Mohon tunggu...
LEXPress
LEXPress Mohon Tunggu... Mahasiswa - Biro Jurnalistik LK2

Biro Jurnalistik merupakan biro dari Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang bergerak dalam kegiatan meliput dan menyampaikan berita hukum terkini.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pembaruan PPKM: Penyelamat atau Pengungkungan Rakyat?

4 Agustus 2021   18:00 Diperbarui: 4 Agustus 2021   18:05 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentunya, perubahan-perubahan ini bukan tanpa sebab karena kebijakan yang sudah ada kerap kali kurang efektif, baik secara kesehatan maupun ekonomi. Namun, perubahan-perubahan ini menimbulkan kebingungan pada masyarakat tentang cara pemerintah menangani COVID-19. 

Ketika kebijakan ini dibicarakan, perlu diperhatikan pula dasar-dasar hukum apa yang menjadi pijakan bagi kebijakan ini. Secara yuridis, PSBB pada dasarnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, sedangkan PPKM didasarkan pada Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali.

Hal ini kemudian mengundang kebingungan karena pemberlakuan PSBB yang tadinya bersifat bottom up dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat berubah menjadi top-down, dari pemerintah, dalam hal ini Mendagri, ke pemerintah daerah. 

Kemudian, mengenai pengaturan PPKM, Mendagri kembali melakukan perubahan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2021. Tujuannya untuk merubah skema sanksi, di mana tadinya pelanggar hanya dikenakan sanksi administratif, sekarang dapat dikenakan sanksi pidana dalam rangka pengendalian wabah penyakit menular berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 212 sampai dengan Pasal 218, UU No. 4 tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Perda, Perkada, dan ketentuan lain (ICJR).

Melihat hal-hal tersebut, muncul pertanyaan, mengapa perlu dilakukan PPKM? Berdasarkan keterangan dari Anggota DPR Komisi IX Emanuel Melkiades Laka Lena, "PSBB dalam perjalanannya mendapat catatan dari kondisi lapangan, dianggap punya interpretasi di lapangan terlalu kompleks sehingga menimbulkan masalah di lapangan. Oleh karena itu, PSBB diganti ke PPKM. Saya mengusulkan seharusnya basis PPKM dari RT, RW, Kampung (PPKM Mikro). PPKM Mikro ini dapat membuat kasus melandai, tapi jebol karena varian Delta dari India. Setelah variannya masuk dan cepat sekali penyebarannya, kita mengalami kondisi yang sulit karena masih terbiasa dengan varian Wuhan."

PPKM Mikro ini kemudian diubah menjadi PPKM Darurat yang sekarang ini diubah lagi menjadi PPKM level 3 dan 4. Berdasarkan keterangan beliau, "Sebelum ini, PPKM dilakukan secara mikro. Namun, sekarang dilakukan dalam skala besar karena melibatkan daerah dengan kategori tertentu." 

Beliau juga menambahkan, "Tingkat kesembuhan yang masih rendah, banyaknya kasus aktif, tingkat okupansi rumah sakit, dan angka kematian menunjukan penanganan yang masih kurang baik."PPKM Level 3 dan 4 sendiri merupakan kompromi yang dilakukan pemerintah. "Level tinggi masih ketat, level lebih rendah bisa mulai membuka ekonomi secara  perlahan," ujar Melki.

Kemudian, di lapangan sendiri berdasarkan keterangan dari Dokter Victor Saija selaku Kepala Puskesmas Sempur, Kota Bogor, Jawa Barat hal senada juga diungkapkan. Menurutnya, fasilitas kesehatan yang ada di lapangan sudah cukup mencukupi. Akan tetapi, ketidaktaatan masyarakat serta banyak masyarakat yang memilih tidak untuk divaksin menyebabkan kondisi yang seperti sekarang. 

Namun, karena kondisi yang sudah semakin parah, vaksinasi sudah diakui WHO (World Health Organization) sehingga terjadi lonjakan masyarakat yang mau divaksin. Selain itu, beliau juga memaparkan bahwa di Kota Bogor sebenarnya kasus sudah menurun, tetapi angka kematian masih tinggi.

Ini disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat untuk melapor ke RT/RW masing-masing mengenai kondisinya yang terjangkit COVID-19. Mereka memilih untuk melakukan isolasi mandiri tanpa lapor sehingga dalam keadaan yang parah, mereka baru memilih untuk melaporkan. 

Tentu kejadian seperti ini terjadi bukan tanpa sebab. "Orang memilih untuk tidak lapor karena takut dikucilkan oleh masyarakat sekitar," ujar dokter Victor. Selain itu, di Kota Bogor terdapat permasalahan data, di mana orang dengan domisili Kota Bogor yang sedang menetap di kota lain, tetap didata sebagai pasien COVID-19 di Kota Bogor. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun