Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ibu Ratmi dan Anglo, Antara Mata Pencaharian dan Nostalgia

20 Januari 2019   12:01 Diperbarui: 21 Januari 2019   12:42 1152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di banyak warung gudeg dan soto juga angkringan di Yogya, saya juga masih menemukan Anglo. Ada pandangan bahwa Anglo mempertahankan cita rasa masakan menjadi khas. Berbeda bila dimasak di atas kompor. Saya rasa, penggunaan Anglo bukan hanya bagian dari tradisi, tetapi juga bagian dari nostalgia.

Di Yogya, Solo, Pekalongan dan di wilayah pembuat batik tulis, Anglo yang berukuran lebih kecil digunakan pula untuk memanaskan malam batik. Anglo juga dipergunakan untuk membakar dupa ketika membuat wangi kain batik.

Memang Anglo tidak banyak dipakai di rumah tangga sebagai alat masak sehai hari, karena memerlukan bahan bakar Arang yang harus dibeli. Jadi, sifatnya lebih sebagai kompor cadangan. Anglo yang tidak terlalu menimbulkan asap yang berlebihan ini dianggap lebih ramah bagi pemasak. Kelebihan lain dari menggunakan Anglo adalah bara api yang relatif stabil. Pemasak bisa mengerjakan pekerjaan lain 'disambi'. Abu sisa pembakaran Anglo biasanya dibuang. Di masa yang lalu, abu dipakai untuk mencuci dasar panci agar hilang bekas gosongnya.

Penggunaan arang sering menjadi pertimbangan pengguna Anglo. Arang yang digunakan sebagai bahan bakar Anglo hendaknya merupakan arang yang berkualitas baik sehingga akan menghasilkan bara api yang bertahan lama dan tidak mudah menjadi abu. Arang yang berkualitas baik ini biasanya berasal dari kayu-kayu yang keras. Arang berasal dari kayu yang dibakar dan mengalami proses pendinginan. 

Masyarakat yang masih menggunakan Anglo ini mendapatkan bahan bakar yang berupa arang dari pedagang arang ataupun mereka membuatnya sendiri. Karena kayu kayu keras seperti kayu Asem, kayu Lamtoro dan Mahoni yang dianggap baik untuk bahan arang, maka perlu pertimbangan untuk mencari jenis kayu lain yang lebih ramah lingkungan. Pada dasarnya, bahan bakar dari arang dan kayu memang membutuhkan bahan dari pepohonan. Namun studi menunjukkan bahwa kerusakan hutan bukan disebabkan oleh konsumsi kayu untuk bahan arang, melainkan oleh penebangan liar maupun industri.

Anglo dan peralatan tradisional sudah ada sejak jaman nenek moyang. Beberapa bukti arkeologis menunjukkan penemuan artefak (benda sejarah) berupa 'kreweng' atau pecahan gerabah. Pecahan gerabah ini dapat berasal dari alat memasak maupun perlengkapan rumah tangga lain. Sifat gerabah mudah pecah tetapi tahan dari pelapukan serta tahan air dan panas.

Tungku Anglo telah dikenal sejak lama di Nusantara. Kerajaan Majapahit, yang terkenal dengan penguasaan teknologi terakota yang tinggi, memiliki peninggalan berupa Anglo yang berhias ukiran. Bahkan, terdapat Anglo berornamen hias dari zaman Majapahit (Wikipedia).

Namun, sejarah tungku semacam Anglo sudah ada sejak lama. Di Cina, ditemukan artafak alat masak semacam Anglo yang diduga berasal dari masa Dinasti Qin pada 200 sebelum masehi. Dinasti ini adalah yang pertama di Cina dan hanya bertahan sebentar, sekitar 15 tahun. Namun peninggalan Dinasti Qin untuk karya terakota adalah luar biasa. Bukan hanya tungku terakota sekelas Anglo, namun juga the "Terracotta Army', atau tentara terakota. Tentara terakota ini ditemukan dalam penggalian di tahun 1971, terdiri dari 7.000 figur tentara dan kudanya. Penggalian lanjutan mencatat adanya lebih dari 8.000 tentara, 130 'chariot', dan 150 kavaleri.

Di Indonesia, Anglo dibuat secara tradisional oleh perajin gerabah. Masyarakat desa di Jawa, khususnya di Yogya masih menggunakannya. Anglo bisa kita dapatkan di sentra-sentra gerabah, misalnya di desa Kasongan, seperti yang Ibu Ratmi biasa pergi. Atau di desa Pundong di Kabupaten Bantul. Anglo masih dapat ditemui di pasar pasar tradisional.

Kasongan sebagai sentra pembuatan Anglo dan gerabah lain juga memiliki kisah. ejarah. Sejarah mencatat Kasongan tidak lepas dari konteks perjuangan Pangeran Diponegoro, antara tahun 1825 hingga 1830. Desa ini dekat dengan Goa Selarong, tempat bersembunyi pasukan Diponegoro. Kasongan pada awalnya dalah daerah pertanian berubah menjadi daerah kerajinan. Terdapat peristiwa ketika seekor kuda milik tentara Belanda mati di sepetak sawah. 

Masyarakat pertanian yang lugu tidak mau mengakui siapa pemilik lahan sawah itu. Akhirnya seorang utusan Pangeran Diponegoro, Kyai Kyai Abdulraupi atau yang juga dikenal dengan Kyai Kasongan merintis kerajinan yang bahan bakunya berasal dari tanah liat dari persawahan dan perkebunan tempat di mana kuda perwira Belanda ditemukan tewas. Selanjutnya, Kasongan berkembang menjadi sentra kerajinan gerabah. Anglo hanyalah satu di antara produk produk kerajinan yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun