasi ini saat ini berusia antar 6 sampai 21 tahun. Mereka pada umumnya memiliki orang tua yang lebih berpendidikan dibandingkan dengan era generasi sebelumnya. Mereka juga disebut generasi ‘digital native’ karena mereka lahir pada saat teknologi digital ada. Generasi ini lahir ketika akses adalah serba mudah. Karenanya, terdapat kecenderungan bahwa generasi ini mencari pengetahuan sendiri melalui ‘gadget’nya. Bukan berarti mereka tidak merasa perlu pendidikan formal lanjutan.Â
Sebagian dari anak yang terlahir pada era ini dengan mudah memikirkan lapangan kerja setelah lulus sekolah. Oleh karenanya, ciri dari generasi yang sangat akrab dengan wirausaha ini menjadi nyata. Oleh karenanya, pendekatan magang adalah pilihan populer. Â
Suatu studi yang dibuat oleh Lowy Institute (2018) mencatat bahwa persoalan kualitas pendidikan di Indonesia merupakan PR besar. Walaupun pemerintah Indonesia mencanangkan target untuk memiliki sistem pendidikan berkelas dunia pada 2025, perjalanan menuju ke cita cita itu masih cukup panjang. Persoalan persoalan kualitas berkaitan dengan kualitas guru, ketrampilan pedagogi, dan materi dan bahan ajar dinilai masih memiliki persoalan. Ini mengakibatkan hasil belajar murid masih kurang. Relevansi antara bidang studi dan ketrampilan yang dibutuhkan dunia kerja juga masih senjang. Pengelolaan pendidikan juga ada catatan.
Namun saya melihat persoalannya tidak sesederhana itu. Memang isu kualitas mengemuka, tetapi masalah keadilan akses mengganjal. Di wilayah terpencil di Kalimantan, Sulawsi, NTT dan Papua, misalnya, isu akses masih ada. Hal ini berkaitan dengan jarak dan biaya transportasi. Relevansi yang kurans sesuai dengan lapangan kerja membuat insentif untuk bersekolah kurang memadai. Â
Kurikulum yang berat dan memakan energi siswa dan guru tidak sesuai dengan alokasi waktu belajar . Murid dan Guru kelelahan untuk menyelesaikan ketuntasan. Ujian yang dilakukan dengan pilihan berganda dan banyak mendaur ulang soal soal yang telah melahirkan generasi penghapa. Soal gaji guru masih persoalan. Walaupun gaji guru sudah dinaikkan, namun ini masih belum memadai. Apalagi bila kita membincang keberadaan guru yang paruh waktu atau honorer. Pertanyannya, bagaimana mungkin seorang guru masih berada dalam status honorer selama lebih dari sepuluh tahun masa kerjanya? Bagaimana mungkin seorang guru honorer seperti Ibu Mus hanya menerimagaji  Rp 500.000 untuk  masa kerja 3 bulan? Ini di luar akal kita.Â
Persoalan masuknya paham paham yang tidak menghargai keberbagaian adalah tantangan berikutnya. Kekerasaan, termasuk kekerasan fisik, psikhis, 'bullying', dan bahkan kekerasan seksual juga membayangi pendidikan kita.Â
Memberikan otonomi penuh kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola pendidikan adalah berisiko tinggi. Dan kita alami itu. Sementara itu, tarik ulur kewenangan pemerintah propinsi menjadikan peran supervisi dan koordinasinya mandul.Â
Meski pemerintah di tingkat nasional mendorong implementasi pendidikan dengan target tertentu, adalah pemerintah kabupaten/kota dan propinsi yang pada akhirnya menentukan. Ini persoalan serius.
Ajakan agar kita semua bertanggung jawab pada pendidikan anak adalah suatu yang baik. Kerjasama di antara pemerintah, sektor swasta dan para pihak perlu menjadi realita. Aparat pemerintah perlu mendefinisikan ulang makna koordinasi yang semula lebih pada pemantauan dan pelaporan. Koordinasi hendaknya dimaknai sebagai strategi bersama dari para pihak untuk mencapai tujuan bersama, yaitu tujuan memberikan pendidikan berkualitas bagi semua. Â
Bagaimana mungkin kita akan merayakan Hari Pendidikan Internasional dengan gembira bila persoalan kesenjangan masih begitu terbuka dan guru masih sibuk memikirkan bagaimana mereka menghidupi keluarganya. Ini konteks yang kita harus hadapi.Â
Bagiamana kita menyikapinya?
Pustaka:Â
- https://www.educationworld.com/a_tech/tech065.shtml
- https://digitalcommons.salve.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1017&context=fac_staff_pub
- https://www.lowyinstitute.org/sites/default/files/Rosser_Beyond%20access%20%20Making%20Indonesia%27s%20education%20system%20work_WEB_2.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H