Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kehamilan 'Anak' Meningkat Risikonya pada Pasca Bencana

26 Desember 2018   11:50 Diperbarui: 30 Desember 2018   07:50 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Slide Presentasi Laporan Kajian Kespro Pasca Bencana, oleh Leya Cattleya


Anak adalah seseorang yang terbentuk sejak masa konsepsi sampai akhir masa remaja. Berdasar Undang Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, suatu perkawinan akan diakui secara hukum jika bila si perempuan sudah lebih dari 16 tahun (bagi perempuan) dan lebih dari 19 tahun (bagi laki laki). 

Sementara itu, seperti juga menurut Konvensi Dunia untuk Hak Anak atau the UN Convention on the Rights of the Child (CRC) dan Undang Undang Republik Indonesia No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menetapkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Definisi definisi ini menunjukkan bahwa terdapat pertentangan antara Undang undang Perkawinan kita dengan konvensi Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) serta undang undang yang lain, seperti Undang undang perlindungan anak. Definisi definisi yang bertentangan tersebut menyebabkan kasus pernikahan anak tidak sepenuhnya terlaporkan. Data dari UNICEF tentang prevalensi kasus pernikahan anak adalah sekitar 25,3% di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Namun, dengan banyaknya perkawinan yang tidak didaftarkan, maka prevalensi perkawinan anak diduga jauh lebih tinggi. 

Adalah realita yang sangat menyesakkan mendapatkan data ibu hamil berisiko tinggi yang dicakup studi  Kerelawanan untuk Kesehatan Reproduksi Masa Pasca Bencana. Mengambil pembelajaran dari Riset Aksi Kesehatan Reproduksi Masa Paska Bencana Gempa Lombok di Wilayah Terdampak di Kabupaten Lombok Timur", yang ditulis oleh Leya Cattleya dan Haiziah Gazali, November 2018.  

Data Ibu hamil dengan risiko tinggi mencatat kontribusi yang tinggi (55%) dari kehamilan dengan usia di bawah 20 tahun (16 sd 19 tahun). Artinya, satu dari empat kehamilan adalah berisiko tinggi, dan lebih dari separuhnya adalah dari pernikahan anak. Ini adalah suatu kondisi darurat. 

Kedaruratan itu menjadi semakin serius pada situasi kedaruratan.

Ibu hamil dengan status 'Anak anak' ini memiliki begitu banyak kerentanandan risiko tambahan lainnya pada kondisi kebencanaan. Mereka jauh dari akses kesehatan, yang disebabkan oleh rusaknya fasilitas kesehatan, disamping terbatasnya jumlah tenaga kesehatan yang tersedia. Kerentanan seperti dikucilkan, malu, dijauhkan dari akses pemeriksaan kesehatan, tanpa uang karena pasangan juga berusia anak anak menyebabkan ibu hamil dengan status anak anak memiliki potensi kekurangan gizi dan tidak terpantau kondisi kehamilannya. Merekapun tidak diindungi BPJS. 

Anak anak itu belum matang secara fisik, fisiologis, dan psikhologis untuk bertanggung jawab terhadap perniakahan dan anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut. 

Sementara itu, anak anak yang hamil juga menghadapi potensi meningkatnya risiko karena dikeluarkan dari sekolah atau 'drop out' dan potensi risiko karena persoalan kesehatan, termasuk di antaranya peningkatan risiko terkena kanker serviks, penularan penyakit seksual menular (HIV), dan kecenderungan mempunyai anak yang banyak. 

Terkait peningkatan risiko kanker serviks, penyebabnya adalah factor sel leher Rahim yang belum matang, sehingga dengan adanya trauma saat berhubungan seksual akan sangat mungkin menyebabkan virus dan bakteri lainnya, dan hal ini akan mudah menginveksi leher Rahim. Sementara itu, penularan HIV daoat terjadi karena epitel dari leher Rahim yang belum sempurna pada usia muda yang sudah melakukan hubungan seksual. 

Dengan kurangnya edukasi, pernikahan anak dapat menjadi pencetus adanya kehamilan dengan jumlah anak yang banyak karena waktu usia perkawinan yang relatif panjang. 

Anak anak yang dilahirkan oleh perempuan 'anak anak' juga memiliki kecenderungan melairkan bayi premature dengan berat rendah dan karena terbatasnya kemampuan merawat anak, terdapat risiko kekurangan gizi dan tumbuh kembang anak. (catatan dr Risa Risfiandi, SpOG untuk Gema Alam NTB, 2018)

Risiko risiko dikeluarkan dari sekolah bagi perempuan hamil "anak anak' akan membawa dampak kemanusiaan antar generasi, di samping dampak ekonomi untuk didorong masuk ke pekerjaan yang rentan dan tidak terlindungi, misalnya penjadi pekerja migran tanpa dokumen dan kekerasan berbasis gender juga terjadi. 

Dunia telah mencanangkan upaya menekan kasus kehamilan dan pernikahan anak. Secara global, diestimasikan terdapat lebih dari 16 juta anak usia antara 15 -- 19 tahun di dunia yang melahirkan setiap tahunnya. 

Pernikahan anak bukan hanya masalah kesehatan semata, tetapi melibatkan persoalan yang berakar pada hak asasi, kemiskinan, ketidaksetaraan gender, relasi kuasa yang tidak seimbang antara anak dan orang tua, kurangnya pendidikan dan kegagalan sistem di Negara untuk melindungi hak anak. 

Terdapat pula beberapa media yang memberitakan kasus kekerasan dan pembunuhan ibu hamil yang berusia anak anak.Suatu survai yang melibatkan 4.500 remaja dari 12 kota di Indonesia di tahun 2010 menunjukkan bahwa 63% dari mereka telah melakukan hubungan seksual dan 21% melakukan aborsi. 

dr Risa Risfiandi memeriksa ibu hamil dengan menggunakan USG portable melalui kunjungan keliling (Foto : Haiziah Gazali)
dr Risa Risfiandi memeriksa ibu hamil dengan menggunakan USG portable melalui kunjungan keliling (Foto : Haiziah Gazali)
Di sisi yang lain, data Kabupaten Lombok TImur Dalam angka 2018 melaporkan bahwa telah dilakukan beberapa penyuluhan kesehatan reproduksi kepada kelompok remaja, yang meliputi 22.586 tentang kesehatan reproduksi secara umum, 899 tentang bahaya HIV dan 7.512 tentang alat kontrasepsi agar kesadaran di antara para remaja terbangun akan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi dan mencegah tertularnya penyakt menular seksual, termasuk HIV. 

Namun demikian, ibu hamil dari pernikahan anak yang diwawancarai mengatakan tak ingat bahwa mereka mengikuti salah satu penyuluhan tersebut.

Perkawinan anak dianggap biasa di kalangan masyarakat Indonesia. Kasus di Indonesia menunjukkan bahwa satu di antara 6 perkawinan dilakukan oleh anak perempuan sebelum mereka masuk ke usia dewasa. 

Walaupun kasus perkawinan anak di usia 15 tahun dilaporkan menurun, tetapi perkawinan anak perempuan pada usia antara 16 -- 17 tahun tetap tinggi. Karena aturan batas usia perkawinan bagi perempuan lebih rendah dari batas usia perkawinan anak laki laki, anak perempuan menjadi lebih rentan terhadap akibat dari perkawinan anak. 

Sayangnya, UU Perkawinan kita tidak mensyaratkan pembuktian usia bagi calon pengantin, sehingga semakin sulit kita melindungi anak perempuan dari kasus perkawinan anak (Leya Cattleya, Oxfam, 2016).

Dalam hal pernikahan anak, walaupun Indonesia dipuji telah berhasil menurunkan angka perkawinan anak, utamanya di perdesaan, secara signifikan, angka perkawinan anak masih tetap tinggi. Sesuai Undang Undang No 1/74 tentang Perkawinan, usia minimum perkawinan aalah 16 tahun untuk anak perempuan dan 19 untuk laki laki, dan bimbingan orang tua diharapkan pada perkawinan di bawah usia 21 tahun. 

Hal ini merupakan suatu peringatan keras pada seluruh akumulasi risiko risiko yang akan dihadapi ibu 'anak anak'. 

Dengan kehamilan pada ibu usia anak anak yang terjadi pada masa paska bencana, isu risiko depresi juga merupakan potensi yang perlu mendapat catatan.

*) Tulisan ini adalah cuplikan dari Laporan "Kerelawanan untuk Kesehatan Reproduksi Masa Pasca Bencana. Mengambil pembelajaran dari Riset Aksi Kesehatan Reproduksi Masa Paska Bencana Gempa Lombok di Wilayah Terdampak di Kabupaten Lombok Timur", ditulis oleh Leya Cattleya dan Haiziah Gazali, November 2018, diterbitkan oleh Gema Alam NTB. Dr Risa Risfiandi, SpOg berkonstribusi pada analisis terkait risiko tinggi kehamilan anakk. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun