Mohon tunggu...
LEXPress
LEXPress Mohon Tunggu... Mahasiswa - Biro Jurnalistik LK2

Biro Jurnalistik merupakan biro dari Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang bergerak dalam kegiatan meliput dan menyampaikan berita hukum terkini.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pembaruan PPKM: Penyelamat atau Pengungkungan Rakyat?

4 Agustus 2021   18:00 Diperbarui: 4 Agustus 2021   18:05 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Lembaga Kajian Keilmuan FHUI

Pandemi COVID-19 yang sekarang ini tingkat penularannya semakin parah di Indonesia memaksa pemerintah untuk melakukan kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat. 

PPKM sendiri sudah mengalami pergantian yang dicanangkan sebagai penyelamat rakyat baik dari segi ekonomi dan kesehatan.

PPKM sendiri mengalami pembaruan yaitu dengan perubahan konsep dan penamaan PPKM Darurat menjadi PPKM Level 1 hingga 4. PPKM yang terbaru ini disinyalir merupakan gagasan dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menyebut perubahan nama agar lebih sederhana. Dia mengatakan kebijakan itu merupakan perintah langsung Presiden Joko Widodo (CNN  Indonesia, 2021)

"Presiden perintahkan agar tidak lagi pakai nama PPKM Darurat ataupun Mikro. Kita gunakan yang sederhana, PPKM Level 4 yang berlaku hingga 25 Juli," kata Luhut dalam jumpa pers daring yang disiarkan kanal Youtube Perekonomian RI, Rabu 21 Juli 2021.

Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi kebingungan dan menuntut kejelasan serta transparansi dari pemerintah mengenai penanganan yang dilakukan untuk menghadapi pandemi. 

Terlebih lagi, berdasarkan keterangan yang diberikan oleh juru bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito, jumlah spesimen yang diperiksa lebih sedikit. Hal ini disebabkan karena penurunan jumlah testing di akhir pekan dan delay dari laboratorium (Tempo). 

Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah benar kebijakan PPKM ini sudah berhasil menjadi kebijakan pamungkas penyelamat rakyat Indonesia?

Berbicara mengenai respons dari pemerintah terhadap COVID-19, apabila kita melakukan kilas balik selama pandemi berlangsung, ada beberapa kebijakan yang telah dilakukan. Awalnya, pemerintah melakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), kemudian diikuti dengan PSBB Transisi, Micro Lockdown, PPKM, PPKM Darurat, dan sekarang PPKM dengan ketentuan level yang didasari guidelines terbaru dari WHO (World Health Organization). 

Belum lagi beberapa kebijakan pemerintah yang menuai kritik di masa pandemi ini, seperti pengesahan beberapa RUU yang dirasa kontroversial, stimulus pariwisata, kartu pra-kerja, dan pemberian sanksi dirasa berat.

Tentunya, perubahan-perubahan ini bukan tanpa sebab karena kebijakan yang sudah ada kerap kali kurang efektif, baik secara kesehatan maupun ekonomi. Namun, perubahan-perubahan ini menimbulkan kebingungan pada masyarakat tentang cara pemerintah menangani COVID-19. 

Ketika kebijakan ini dibicarakan, perlu diperhatikan pula dasar-dasar hukum apa yang menjadi pijakan bagi kebijakan ini. Secara yuridis, PSBB pada dasarnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, sedangkan PPKM didasarkan pada Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali.

Hal ini kemudian mengundang kebingungan karena pemberlakuan PSBB yang tadinya bersifat bottom up dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat berubah menjadi top-down, dari pemerintah, dalam hal ini Mendagri, ke pemerintah daerah. 

Kemudian, mengenai pengaturan PPKM, Mendagri kembali melakukan perubahan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2021. Tujuannya untuk merubah skema sanksi, di mana tadinya pelanggar hanya dikenakan sanksi administratif, sekarang dapat dikenakan sanksi pidana dalam rangka pengendalian wabah penyakit menular berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 212 sampai dengan Pasal 218, UU No. 4 tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Perda, Perkada, dan ketentuan lain (ICJR).

Melihat hal-hal tersebut, muncul pertanyaan, mengapa perlu dilakukan PPKM? Berdasarkan keterangan dari Anggota DPR Komisi IX Emanuel Melkiades Laka Lena, "PSBB dalam perjalanannya mendapat catatan dari kondisi lapangan, dianggap punya interpretasi di lapangan terlalu kompleks sehingga menimbulkan masalah di lapangan. Oleh karena itu, PSBB diganti ke PPKM. Saya mengusulkan seharusnya basis PPKM dari RT, RW, Kampung (PPKM Mikro). PPKM Mikro ini dapat membuat kasus melandai, tapi jebol karena varian Delta dari India. Setelah variannya masuk dan cepat sekali penyebarannya, kita mengalami kondisi yang sulit karena masih terbiasa dengan varian Wuhan."

PPKM Mikro ini kemudian diubah menjadi PPKM Darurat yang sekarang ini diubah lagi menjadi PPKM level 3 dan 4. Berdasarkan keterangan beliau, "Sebelum ini, PPKM dilakukan secara mikro. Namun, sekarang dilakukan dalam skala besar karena melibatkan daerah dengan kategori tertentu." 

Beliau juga menambahkan, "Tingkat kesembuhan yang masih rendah, banyaknya kasus aktif, tingkat okupansi rumah sakit, dan angka kematian menunjukan penanganan yang masih kurang baik."PPKM Level 3 dan 4 sendiri merupakan kompromi yang dilakukan pemerintah. "Level tinggi masih ketat, level lebih rendah bisa mulai membuka ekonomi secara  perlahan," ujar Melki.

Kemudian, di lapangan sendiri berdasarkan keterangan dari Dokter Victor Saija selaku Kepala Puskesmas Sempur, Kota Bogor, Jawa Barat hal senada juga diungkapkan. Menurutnya, fasilitas kesehatan yang ada di lapangan sudah cukup mencukupi. Akan tetapi, ketidaktaatan masyarakat serta banyak masyarakat yang memilih tidak untuk divaksin menyebabkan kondisi yang seperti sekarang. 

Namun, karena kondisi yang sudah semakin parah, vaksinasi sudah diakui WHO (World Health Organization) sehingga terjadi lonjakan masyarakat yang mau divaksin. Selain itu, beliau juga memaparkan bahwa di Kota Bogor sebenarnya kasus sudah menurun, tetapi angka kematian masih tinggi.

Ini disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat untuk melapor ke RT/RW masing-masing mengenai kondisinya yang terjangkit COVID-19. Mereka memilih untuk melakukan isolasi mandiri tanpa lapor sehingga dalam keadaan yang parah, mereka baru memilih untuk melaporkan. 

Tentu kejadian seperti ini terjadi bukan tanpa sebab. "Orang memilih untuk tidak lapor karena takut dikucilkan oleh masyarakat sekitar," ujar dokter Victor. Selain itu, di Kota Bogor terdapat permasalahan data, di mana orang dengan domisili Kota Bogor yang sedang menetap di kota lain, tetap didata sebagai pasien COVID-19 di Kota Bogor. 

"Banyak kasus dimana orang tinggal di Jakarta atau kota-kota lainnya yang memiliki KTP Bogor datanya tetap masuk ke Kota Bogor." Oleh karena itu, pemerintah daerah, dalam hal ini walikota bersama tenaga medis, melakukan pendataan by name and address langsung di lapangan. Berdasarkan data itu, memang sempat terjadi perbedaan antar data yang disediakan oleh Dinas Kesehatan, tetapi hal tersebut telah terselesaikan dengan baik.

Jika kita lihat sekarang pandemi masih menghantui kehidupan masyarakat Indonesia, tentunya pemerintah telah mengeluarkan banyak kebijakan dan aturan-aturan untuk menanggulangi hal ini. 

Menurut Djarot Dimas selaku dosen Hukum Kesehatan FH UI, "Aturan yang dibuat sesuai kaidah yang ada dan sesuai dengan asas-asas yang ada tidak masalah bagi kehidupan masyarakat." Dalam menangani wabah menurut Pak Djarot, "Kesuksesan penanganan wabah perlu kolaborasi dari masyarakat. Agar kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik, norma hukum harus sesuai dengan norma yang hidup dalam masyarakat. 

Norma hukum yang terbaik adalah yang ditaati oleh masyarakatnya, terutama dalam menangani pandemi karena fungsi hukum dalam hal ini bukan hanya kepastian hukumnya saja, melainkan juga kebermanfaatannya lebih penting bagi masyarakat."

Pada dasarnya, pandemi COVID-19  telah memengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita sebagai masyarakat dapat menaati dan menjalankan protokol kesehatan yang ada. 

Kesadaran ini harus kita tumbuhkan karena dengan menaati protokol kesehatan, kita tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga melindungi orang-orang terdekat kita. Walaupun tanpa gejala atau hanya bergejala ringan, kita dapat menularkan virus ini ke orang lain, yang dampaknya dapat berbahaya. 

Selain itu, ikuti program vaksinasi yang telah disediakan demi kebaikan diri sendiri dan orang terdekat. Akhir kata, kita sebagai masyarakat bersama pemerintah harus berusaha bersama untuk mencapai kondisi yang diinginkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun