Anak yang alami rawat inap karena persoalan alergi makanan meningkat 3 kali lipat sejak akhir 1990 sampai pertengahan tahun 2000-an. Sebanyak 40% anak yang memiliki alergi makanan dilaporkan mengalami syok anafilaktik, yaitu reaksi alergi yang memengaruhi seluruh tubuh dan dianggap sebagai kondisi medis darurat.Â
Reaksi ini berpotensi mengancam jiwa. Bisa terjadi di mana saja antara beberapa detik hingga menit setelah terpapar alergen. Paparan memicu respon dari sistem kekebalan tubuh yang dapat menyebabkan shock dan bahkan kematian jika tidak segera diobati. Inilah gambaran keseriusan alergi -- yang lebih serius dari intoleransi.
Lalu, kalau ada intoleransi makanan dan alergi makanan, bagaimana dengan intoleransi sosial dan alergi sosial? Apakah alergi sosial lebih serius dari toleransi sosial?Â
Beberapa tahun yang lalu, researchgate.net mendefinisikan alergi sosial sebagai reaksi sensitif berlebihan pada situasi dan perilaku tertentu. Sementara, intoleransi sosial didefinisikan sebagai kurangnya rasa respek atau hormat pada praktik dan nilai-nilai yang berbeda yang ada.Â
Intoleransi melibatkan penolakan pada perbedaan karena kepercayaan, ras, pilihan politik, orientasi seksual dan lain-lain. Pada akhirnya intoleransi bisa melibatkan rangkaian tindakan yang melibatkan kata kebencian atau bahkan tindakan fisik yang melukai, bahkan membunuh.
Kalau kita bandingkan dengan pengertian dalam dunia kedokteran, semestinya intoleransi lebih ringan daripada alergi.
Dalam aspek sosial, saya melihat, bentuk-bentuk yang kita temui akhir-akhir ini bukan lagi intoleransi sosial. Tetapi lebih serius. Ini alergi sosial. Sebagai contoh, misalnya "kesepakatan" menggergaji kayu salib di pekuburan nasrani di Yogyakarta, menolak mendengar kata PKI, menolak berbicara dengan kawan yang memiliki pandangan politik berbeda, itu lebih atau sangat serius. Semacam alergi sosial. Yang bisa mematikan kehidupan sosial, demokrasi dan kemanusiaan.
Studi yang dilakukan beberapa lembaga di Amerika tentang alergi sosial, seperti yang pernah dimulai oleh Dr. Michael Cunningham dari University of Louisville, Cunningham, nampaknya perlu berkembang bukan hanya soal alergi sosial pada pasangan. Tetapi pada aspek yang lebih serius ada di masyarakat.Â
Saya punya kesulitan mencari sumber bacaan terkait alergi sosial. Beberapa contoh ujaran kebencian di kala Pilpres di Amerika Serikat, mungkin sebagai contohnya. Tapi, kembali lagi, belum ada studi lebih serius tentang apa itu alergi sosial.Â
Secara umum, disebutkan, pemicu alergi sosial yang terjadi biasanya berasal dari kebiasaan yang berbeda, egosentrik dan tidak sensitif, perasaan yang terganggu tanpa sebab yang nyata, dan penghakiman pada norma, bisa saja menjadi aspek yang perlu lebih serius diteliti. Ketika seseorang memiliki rigiditas -- kekakuan yang tinggi dan punya ketakutan untuk berbeda dengan orang lain, reaksinya memang bisa menakutkan.Â
Membaca ujaran kebencian yang ada di media sosial pada masa kini, khususnya jelang Pilpres sangatlah mengerikan. Saya baca, terdapat beberapa warganet yang mengekspresikan atau menyebut nama salah seorang capres saja dengan ungkapan kenajisan dan tunjukkan reaksi "muntah-muntah virtual". Menyebut nama seorang tokoh saja sudah tidak dengan nama, melainkan dengan sebutan nama binatang. Juga, kata dan ujaran tuntutan kematian dilampiaskan. Ini mengerikan.