Pagi itu saya mengendarai kendaraan di sepanjang jalan Bugisan Baru menuju area Kasongan. Seperti biasa, bila saya tidak ada tugas lapang, saya punya waktu untuk sekedar berjalan atau berkendara di pagi hari.
Saya sedang berdiri di pinggir jalan, menyaksikan sisa matahari terbit di perbatasan Bantul dengan Yogyakarta, ketika seorang ibu setengah baya berpakaian kain kebaya mendorong sepeda penuh berisi gerabah Anglo.
Pelan ia melambatkan jalannya dan berhenti di depan sebuah warung kecil yang belum buka. Ia menyenderkan sepedanya. Ia menghampiri kursi bambu di depan warung dan duduk sambil mengibaskan selendang ke dadanya dan juga mengelapkan kainnya ke lehernya.
Saya segera menyeberangi jalan dan menghampirinya. Setelah saling berucap salam dalam bahasa Jawa, saya dudu di sebelahnya.
Perempuan itu bernama Ibu Ratmi.
Setiap hari, kecuali di hari hujan deras dan kala ia sakit, bu Ratmi membawa sekitar 30 Anglo di atas sepedanya. Anglo disusun dalam kerangjang bambu yang diletakkan dan digantung di tengah, di bawah sadel sepedanya. Sebagian lain bergantung di sepedanya. Semuanya tergantung rapi. Terdapat tiga ukuran Anglo yang ia bawa. Ukuran kecil yang ia jual 7.500 rupiah. Ukuran sedang ia jual 10.000 rupiah. Ukuran besar ia jual 12.500 rupiah.
Setiap hari ia membawa Anglo yang ia gantung di sepedanya, berjalan dari Kasongan ke Pasar di dekat Jalan Tendean Yogya. Dan, rupanya warung kecil yang kosong di pagi hari ini adalah perhentian di tiap perjalanannya.
Dari obrolan itu, saya hitung ia membawa keuntungan bersih antara 15 ribu sd 20 ribu rupiah per hari. Ia berkata lagi "Kulo mbeto niki gumantung modale. Yen wonten, nggih mbeto langkung katah". (Saya membawa Anglo ini tergantung modalnya. Bila modalnya ada, saya membawa lebih banyak Anglo). Aduh bu, kalau modalnya banyak, naik omprengan saja ya bu.
Ibu Ratmi yang sederhana dan bersahabat.
Sambil senyum, bu Ratmi mengakhiri percakapan "Kulo mlampah malih nggih. Ndak selak siang" (Saya jalan lagi ya. Nanti keburu siang).
Sehangat sinar matahari jam 6.30. Sayang, tak ada teh hangat, bahkan air putih.
Kami berpisah setelah saya membeli Anglo yang saya pilih dari tumpukan paling atas. Supaya bu Ratmi tidak terlalu berat membawanya berjalan di sebelah sepedanya. Udara masih sejuk, dan bu Ratmi mengilang di pengkolan jalan. Mudah mudahan, Anglo bu Rami laris dan usahanya lancar. Aamiin.
Banyak orang, terutama perempuan, yang hidupnya seperti ibu Ratmi. Mereka bahagia dengan pekerjaannya. Walau pendapatannya relatif tidak banyak, mereka melakukannya dengan ikhlas dan gembira. Sepanjang percakapan selama 10 menit itu, tak ada keluh.
Anglo sebagai Produk Nostalgia
Anglo adalah tungku. Fungsinya seperti kompor. Untuk yang saya dapatkan dari Ibu Ratmi, ia terbuat dari tanah liat. Warnanya coklat. Tepatnya ia adalah berbahan terakota.
Anglo berbentuk silinder. Ia memiliki bagian bagian. Pada bagian tengah, yaitu tempat bara api terdapat lubang-lubang kecil yang disebut sarangan. Fungsinya sebagai tempat aliran udara yang berasal dari arang yang dikipaskan dari lubang bagian bawah. Melalui sarangan, abu sisa pembakaran juga akan turun langsung ke bawah. Bagian atas Anglo terdapat tonjolan berjumlah empat buah, sebagai tempat meletakkan periuk atau wajan.Â
Di sela-sela bagian yang menonjol itu berfungsi sebagai ruang bagi aliran udara dan api dari lubang bawah. Pada lubang bagian bawah ada satu lubang besar yang dinamakan mulut 'cangkem' Anglo. Bila mulut Anglo dikipasi, maka udara akan masuk lewat lubang sarangan ke atas ke tempat bara api. Prinsip kerjanya sama dengan tungku batu biasa.
Di wilayah Yogyakarta, Anglo masih banyak digunakan. Baik di rumah maupun di warung atau restoran. Di warung Bakmi Kadin, misalnya, Anglo adalah alat utama memasak Bakmi Jowo. Bakmi dimasak per porsi dengan Anglo. Ini saya temui hampir merata di semua warung atau resto Bakmi Jowo di Yogya. Oleh karenanya, jangan heran bila kita perlu mengantri lama untuk tiap porsi pesanan kita. Semua dikerjakan satu persatu.
Pemanasan dengan Anglo yang menggunakan arang dipercaya pelan tetapi menghantarkan panas yang stabil sehingga membuat proses memasak dapat matang dengan baik. Senyawa yang ada dalam kayu bakar ataupun arang ini akan keluar melalui asap pembakaran sehingga dapat bercampur dengan masakan menghasilkan aroma yang khas.
Di banyak warung gudeg dan soto juga angkringan di Yogya, saya juga masih menemukan Anglo. Ada pandangan bahwa Anglo mempertahankan cita rasa masakan menjadi khas. Berbeda bila dimasak di atas kompor. Saya rasa, penggunaan Anglo bukan hanya bagian dari tradisi, tetapi juga bagian dari nostalgia.
Di Yogya, Solo, Pekalongan dan di wilayah pembuat batik tulis, Anglo yang berukuran lebih kecil digunakan pula untuk memanaskan malam batik. Anglo juga dipergunakan untuk membakar dupa ketika membuat wangi kain batik.
Memang Anglo tidak banyak dipakai di rumah tangga sebagai alat masak sehai hari, karena memerlukan bahan bakar Arang yang harus dibeli. Jadi, sifatnya lebih sebagai kompor cadangan. Anglo yang tidak terlalu menimbulkan asap yang berlebihan ini dianggap lebih ramah bagi pemasak. Kelebihan lain dari menggunakan Anglo adalah bara api yang relatif stabil. Pemasak bisa mengerjakan pekerjaan lain 'disambi'. Abu sisa pembakaran Anglo biasanya dibuang. Di masa yang lalu, abu dipakai untuk mencuci dasar panci agar hilang bekas gosongnya.
Penggunaan arang sering menjadi pertimbangan pengguna Anglo. Arang yang digunakan sebagai bahan bakar Anglo hendaknya merupakan arang yang berkualitas baik sehingga akan menghasilkan bara api yang bertahan lama dan tidak mudah menjadi abu. Arang yang berkualitas baik ini biasanya berasal dari kayu-kayu yang keras. Arang berasal dari kayu yang dibakar dan mengalami proses pendinginan.Â
Masyarakat yang masih menggunakan Anglo ini mendapatkan bahan bakar yang berupa arang dari pedagang arang ataupun mereka membuatnya sendiri. Karena kayu kayu keras seperti kayu Asem, kayu Lamtoro dan Mahoni yang dianggap baik untuk bahan arang, maka perlu pertimbangan untuk mencari jenis kayu lain yang lebih ramah lingkungan. Pada dasarnya, bahan bakar dari arang dan kayu memang membutuhkan bahan dari pepohonan. Namun studi menunjukkan bahwa kerusakan hutan bukan disebabkan oleh konsumsi kayu untuk bahan arang, melainkan oleh penebangan liar maupun industri.
Anglo dan peralatan tradisional sudah ada sejak jaman nenek moyang. Beberapa bukti arkeologis menunjukkan penemuan artefak (benda sejarah) berupa 'kreweng' atau pecahan gerabah. Pecahan gerabah ini dapat berasal dari alat memasak maupun perlengkapan rumah tangga lain. Sifat gerabah mudah pecah tetapi tahan dari pelapukan serta tahan air dan panas.
Tungku Anglo telah dikenal sejak lama di Nusantara. Kerajaan Majapahit, yang terkenal dengan penguasaan teknologi terakota yang tinggi, memiliki peninggalan berupa Anglo yang berhias ukiran. Bahkan, terdapat Anglo berornamen hias dari zaman Majapahit (Wikipedia).
Namun, sejarah tungku semacam Anglo sudah ada sejak lama. Di Cina, ditemukan artafak alat masak semacam Anglo yang diduga berasal dari masa Dinasti Qin pada 200 sebelum masehi. Dinasti ini adalah yang pertama di Cina dan hanya bertahan sebentar, sekitar 15 tahun. Namun peninggalan Dinasti Qin untuk karya terakota adalah luar biasa. Bukan hanya tungku terakota sekelas Anglo, namun juga the "Terracotta Army', atau tentara terakota. Tentara terakota ini ditemukan dalam penggalian di tahun 1971, terdiri dari 7.000 figur tentara dan kudanya. Penggalian lanjutan mencatat adanya lebih dari 8.000 tentara, 130 'chariot', dan 150 kavaleri.
Di Indonesia, Anglo dibuat secara tradisional oleh perajin gerabah. Masyarakat desa di Jawa, khususnya di Yogya masih menggunakannya. Anglo bisa kita dapatkan di sentra-sentra gerabah, misalnya di desa Kasongan, seperti yang Ibu Ratmi biasa pergi. Atau di desa Pundong di Kabupaten Bantul. Anglo masih dapat ditemui di pasar pasar tradisional.
Kasongan sebagai sentra pembuatan Anglo dan gerabah lain juga memiliki kisah. ejarah. Sejarah mencatat Kasongan tidak lepas dari konteks perjuangan Pangeran Diponegoro, antara tahun 1825 hingga 1830. Desa ini dekat dengan Goa Selarong, tempat bersembunyi pasukan Diponegoro. Kasongan pada awalnya dalah daerah pertanian berubah menjadi daerah kerajinan. Terdapat peristiwa ketika seekor kuda milik tentara Belanda mati di sepetak sawah.Â
Masyarakat pertanian yang lugu tidak mau mengakui siapa pemilik lahan sawah itu. Akhirnya seorang utusan Pangeran Diponegoro, Kyai Kyai Abdulraupi atau yang juga dikenal dengan Kyai Kasongan merintis kerajinan yang bahan bakunya berasal dari tanah liat dari persawahan dan perkebunan tempat di mana kuda perwira Belanda ditemukan tewas. Selanjutnya, Kasongan berkembang menjadi sentra kerajinan gerabah. Anglo hanyalah satu di antara produk produk kerajinan yang ada.
Peristiwa gempa Yogyakarta pada tahun 2006 meluluhlantahkan Bantul dan sekitarnya. Para pengrajin di Kasongan mengalami kerugian yang besar. Barang barang rusak. Dengan dukungan beberapa pihak, pengrajin bangkit. Namun, perkembangan gerabah tidak terlalu baik. Selain pengrajin harus memasarkan sendiri, sifat gerabah yang gampang pecah membuat pengrajin hanya bertahan untuk menjual di wilayah sekitarnya saja.
Bagi kita, Anglo bisa saja merupakan produk nostalgia. Tetapi, bagi orang orang seperti Ibu Ratmi, pengrajin gerabah, pengusaha warung dan angkringan, dan juga pembatik tulis, Anglo adalah barang penting yang mendukung kehidupan mereka.Â
Referensi :Â
- Kompas, "Lebih Sedap Pakai Arang dan Anglo", 13 April, 2008
- Lilyk Eka Suranny, "Traditional of Kitchen Equipment as Cultural Heritage Richness of Indonesia Nation (tahun tidak ditemukan)
- SP Gustami, The Arts Journal yang berjudul Craft Arts and Tourism in Ceramic Art Village of Kasongan in Yogyakarta (2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H