Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kita Idap Intoleransi Sosial atau Sudah Alergi Sosial?

8 Januari 2019   07:44 Diperbarui: 8 Januari 2019   15:49 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo : the Daily Star


Cucu saya, yang pertama ini, lahir di bulan November 2018. Di bulan pertama kelahirannya, sang ibu cukup sibuk belajar untuk mengenal bayinya. Kemampuan lakukan laktasi, memahami perbedaan tangisan bayi, kebiasaan tidurnya, dan banyak lagi. Satu hal yang sang Ibu temui adalah, rupanya cucu saya intoleransi pada produk susu dan udang yang dikonsumsi sang ibu.

Ketika anak saya mengonsumsi makanan dengan keju dan makanan "seafood", pipi dan badan bayi menjadi kemerah-merahan. Dokterpun menyarankan agar sang ibu melakukan diet susu dan udang. Paling tidak selama setahun umur cucu saya.

Soal alergi dan intoleransi makanan, di awal tahun baru 2019 ini, kita membaca berita tentang meninggalnya seorang anak laki-laki di New York, Amerika Serikat yang terkena karena serangan asma setelah menghirup aroma ikan asin yang dimasak neneknya. 

Padahal, hari itu, Cameron Jean-Pierre bersama ibunya, Jody Pottingr datang ke rumah neneknya, Steven Jean Pierre untuk merayakan tahun baru. Atas peristiwa tersebut, the American College of Allergy, Asthma & Immunology memberi nasihat agar orang dengan alergi ikan menghindari area ketika ada proses memasak ikan. Ikan yang sedang dimasak melepaskan protein ke udara.

Juga kita dengar seorang Inggris, Kim De'Atta, memiliki alergi pada wifi dan sinyal telpon seluler. Ia alergi pada gelombang elektromagnetik. Alergi yang dialami membuat ia menderita migrain, lelah berlebih, dan infeksi. Hal ini menyebabkan ia jarang bertemu dengan keluarga dan kawan-kawannya. Alergi wifi ini membuat Kim De'Atta sering berpindah rumah dan harus mengenakan kelambu ketika tidur.

Rupanya, penyebab alergi atau sering disebut allergen tidak lagi terbatas pada bulu binatang, sengatan lebah, gigitan serangga, makanan tertentu seperti susu, kacang, buah, obat-obatan tertentu seperti penisilin atau aspirin, dan tanaman tertentu saja. Alergi dapat sangat bervariasi. Reaksi awal, sering disebut intoleransi, bisa beragam, mulai dari gatal-gatal, kulit kemerahan, sesak napas, sakit perut, diare, sakit kepala dan lain lain. Sementara, ketika alergi sudah serius, bisa mematikan. 

someecards.com
someecards.com
Mengenal apa jenis alergi yang kita miliki, membantu kita untuk menghindari gejala dan reaksi tubuh kita.

Berbagai lembaga dan juga suatu organisasi masyarakat professional terkait kekebalan dan alergi tubuh di Australia, ASCIA (Australasian Society of Clinical Immunology and Allergy Limited) mendefinisikan alergi sebagai suatu kondisi reaksi sistem kekebalan tubuh secara luar biasa terhadap sesuatu yang dianggap asing, baik berbayaha maupun tidak.

 Hal ini bisa terjadi baik berupa substansi yang menyentuh atau masuk ke dalam tubuh. Sifat alergi sangat khusus pada orang orang tertentu. Hal yang bagi orang lain bukan merupakan masalah, bagi beberapa orang bisa merupakan allergen.

Dalam ilmu kedokteran, alergi juga dibedakan dengan intoleransi. Seseorang yang menunjukkan reaksi tertentu pada allergen sering disebut intoleransi. Misalnya intoleransi pada laktosa. Bentuknya, misalnya, mual dan muntah. Sementara alergi lebih menunjukkan gejala yang lebih serius.

Foodalergi.org mencatat bahwa di Amerika, dicatat tiap tiga menit terdapat seseorang yang harus masuk ruang emerjensi karena persoalan alergi. Tiap tahun, sebanyak 200.000 orang Amerika memerlukan layanan kesehatan karena alergi makanan. 

Anak yang alami rawat inap karena persoalan alergi makanan meningkat 3 kali lipat sejak akhir 1990 sampai pertengahan tahun 2000-an. Sebanyak 40% anak yang memiliki alergi makanan dilaporkan mengalami syok anafilaktik, yaitu reaksi alergi yang memengaruhi seluruh tubuh dan dianggap sebagai kondisi medis darurat. 

