Ironisnya, sebetulnya saat itu para dokter menduga penyebab 'black plague' adalah tikus dan lalat yang telah terjangkit penyakit.
Penelitian lain menghasilkan analisa bahwa penyebab dari the 'Black Plague' adalah tikus hitam, yang diduga menyeberang ke Eropa bersama kapal dagang dari Asia. Dan penyakit tersebut menular melalui kontak. Bukan melalui udara.
Pengobatannya pun cukup dengan anti-biotik. Pembantaian kucing tentu saja bukan membantu mengurangi kasus wabah, tetapi meningkatkan kasus wabah itu sendiri. Tak ada kucing yang memakan tikus.
Sampai kini, 'The Black Death' sendiri masih merupakan misteri. Beberapa sumber mengatakan 'the Black Death ' adalah salah satu contoh hoaks yang begitu sukses membuat rasa ketakutan manusia di Eropa antara 1347 sampai dengan 1351.
Masyarakat begitu percaya bahwa penyebab wabah adalah kucing. Sekalipun para ahli menyebut bahwa penyebabnya adalah tikus dan lalat, tapi karena mithologi tentang kucing sebagai kawan tukang sihir ada di masyarakat, dan bisa dikatakan sebagai musuh gereja, maka terjadilah pembantaian makhluk Tuhan ini.
Peristiwa hoaks 'the black death' menguatkan apa yang ditulis oleh Kompasianer Giri Lumakto tentang kekuatan rekayasa, distorsi, dan pengaburan fakta yang ada dalam pola komunikasi manusia.
Kebohongan yang disebarkan melalui word of mouth memang sangat luar biasa. Dan, dalam konteks the 'black death', ketika kebencian itu keluar dari mereka yang ada di lembaga keagamaan, seperti gereja, kekuatan distorsinya menjadi luar biasa.
Bahkan, Leonardo da Vinci, salah satu genius pada masa Renaissance, yang pecinta kucing menciptakan “Studies of Cats,” pada sekitar 1513 - 1515.
Ia membuat sket 27 kucing yang menggambarkan kecantikan dan tingkah laku kucing. Da Vinci merencanakan untuk melukis kucing pada Madonna and Child, tapi tak ditemukan tanda tangan da Vinci.
Dia juga menciptakan karya karya ukir dan gambar lainnya, dan memasukkan kucing di dalamnya.