Kami sangat penasaran, mengapa kopi arabika Bone Bone Kalosi Enrekang yang organik dan enak sekali tidak terlalu berkembang. " Memang produksi kopi di wilayah Bone Bone sangat potensial untuk menjadi kopi organik. Namun, kesadaran masyarakat masih kurang. Alhasil, hanya sedikit kopi yang organik. Hanya 3 kelompok tani yang terlibat,  dan dengan luas kebun hanya 32,5 hektar saja. Juga, tidak ada insentif.  Beda harga antara beras kopi organik yang Rp 70.000/kg dengan kopi konvensional yang Rp 55.000,- tidak membuat petani bersemangat menjadikan lahannya sebagai lahan kopi organik. Sementara, produksi kompos untuk keperluan pupuk organik masih terbatas. Pengangkutan kopi masih sulit karena terbatasnya jalan dan alat transportasi".Â
Namun, ada hal penting berkait keputusan berfokus pada padi. Hal ini berangkat dari kesejarahan Bone Bone yang mungkin perlu kita pahami. Keterpencilan Bone Bone telah membuat masyarakatnya mengejar target swasembada padi. Bagi mereka, swasembada padi  adalah lebih penting bagi kemandirian desa. Sementara, kopi ia biarkan tumbuh begitu saja. Tentu saja, hasil kopi menjadi tidak optimal.
Perdagangan kopi di wilayah Toraja dan Sulawesi Selatan secara umum memang lebih dimainkan oleh perdagangan kopi konvensional - bukan organik. Pedagang di area ini lebih banyak menjual kopinya kepada pedagang besar di Makassar, termasuk kepada Starbucks.Â
Pak Idris  menceritakan bahwa di masa menjadi kepala desa, ia membawa visi Desa Sehat. Selain desa menjadi Desa Bebas Rokok, ia juga menetapkan bahwa setiap orang yang menikah harus menanam minimal 10 pohon Suren. Suren dikenal sebagai  bahan baku pembuatan rumah dan pelindung kopi. Ia juga mengeluarkan Perdes yang melarang memasukkan ayam potong dari luar desa, dan juga melarang beredarnya makanan ber-MSG ke kampung.Â
Pada saat yang sama, keterpencilan yang telah lama dialami masyarakat Bone Bone telah pula membuat kesejahteraan warga tertinggal dari saudara mereka di wilayah lainnya. Bahkan, warga Bone Bone sempat mengalami kemiskinan dalam waktu yang cukup lama.Â
Apa yang dilakukan oleh pak Idris ketika ia menjabat sebagai kepala desa adalah menarik dan tidak biasa. Menjadi desa pertama di dunia yang bebas rokok tentu menjadi perhatian dunia. Namun, itu tak cukup. Persoalan hidup masyarakat masih banyak. Â Soal keluarga yang sehat. Soal pendidikan. Masih perlu lagi pak Idris pak Idris lain yang meneruskan pembangunan itu. Karena warga Bone Bone juga perlu sejahtera.
Kami terus menyusur jalan meninggalkan Bone Bone. Berada pada ketinggian 1.300-1500 meter dari permukaan laut dan ada di kaki Gunung Latimojong membuat Bone Bone berkabut di jelang sore itu. Panorama Bone Bone jadi syahdu.Â
Janganlah lagi, luka lama pergolakan di masa yang lalu terus terbuka. Bone Bone punya hak untuk mendapat perhatian, seperti juga desa desa terpencil lain di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H