Reaksi ini berpotensi mengancam jiwa. Bisa terjadi di mana saja antara beberapa detik hingga menit setelah terpapar alergen. Paparan memicu respon dari sistem kekebalan tubuh yang dapat menyebabkan shock dan bahkan kematian jika tidak segera diobati. Inilah gambaran keseriusan alergi -- yang lebih serius dari intoleransi.

Lalu, kalau ada intoleransi makanan dan alergi makanan, bagaimana dengan intoleransi sosial dan alergi sosial? Apakah alergi sosial lebih serius dari toleransi sosial? 

Beberapa tahun yang lalu, researchgate.net mendefinisikan alergi sosial sebagai reaksi sensitif berlebihan pada situasi dan perilaku tertentu. Sementara, intoleransi sosial didefinisikan sebagai kurangnya rasa respek atau hormat pada praktik dan nilai-nilai yang berbeda yang ada. 

Intoleransi melibatkan penolakan pada perbedaan karena kepercayaan, ras, pilihan politik, orientasi seksual dan lain-lain. Pada akhirnya intoleransi bisa melibatkan rangkaian tindakan yang melibatkan kata kebencian atau bahkan tindakan fisik yang melukai, bahkan membunuh.

Kalau kita bandingkan dengan pengertian dalam dunia kedokteran, semestinya intoleransi lebih ringan daripada alergi.

Dalam aspek sosial, saya melihat, bentuk-bentuk yang kita temui akhir-akhir ini bukan lagi intoleransi sosial. Tetapi lebih serius. Ini alergi sosial. Sebagai contoh, misalnya "kesepakatan" menggergaji kayu salib di pekuburan nasrani di Yogyakarta, menolak mendengar kata PKI, menolak berbicara dengan kawan yang memiliki pandangan politik berbeda, itu lebih atau sangat serius. Semacam alergi sosial. Yang bisa mematikan kehidupan sosial, demokrasi dan kemanusiaan.

Studi yang dilakukan beberapa lembaga di Amerika tentang alergi sosial, seperti yang pernah dimulai oleh Dr. Michael Cunningham dari University of Louisville, Cunningham, nampaknya perlu berkembang bukan hanya soal alergi sosial pada pasangan. Tetapi pada aspek yang lebih serius ada di masyarakat. 

Saya punya kesulitan mencari sumber bacaan terkait alergi sosial. Beberapa contoh ujaran kebencian di kala Pilpres di Amerika Serikat, mungkin sebagai contohnya. Tapi, kembali lagi, belum ada studi lebih serius tentang apa itu alergi sosial. 

Secara umum, disebutkan, pemicu alergi sosial yang terjadi biasanya berasal dari kebiasaan yang berbeda, egosentrik dan tidak sensitif, perasaan yang terganggu tanpa sebab yang nyata, dan penghakiman pada norma, bisa saja menjadi aspek yang perlu lebih serius diteliti. Ketika seseorang memiliki rigiditas -- kekakuan yang tinggi dan punya ketakutan untuk berbeda dengan orang lain, reaksinya memang bisa menakutkan. 

Membaca ujaran kebencian yang ada di media sosial pada masa kini, khususnya jelang Pilpres sangatlah mengerikan. Saya baca, terdapat beberapa warganet yang mengekspresikan atau menyebut nama salah seorang capres saja dengan ungkapan kenajisan dan tunjukkan reaksi "muntah-muntah virtual". Menyebut nama seorang tokoh saja sudah tidak dengan nama, melainkan dengan sebutan nama binatang. Juga, kata dan ujaran tuntutan kematian dilampiaskan. Ini mengerikan.

Memang betul, sama dengan alergi yang biasa, allergen sosial atau penyebab alergi sosial sangatlah tergantung pada orang yang alergi tersebut. Hal ini tergantung bagaimana latar belakang orang tersebut, dengan siapa mereka bergaul, dan bagaimana kebiasaan yang mereka lakukan. 

Tetapi bila terjadi intoleransi secara massal, persoalannya jadi berbeda. Apalagi bila, reaksi yang luar biasa menjadi membahayakan serta mematikan, bagaikan alami syok anafilatik sosial secara masal, bahkan amuk masa. Ini persoalan darurat. Ini alergi sosial.

Sayangnya, kita sering memilih diam melihat persoalan ini. Dapat dimaklumi, tetapi tidak dapat dibenarkan. Kekuatan alergi sosial dapat bersifat massal dan sangat mengerikan. Dan bila alergi tersebut berbasis politisasi agama, kitapun jadi minggir teratur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun