Ketika wilayah Lombok mengalami goncangan gempa 6,4 SR dengan kedalaman 10 km pada pada pukul 05.47 WITA 29 Juli 2018, kerusakan terbesar dialami oleh masyarakat Kabupaten Lombok Timur. Pada saat bencana gempa menggoyang Lombok pada 29 Juli 2018, tim Gema Alam NTB yang terdiri dari beberapa orang muda bergerak cepat untuk melakukan tanggap bencana di wilayah Lombok. Kerusakan tersebut ditambah dengan gempa susulan 7.0 SR pada pukul 19.46 WITA di tanggal 5 Agustus 2018 dan selanjutnya gempa susulan pada 19 Agustus 2018.Â
Rentetan goncangan tersebut merupakan goncangan yang berat bagi warga karena trauma yang disebabkannya serta korban dan kerusakan yang terus bertambah. Sementara, dukungan untuk tanggap bencana masih lambat bergulir, yang disebabkan oleh adanya eksodus para relawan ke wilayah Lombok Utara dan Lombok Barat yang diketahui mengalami kerusakan yang lebih besar, ditambah dengan adanya masa transisi politik atas terpilihnya kepala daerah baru di tingkat provinsi dan kabupaten, serta beberapa desa di wilayah. Â Pada saat itu, Gema Alam NTB tidak memiliki dukungan program donor apapun. Apa yang dilakukan adalah dengan terbatas, berbekal keswadayaan. Mengingat kebutuhan akan adanya layanan kesehatan dan konseling psikholog, relawan kesehatan perlu direkrut dari luar wilayah Kabupaten Lombok Timur. Catatan pembelajaran dari mobilisasi 16 orang relawan muda (3 orang laki laki dan 13 orang perempuan) di anatara 34 orang relawan profesional Sahabat Gema Alam yang mendukung kerja Gema Alam NTB pada masa pasca bencana adalah menarik untuk dianalisis.Â
Dari sisi latar belakang pekerjaan relawan muda, dicatat terdapat 13 orang relawan dokter (9 dokter umum, 3 dokter spesialis anak, dan 1 orang dokter spesialis kebidanan dan obgyn) dan didukung 2 relawan psikholog. Selanjutnya, terdapat pula seorang relawan sarjana hukum. Mereka pada umumnya  dalam masa transisi penugasan. Sebagian besar dokter umum dalam tahap akhir masa internship, sementara  di antara 2 dokter spesialis, terdapat dokter yang menunggu penempatan, sementara seorang lagi sedang menunggu penempatan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS). Adapun relawan desainer grafis Kit Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) sedang menyelesaikan tugas akhir di universitas.Â
Di samping itu, terdapat pula kontribusi relawan muda terkait desain dan pengembangan Kit Kesehatan Maternal dan Neonatal atau Kit Kesehatan Ibu dan Anak pada masa Pasca Bencana. Relawan muda juga terlibat melalui penampilan seni dan budaya, sebagai bagian dari kerja advokasi kebijakan kesehatan reproduksi pada masa masa pasca bencana.
Dokter relawan dr Risa Risfiandi SpOG, berusia 30 tahun yang berasal dari Bandung, pada awalnya lebih berfokus pada panapisan ibu hamil dan memberikan edukasi kepada penyintas dan suami mereka terkait kondisi kehamilan dan alat kontrasepsi. Namun, selanjutnya dr Risa terbuka untuk mendiskusikan dengan peneliti tentang kecenderungan dan situasi ibu hamil di wilayah yang dilayani. Dr Risa akhirnya turut serta dalam mendukung proses analisis Kajian, khususnya berkait dengan kecenderungan ibu hamil dengan risiko tinggi yang ada di wilayah terdampak. Hal ini juga dilakukan oleh dr Ramadina SpA yang memberikan catatan atas diagnosanya pada pemeriksaan dan penapisan kesehatan anak bayi dan balita, dan berhasil melaporkan beberapa kasus bayi dengan status gizi buruk, gizi kurang, dan kasus microchephali. Dr Ramadina SpA juga memberikan catatan terkait kecenderungan penyakit penyakit yang ditemui dan dialami neonatus dan bayi serta balita.Â
Sementara itu, dr Widyatama Andika, dokter relawan asal Jakarta yang berusia 27 tahun, yang pernah menjadi Wakil Abang None Jakarta Pusat pada beberapa tahun yang lalu. Selain memberikan layanan kesehatan, dokter Andika mengajak pula dokter dokter lain untuk mendukung. Alhasil, 6 dokter perempuan menambah jumlah relawan Sahabat Gema Alam. Â Beberapa dokter relawan, antara lain dr Kara Citra dan dr Nadia Putri menghubungkan Sahabat Gema Alam dengan beberapa donatur pembangunan hunian sementara (huntara) bagi penyintas.Â
Pada saat advokasi atas hasil Kajian dilakukan di Jakarta, dr Risa Risfiandi SpOg berpartisipasi dalam talk show dan psikholog Gia Saskia mengisi acara 'Berdaya Lotim, untuk Ibu dan Anak Lombok Timur" yang diadakan di Jakarta pada 20 Desember 2018 yang lalu. Gia Saskia dan Anindita Indriyanti juga menggerakkan 12 orang alumni Abang None Jakarta lain untuk menjadi pengisi acara tersebut.Â
Adalah menarik untuk dicatat bahwa sebagian besar relawan muda memutuskan sendiri keikutsertaannya pada kerja pasca bencana. Relawan muda memiliki motivasi sendiri untuk berbagi dengan sesama melalui partisipasinya pada kerja di pasca bencana Lombok. Beberapa relawan muda juga memiliki tujuan untuk belajar, disamping memahami konteks dan persoalan yang dihadapi penyintas pada masa pasca bencana. Laras Zita, misalnya, memanfaatkan waktunya sebagai relawan di Lombok Timur untuk memahami situasi dan konteks di lapangan sehingga penyusuna Kit Kesehatan Ibu dan Anak bagi relawan yang disusun lebih sesuai dengan kebutuhan di lapang. Yang menarik, semua relawan muda bangga dengan apa yang mereka lakukan. Hal ini dicatat dari unggahan foto ataupun 'story' pada Instagram dari relawan.
Beberapa studi global menunjukkan bahwa, seringkali masyarakat dan lembaga yang menjadi tuan/nyonya rumah dari relawan muda, memperlakukan kerelawanan sebagai 'take for granted', atau menganggap sudah semestinyalah relawan hadir dan bekerja. Namun, hal ini tidak akan membantu.Â