Mohon tunggu...
Levi William Sangi
Levi William Sangi Mohon Tunggu... Petani - Bangga Menjadi Petani

Kebun adalah tempat favoritku, sebuah pondok kecil beratapkan katu bermejakan bambu tempat aku menulis semua rasa. Seakan alam terus berbisik mengungkapkan rasa di hati dan jiwa dan memaksa tangan untuk melepas cangkul tua berganti pena".

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Siapa Bilang Kami Monyet?

20 Agustus 2019   17:17 Diperbarui: 20 Agustus 2019   18:12 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang bilang aku monyet?
Aku adalah manusia seutuhnya yang meski hitam tapi tak berbulu seperti monyet. 

Aku tinggal di rumah seperti kalian, makan dan minum pakai piring, tidur pun aku di kasur sama seperti kalian.
Aku tidak bergelantungan di pohon dan melompat-lompat dari satu tangkai pohon ke tangkai yang lain. 

Lantas, kenapa aku kalian sebut monyet?
Apakah karena aku berbeda dengan kalian? 

Apakah karena peradabanku yang jauh tertinggal dengan kalian?
Apakah karena kakakku, ayahku, kakekku yang masih mengenakan koteka lantas kami dianggap masih jauh tertinggal dengan kalian? 

Sejak dulu kami rela tertinggal meski kekayaan tanah kami mampu memberikan kami semua pakaian emas yang membalut sekujur tubuh kami yang hitam ini. Para lelaki kami masih membuat koteka dari akar kayu meski tanah kami sangat bisa memberikan lelaki kami koteka emas murni. 

Apakah kami pernah turun ke jalan seperti sekarang hanya untuk protes kekayaan kami yang rela kami bagi bersama? 

Apakah kami pernah bertanya berapa bagian kami atas kekayaan alam kami yang diambil dari dulu sampai sekarang ini? Tidaaaak! 

Kami rela berbagi, karena seekor monyet pun tahu berbagi makanan bagi sesama keluarganya, sesama sanak saudaranya. 

Kami tahu arti Kebhinnekaan Tunggal Ika dan kami tahu arti indah memberi makanya kami tidak protes kekayaan kami kita bagi bersama demi negeri. 

Kami protes, kami marah, bukan karena soal kekayaan kami yang kita bagi bersama.
Tetapi karena memperjuangkan harga diri kami yang seharusnya dipandang sama. 

Stop persekusi, stop intimidasi, demi ibu Pertiwi mari kita berpegangan tangan kembali. 

Desa Tandu, Manado, 20 Agustus 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun